Liputan6.com, Jakarta - Akademisi Amerika Serikat (AS) ikut kaget dengan isi KUHP baru. Pasal-pasal yang membuat prihatin seperti terkait kebebasan berekspresi yang melarang menghina presiden.Â
Kekhawatiran diungkap oleh Janet Steele, pakar jurnalistik dari George Washington University. Steele menyebut pasal penghinaan presiden harus lebih diperhatikan ketimbang pasal seks.Â
Advertisement
Baca Juga
"Saya kira kebebasan ekspresi penting sekali. Kalau di Amerika kalau saya mau memberi kritik ke Presiden Biden, sangat bisa," ujar Janet Steele dengan Bahasa Indonesia pada acara jurnalistik @america di Jakarta, Selasa (13/12/2022).
Janet Steele telah lama aktif di Asia Tenggara sehingga cukup fasih berbahasa Indonesia. Ia pun ada di Indonesia ketika demo besar mahasiswa di akhir zaman Soeharto.
"Saya orang sipil, saya bisa mengeluh tentang dia (Joe Biden) terus-menerus," lanjut Steele. "Tapi dengan KUHP baru kalau seorang Indonesia marah dengan Presiden Jokowi dan ia menghina presiden Jokowi mungkin ini menjadi crime."
Janet Steele lantas meminta semua warga Indonesia supaya sadar mengenai KUHP yang baru ini dan membacanya supaya paham.
"Saya agak cemas hal ini. Dan saya kira semua orang Indonesia harus membaca KUHP baru dan mengerti perubahan karena saya sebagai teman Indonesia, saya sangat khawatir tentang ini," jelasnya.Â
Tak lupa, Janet Steele juga memberikan kritikan kepada media-media asing yang fokus ke bagian seks saja, sebab ada isu-isu lainnya yang penting.
"Saya marah dengan media internasional yang sangat fokus terhadap seks," ujar pakar jurnalistik tersebut.
Klarifikasi Wamenkumham
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan bahwa pasal-pasal terkait penghinaan telah disesuaikan agar semakin ketat.
Pada proses penyusunan, dua pasal penghinaan juga dibuang, seperti pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum.Â
"Tadinya pasal penghinaan ada empat, ada menyerang harkat martabat ke presiden dan wakil presiden, ada pasal penghinaan pemerintah, ada pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum, ada penghinaan terhadap pejabat negara. Yang di-cut dua pasal, di-take out, yaitu pasal penghinaan terhadap pejabat negara dan kekuasaan umum," jelas Edward pada konferensi pers hybrid bersama Kementerian Luar Negeri, Senin (11/12).
Pihak pengadu juga harus dari pihak yang dirugikan. Walhasil, simpatisan presiden tidak bisa mengadukan seseorang yang menghina presiden.
Advertisement
Wamenkumham Pastikan Pasal Penghinaan Presiden Tetap Legalkan Unjuk Rasa
Sebelum KUHP ini disahkan, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menekankan pasal penghinaan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), tetap melegalkan aksi unjuk rasa.
Menurut dia, pasal tersebut tidak akan membatasi masyarakat dalam berdemokrasi dalam unjuk rasa.
"Pasal ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk merintangi kebebasan berdemokrasi, kebebasan berekspresi, berpendapat yang diwujudkan dalam unjuk rasa," jelas Eddy saat memberikan Sosialisasi RKUHP di Universitas Udayana Bali, Jumat 11 November 2022.
"Jadi kurang apa lagi? Artinya apa? Penjelasan pasal itu melegalkan unjuk rasa," sambungnya.
Dia menyampaikan pelegalan soal kebebasan berekspresi dalam unjuk rasa ini tertuang dalam draf RKUHP versi terbaru yang diserahkan pemerintah ke DPR RI pada 9 November 2022. Adapun versi terbaru ini menjelaskan bentuk kritik dan penyerangan kepada presiden dan wakil presiden.
"Jadi kita jelaskan dalam penjelasan versi terbaru penyerangan harkat dan martabat presiden adalah penghinaan, apa? Menista atau memfitnah," katanya.
Eddy menuturkan bahwa inti pemidanaan terhadap pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ini yakni, apabila masyarakat menista dan memfitnah. Salah satunya, apabila masyarakat mengucapkan kata-kata binatang yang ditujukkan kepada presiden maupun wakil presiden.
"Bahwa inti dari pemidanaan hanya ada dua, satu adalah menista dan memfitnah. Saya kira kalau bicara soal fitnah saya haqqul yakin tidak ada satu ajaran agama pun di dunia ini yang bolehkan fitnah," tutur Eddy.
Sosialisasi 3 Tahun
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy menyebutkan bahwa pasal penghinaan terhadap pemerintah tetap ada di dalam RKUHP. Namun, pasal penghinaan tersebut hanya bisa dilakukan lewat aduan sendiri secara tertulis.
"Tindak pidana yang dimaksud ayat 1 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina. Ayat 4, aduan yang sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan secara tertulis oleh pimpinan lembaga negara (Presiden)," kata Wamenkumham dalam rapat kerja Komisi III, Kamis (24/11/2022).Â
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy menyebutkan bahwa pasal penghinaan terhadap pemerintah tetap ada di dalam RKUHP. Namun, pasal penghinaan tersebut hanya bisa dilakukan lewat aduan sendiri secara tertulis.
"Tindak pidana yang dimaksud ayat 1 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina. Ayat 4, aduan yang sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan secara tertulis oleh pimpinan lembaga negara (Presiden)," kata Wamenkumham dalam rapat kerja Komisi III, Kamis (24/11/2022).
Advertisement