Liputan6.com, Yangon - 154 pengungsi Rohingya diselamatkan di lepas pantai Myanmar setelah kapal mereka mulai kemasukan air, kata militer Myanmar.
Perusahaan Minyak dan Gas Bumi milik negara Myanmar mengirim dua kapal dari operasi lepas pantai untuk menyelamatkan 154 orang -- 106 laki-laki dan 48 perempuan -- setelah melihat perahu mereka dalam masalah, kata militer dalam sebuah pernyataan Kamis, 8 Desember 2022.
Mengutip AP News, Jumat (9/12/2022), tidak jelas, apakah kapal itu kapal yang sama yang membawa pengungsi Rohingya dari Bangladesh yang dilaporkan mendapat masalah awal pekan ini di perairan negara tetangga, Thailand.
Advertisement
Juru bicara angkatan laut Thailand Wakil Laksamana Pokkrong Monthatphalin mengatakan di hari Jumat bahwa kru telah dikirim untuk mencari kapal di Laut Andaman -- perbatasan Thailand dan Myanmar -- setelah menerima laporan, tetapi tidak menemukan apa pun.
Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) mengatakan tidak memiliki informasi independen tentang kapal yang dilaporkan mengalami masalah mesin di perairan Thailand, tetapi mendesak negara-negara di kawasan itu untuk membantu.
Dalam sebuah laporan awal bulan Desember, UNHCR melaporkan telah terjadi peningkatan dramatis jumlah orang yang mencoba menyeberangi Laut Andaman tahun ini.
Sekitar 1.920 orang, terutama Rohingya, melakukan penyeberangan dari Myanmar atau Bangladesh sejak Januari hingga November 2022, dibandingkan dengan total 287 orang sepanjang tahun 2021.
Terlebih, ratusan ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar yang mayoritas beragama Buddha ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh sejak Agustus 2017 -- ketika Myanmar melancarkan operasi militer sebagai tanggapan atas serangan kelompok pemberontak.
Pasukan keamanan Myanmar dituduh melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah Rohingya.
Namun, kelompok Rohingya juga berusaha meninggalkan kamp-kamp di Bangladesh melalui laut untuk 'mencari kehidupan yang lebih baik' di negara-negara mayoritas Muslim lainnya di wilayah tersebut.
Malaysia telah menjadi tujuan umum kapal-kapal tersebut meskipun banyak pengungsi Rohingya yang mendarat di sana menghadapi penahanan. Yang lainnya mencari perlindungan di Indonesia.
110 Muslim Rohingya Melarikan Diri dari Myanmar Pakai Perahu, Berlabuh di Aceh Indonesia
Bulan lalu, seratusan muslim Rohingya yang bepergian dengan perahu selama lebih dari sebulan berlabuh di sepanjang pantai Provinsi Aceh, Indonesia pada 15 November 2022. Kelompok pengungsi itu diyakini melakukan perjalanan laut yang berbahaya dari Myanmar.
Mengutip dari AP News, Selasa (15/11/2022), nelayan lokal melihat 110 Rohingya pagi-pagi sekali di sebuah pantai di Desa Meunasah Baro, Aceh Utara. Mereka termasuk 65 pria, 27 wanita dan 18 anak-anak, menurut Herman Saputra, Kapolsek Muara Batu.
Menurut laporan dari otoritas setempat, mereka ditemukan dalam keadaan lemah dan lapar.
Usai berlabu, mereka segera dipindahkan ke balai masyarakat di desa untuk pemeriksaan kesehatan sampai pihak berwenang memutuskan di mana akan menampung mereka.
Muhammad Amin, salah satu pengungsi, menuturkan, sebelum terdampar di perairan Aceh, mereka mengincar Malaysia sebagai tujuan akhir.
Pada bulan Maret, 114 pengungsi Rohingya juga ditemukan di sebuah pantai di Kabupaten Bireuen di Provinsi Aceh.
Advertisement
Sekelompok Orang Bunuh 2 Pemimpin Rohingya di Bangladesh
Pada bulan Oktober, kondisi kamp-kamp pengungsi di Bangladesh juga dikabarkan memburuk.
Sekelompok orang melakukan aksi pembunuhan terhadap dua pemimpin komunitas Rohingya di Bangladesh, ketika kondisi keamanan memburuk di kamp-kamp yang menampung hampir satu juta pengungsi.
Dilansir Al Jazeera, Senin (17/10/2022), juru bicara polisi Faruk Ahmed mengatakan para pemimpin Rohingya tewas Sabtu malam di Camp 13. Ia menyebutnya sebagai salah satu serangan terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
"Lebih dari selusin penjahat Rohingya menyerang Maulvi Mohammad Yunus (38) yang merupakan ketua majhi Camp 13. Mereka juga membunuh Mohammad Anwar (38), majhi lainnya. Yunus meninggal di tempat dan Anwar meninggal di rumah sakit,” kata Ahmed.
“Majhi” adalah istilah untuk pemimpin kamp Rohingya.
Seorang perwira senior dari unit polisi elit yang bertugas menjaga keamanan di kamp-kamp itu menyalahkan pembunuhan itu pada Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), sebuah kelompok bersenjata yang memerangi militer di Myanmar.
"Ini adalah pembunuhan yang ditargetkan oleh ARSA. Bentrokan internal di Myanmar berdampak pada situasi keamanan di kamp-kamp," katanya, yang berbicara tanpa menyebut nama.
Permukiman kumuh tersebut telah mengalami peningkatan kekerasan dalam beberapa bulan terakhir, dengan kelompok-kelompok mencoba untuk menegaskan kontrol atas perdagangan narkoba dan mengintimidasi kepemimpinan sipil pengungsi melalui pembunuhan dan penculikan.
Pengadilan PBB Tolak Keberatan Myanmar, Kasus Genosida Rohingya Tetap Disidangkan
Sementara itu, bagaimana sikap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas kejahatan HAM yang menimpa muslim Rohingya ini?
Majelis hakim di pengadilan tertinggi PBB, pada Jumat, 22 Juli 2022, menolak keberatan awal Myanmar atas kasus yang menuduh negara Asia Tenggara itu bertanggung jawab atas genosida terhadap etnis minoritas Rohingya.
Dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (24/7/2022), keputusan yang menetapkan yurisdiksi Mahkamah Internasional memastikan penyelenggaraan sidang yang akan menyiarkan bukti-bukti kekejaman terhadap Rohingya, yang menurut kelompok hak asasi manusia dan hasil penyelidikan PBB telah melanggar Konvensi Genosida tahun 1948.
Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa penindasan yang disertai kekerasan terhadap populasi Rohingya di Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, tergolong genosida.
Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, menyambut baik keputusan itu. ia mengatakan, 600.000 warga Rohingya “masih menghadapi genosida,” sementara “satu juta orang yang berada di kamp-kamp di Bangladesh, mereka menanti harapan ditegakkannya keadilan.”
Gambia, negara di benua Afrika, mengajukan kasus tersebut tahun 2019 di tengah kemarahan dunia atas perlakuan terhadap warga Rohingya, di mana ratusan ribu di antara mereka melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya, di tengah tindakan brutal pasukan Myanmar pada 2017. Gambia berpendapat bahwa negaranya dan Myanmar sama-sama penandatangan Konvensi 1948, dan semua penandatangan memiliki kewajiban untuk menjamin konvensi itu ditegakkan.
Penulis: Safinatun Nikmah
Advertisement