Sukses

Demo Anti-junta Militer di Sudan Berujung Penembakan Gas Air Mata

Pengunjuk rasa Sudan menghadapi kendaraan lapis baja yang menembakkan bom gas air mata ke arah mereka, pada Kamis (8 Desember). Beberapa demonstran membawa perisai dan melemparkan batu ke arah pasukan keamanan.

Liputan6.com, Jakarta - Pengunjuk rasa Sudan menghadapi kendaraan lapis baja yang menembakkan bom gas air mata ke arah mereka, pada Kamis (8 Desember). Beberapa demonstran membawa perisai dan melemparkan batu ke arah pasukan keamanan.

Ratusan pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan Khartoum yang dipimpin oleh kelompok Komite Perlawanan, untuk menuntut penggulingan penguasa militer negara itu dan menolak kesepakatan untuk transfer kekuasaan secara bertahap kepada para pemimpin sipil.

"Kami sepenuhnya menolak kesepakatan itu karena tidak memenuhi atau memenuhi bahkan 1% dari tuntutan jalanan Sudan," tegas aktivis politik Adel Othman seperti dikutip dari MSN News, Sabtu (10/12/2022).

"Di atas itu (tuntutan) adalah meminta pertanggungjawaban para pembunuh para martir dan mencapai hasil nyata di bidang peradilan serta bidang lain yang terkait dengan pencapaian kebebasan dan perdamaian. Itu adalah tuntutan mendasar kami."

Kelompok akar rumput Komite Perlawanan dengan tegas menolak negosiasi dengan junta yang berkuasa. Sedangkan kelompok pro-demokrasi utama negara itu, menandatangani Senin, "perjanjian kerangka kerja" dengan para jenderal.

Kudeta militer pada Oktober 2021 mengakhiri perjanjian transisi demokrasi sebelumnya.

 

2 dari 3 halaman

Sudan Juga Alami Wabah Demam Berdarah Terburuk

Banjir yang disebabkan oleh pemanasan suhu dan kurangnya pencegahan mendorong penyebaran wabah penyakit di Sudan, negara yang juga tengah dilanda kekacauan politik dan ekonomi.

Lebih dari 1.400 orang di Sudan telah didiagnosis menderita demam berdarah tahun ini dalam wabah terburuk di negara itu selama lebih dari satu dekade, dikutip dari The Guardian, Selasa (22/11/2022).

Setengah dari 18 negara bagian di negara itu telah mencatat kasus demam berdarah, dengan sembilan kematian termasuk satu anak, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menduga jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi.

Dr. Muntasir Osman selaku direktur jenderal keadaan darurat kementerian kesehatan federal Sudan, mengatakan tahun 2022 telah terjadi “penyebaran demam terbesar secara geografis dalam sejarah negara” dengan 1.430 kasus terdaftar.

Demam berdarah disebarkan oleh nyamuk yang terinfeksi, biasanya ditemukan di dekat sumber air yang tenang atau di tangki penyimpanan air. Penyakit ini memiliki gejala seperti flu dan terkadang dapat menyebabkan kegagalan organ serta kematian.

Osman 'menyalahkan' hujan lebat dan kurangnya tindakan "pencegahan" seperti kelambu dan pengusir serangga.

“Karena alasan ekonomi, negara telah kehilangan banyak pekerjaan penting dalam hal obat-obatan dan tindakan pencegahan. Kami tidak lagi memiliki staf yang dulunya bekerja di bidang kesehatan observasional atau pekerja yang biasa mempersiapkan berbagai hal sebelum masalah terjadi."

Setelah kudeta militer Oktober lalu, Sudan berada dalam kekacauan, diperparah dengan gagal panen dan kenaikan harga pangan.

 

3 dari 3 halaman

Kasus yang Terkonfirmasi Sudah Parah

Nima Saeed Abid, kepala WHO di Sudan, mengatakan kasus yang dikonfirmasi adalah "puncak gunung es".

"Beberapa orang datang dengan kasus ringan, yang lain berkonsultasi dengan dukun atau hanya mengandalkan pengobatan rumahan. Karena itu mereka tidak melapor ke fasilitas kesehatan. Yang dilaporkan ke fasilitas kesehatan adalah kasus yang paling parah yang memerlukan rawat inap atau perawatan medis,"ujarnya.

Kordofan Utara, Darfur Utara, dan Nil Putih mengalami demam berdarah untuk pertama kalinya.

Di ibu kota negara bagian Kordofan Utara, El Obeid, foto-foto pasien yang terbaring di tanah saat rumah sakit kehabisan tempat tidur telah beredar di media sosial. Setidaknya ada 1.200 kasus yang dicurigai di Kordofan Utara, dengan 393 di antaranya dikonfirmasi.