Liputan6.com, London - Lebih dari 300 penduduk Inggris yang menjadi korban obat Thalidomide mendapatkan tawaran kesepakatan kompensasi senilai 11,85 juta pound sterling (sekitar Rp 226 miliar di masa sekarang) selama 10 tahun pada 13 Desember 1972.
Penawaran itu diusulkan cabang perusahaan farmasi Distillers’ Company melalui pembentukan dana perwalian dengan setoran awal 5 juta pound sterling (sekitar Rp95 miliar) untuk 340 anak cacat lahir yang disebabkan oleh efek samping dari obat Thalidomide yang dikonsumsi sang ibu selama kehamilan.
Kesepakatan perusahaan minuman besar itu berarti tawaran kompensasi 5 juta pound sterling yang dibuat di bulan sebelumnya, tidak ditingkatkan. Namun, perusahaan itu meyakinkan bahwa jumlah kompensasi bisa menjadi dua kali lipat lebih jika ditempatkan dalam dana amal dengan peningkatan 500.000 pound sterling (sekitar 10%) per tahun selama 10 tahun.
Advertisement
Distillers’ mengajukan penawaran tersebut dengan syarat pemerintah meloloskan undang-undang yang menyatakan dana 10 tahun itu sama dengan status perpajakan dalam bentuk dana amalnya.
Sebuah pernyataan mengatakan: "Kecuali pemerintah menyetujui persyaratan perpajakan yang dimaksudkan oleh perusahaan, penawaran itu akan berubah."
Pernyataan ini menyebabkan tuduhan keraguan atas 5 juta pound sterling yang disetor dan 11,85 juta pound sterling yang akan tersedia dan dipenuhi oleh pembayar pajak.
Tekanan telah tumbuh untuk menyelesaikan 'pertempuran' yang telah berlangsung dan telah dibahas selama 10 tahun itu. Obat itu menjadi terkenal pada 1960-an ketika diresepkan kepada wanita hamil untuk meringankan mual di pagi hari.
Thalidomide kemudian diketahui menyebabkan cacat lahir yang parah karena membatasi aliran darah untuk mengembangkan anggota badan. Banyak anak di seluruh dunia dilahirkan tanpa anggota gerak atau dengan anggota tubuh yang sangat pendek.
Pertempuran Kompensasi untuk Korban Thalidomide Berakhir pada 1973
Pada November 1972, pemerintah mengumumkan bahwa mereka membuat uang publik 3 juta pound sterling yang disediakan untuk kepentingan anak-anak cacat lahir (kongenital), termasuk kelainan yang disebabkan oleh efek obat thalidomide.
Namun, jumlah tersebut dikritik oleh kelompok amal karena terlalu rendah untuk membuat perbedaan nyata bagi kehidupan para korban.
Sementara itu, keluarga korban menolak tawaran Distillers’ Company dan meminta perusahaan itu agar memberikan 3,4 juta pound sterling lagi untuk meningkatkan kompensasi sekitar 12 juta hingga 20 juta pound sterling, jika pemerintah menyetujui konsesi pajak.
Jack Ashley, anggota parlemen dari Partai Buruh yang memimpin kampanye parlemen untuk anak-anak dengan kelainan tubuh akibat Thalidomide pada saat itu, mengatakan bahwa perusahaan tersebut bertindak "sebagai Scrooge -- orang yang kikir -- dalam kedok Sinterklas".
Perusahaan mendapat tekanan besar dari pemegang saham dan pekerjanya sendiri untuk menawarkan lebih banyak uang kepada para korban.
Setahun kemudian pertempuran 11 tahun atas kompensasi Thalidomide berakhir dengan penyelesaian pengadilan sebesar 20 juta pound sterling.
Advertisement
Menuntut Tanggung Jawab di Balik Kasus Gagal Ginjal Anak
Sementara itu, beberapa bulan terakhir, pemerintah Indonesia tengah menangani skandal gagal ginjal akut pada anak yang dipicu oleh konsumsi obat sirop tertentu.
Data yang dirilis Kementerian Kesehatan per Kamis 3 November 2022, jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak mencapai 323 anak, 190 di antaranya meninggal dunia.
Pengawasan pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai lemah dalam memantau peredaran obat di Indonesia.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 3 November 2022, Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade meminta kasus ginjal akut ini diusut tuntas.
Andre juga mengusulkan adanya rapat gabungan antara Komisi VI dan Komisi IX. Sebab, Kepala BPOM Penny K Lukito menyebut izin impor pelarut obat sirop pemicu gagal ginjal melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Andre menilai sikap Kepala BPOM Penny K Lukito seakan-akan melempar tanggung jawab dengan menyalahkan Kemendag dalam kasus gagal ginjal akut pada anak. Padahal, Ia mendapat laporan dari Kemendag bahwa impor obat merupakan rekomendasi dari Kementerian Kesehatan di bawah pengawasan BPOM.
Sementara Anggota Komisi X DPR RI dari Parta Golkar Robert J Kardinal menilai BPOM tak bisa mengelak dari tanggung jawab pengawasan, termasuk bahan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di obat sirup anak.
"BPOM dan aparatnya yang ikut bertanggung jawab sebaiknya meletakkan jabatan atas kelalaian mereka. Tidak perlu menunggu dipecat. Ini terjadi karena BPOM tidak bekerja. Karena itu pejabat di BPOM ini sudah layak dipecat dan dituntut pidana,” ungkap Robert pada hari Kamis, 3 November 2022.
Sebelumnya saat Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi IX pada Rabu 2 November 2022, anggota DPR RI dari Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mempertanyakan alasan BPOM menyeret kewenangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), hingga Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam polemik temuan senyawa kimia EG dan DEG yang melebihi ambang batas dalam produksi obat sirup.
Anak Alami Gagal Ginjal Usai Minum Paracetamol, Orangtua Lapor Polisi
Sementara itu, kasus gagal ginjal akut terbaru menimpa seorang anak usai konsumsi paracetamol.
Orangtua tak terima anaknya mengalami Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) usai mengkonsumsi paracetamol yang diduga diproduksi PT Afi Farma.
Didampingi penasihat hukumnya, mereka membuat laporan ke Polda Metro Jaya hari ini, Kamis (8/12/2022). Laporan teregister dengan nomor: STTLP:/B/6265/XII/2022/SPKT/Polda Metro Jaya Tanggal 8 Desember 2022.
"Kami mencari keadilan, biar ada yang tanggung jawab atas kematian anak-anak Indonesia yang penyakitnya sama kayak anak saya," kata Mohamad Ripai kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Kamis malam.
Ripai menerangkan, anaknya, Fatimah Az Zahratullah (7) diagnosis menderita selulitis saat berobat ke klinik kawasan Tanjung Priok Jakarta Utara pada 1 September 2022.
Dokter memberikan obat produk Parasetamol sirup dari PT Afi Farma, antibiotik dan obat salep. Namun, anak tak kunjung sembuh dan kondisi tubuh justru semakin buruk.
"Tiga hari konsumsi obat dari dokter anak saya sakit perut, nyeri, muntah muntah. Padahal sebelumnya cuma sakit infeksi Selulitis," kata dia.
Ripai menerangkan, pihak klinik merujuk anaknya untuk menjalani pengobatan di salah satu Rumah Sakit Umum daerah Cakung. Saat diperiksa, anak didiagnosa mengalami penurunan fungsi ginjal.
"Keesokan harinya dinyatakan gagal ginjal akut," ujar dia.
Penulis: Safinatun Nikmah
Advertisement