Sukses

China Sarankan Warganya Tinggalkan Afghanistan Segera, Ada Apa?

China Selasa (13/12) menyarankan warga negaranya yang berada di Afghanistan untuk meninggalkan negara itu “sesegera mungkin,” pasca serangan militan ISIS terhadap sebuah hotel milik China di jantung ibu kota Kabul Senin (12/12).

Liputan6.com, Kabul - China Selasa (13/12) menyarankan warga negaranya yang berada di Afghanistan untuk meninggalkan negara itu “sesegera mungkin,” pasca serangan militan ISIS terhadap sebuah hotel milik China di jantung ibu kota Kabul Senin (12/12).

Kelompok militan ISIS, yang merupakan saingan kuat Taliban, mengklaim bertanggungjawab atas serangan Senin siang lalu di Kabul Longan Hotel, yang menewaskan tiga penyerang.

Sedikitnya dua tamu hotel luka-luka setelah melompat dari jendela dalam upaya melarikan diri. Warga melaporkan terjadinya baku tembak dan ledakan, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (14/12/2022).

Pasukan Taliban bergegas datang ke lokasi dan memblokir semua jalan yang menuju ke lokasi itu. Juru bicara yang ditunjuk Taliban bagi Kepala Kepolisian Kabul, Khalid Zadran, mengatakan serangan itu berlangsung selama beberapa jam dan diakhiri dengan operasi pembersihan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin hari Selasa menyebut serangan itu “sangat mengerikan” dan menambahkan bahwa China “sangat terkejut.”

China menuntut “penyelidikan menyeluruh,” dan menyerukan pemerintah Taliban untuk “mengambil langkah-langkah tegas dan kuat untuk memastikan keselamatan warga negara, institusi dan proyek-proyek China di Afghanistan,” ujar Wang.

Kedutaan Besar China di Kabul telah mengirim tim ke lokasi untuk membantu upaya penyelamatan, perawatan dan akomodasi para korban serangan itu, tambah Wang.

2 dari 4 halaman

Krisis HAM Masih Jadi Masalah Besar di Afghanistan

Pelapor khusus situasi hak asasi manusia di Afghanistan, Richard Bennett, mengatakan kondisi di Afghanistan memburuk dalam setahun ini.

Taliban, kata Bennett, telah menjadi semakin otoriter, menekan kebebasan berpendapat, dan menolak hak-hak sipil dan politik rakyat, VOA Indonesia, Rabu (15/9/2022).

Walaupun semua orang Afghanistan mengalami masa-masa sulit, Bennett menilai, kemunduran hak-hak yang dulu dinikmati anak perempuan dan perempuan, khususnya sangat menyedihkan.

“Saya sangat prihatin akan kemunduran yang mengejutkan di mana perempuan dan anak perempuan tidak lagi menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejak Taliban menguasai negara itu. Tidak ada negara di dunia di mana perempuan dan anak perempuan begitu cepat kehilangan hak asasi hanya karena jenis kelamin mereka,” ujarnya.

Menurut Bennett, apa yang terjadi di Afghanistan itu adalah keprihatinan internasional. Ia memperingatkan bahwa diperlukan tindakan mendesak untuk membuat penguasa de facto Taliban mengubah kebijakan yang diskriminatif.

Pakar PBB tersebut menggambarkan Afghanistan sebagai negara yang berada di ambang kehancuran ekonomi, dengan hampir 19 juta orang, setengah dari populasi, menghadapi kelaparan akut.

Bahkan keamanan, yang membaik setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, kembali memburuk, kata Bennett.

3 dari 4 halaman

PBB Tak Akui Taliban

Dia mengungkapkan bahwa dia telah menerima banyak laporan tentang warga sipil yang menjadi sasaran penggeledahan dari rumah ke rumah dan apa yang tampaknya merupakan hukuman kolektif.

“Saya sangat prihatin bahwa mantan Pasukan Pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan dan pejabat-pejabat lain dari pemerintahan sebelumnya tetap menjadi sasaran penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hokum, dan penghilangan paksa, meskipun Taliban menyatakan akan memberi amnesti,” tambah Bennett.

Bennett menambahkan, mereka yang melakukan kejahatan ini tampaknya bertindak tanpa hukuman dan menciptakan suasana teror.

PBB tidak mengakui legitimasi pemerintahan Taliban. Nasir Ahmad Andisha tetap mewakili pemerintah sebelumnya sebagai duta besar Afghanistan untuk PBB di Jenewa.

Menanggapi apa yang disampaikan Bennett, ia meminta dewan agar membentuk mekanisme guna mengidentifikasi mereka yang melakukan kejahatan.

Ia berpendapat, informasi terdokumentasi ini mungkin bisa digunakan Pengadilan Kriminal Internasional dan badan-badan PBB lainnya untuk mengadili pelaku dan memberikan keadilan bagi para korban.

4 dari 4 halaman

PBB Sebut 6 Juta Warga Afghanistan Terancam Kelaparan

Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa ada sekitar 6 juta warga Afghanistan berisiko kelaparan saat negara itu terus menghadapi kesulitan ekstrem dan ketidakpastian di bawah kepemimpinan Taliban.

Pernyataan ini dikeluarkan oleh Kepala Bidang Kemanusiaan PBB Martin Griffiths, Senin (29/08) malam, dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB mengenai situasi kemanusiaan di Afghanistan. Lebih dari separuh penduduk negara itu membutuhkan bantuan kemanusiaan, ungkap Griffiths.

Berkuasanya kembali Taliban pada Agustus 2021 telah memperburuk situasi negara itu. Pengangguran dan kemiskinan ekstrem memaksa puluhan ribu warga Afghanistan meninggalkan negara mereka. Keadaan bertambah buruk setelah negara itu juga dilanda gempa bumi dahsyat dan banjir bandang.

Konflik, kemiskinan, perubahan iklim, dan kerawanan pangan memang telah lama menjadi kenyataan yang menyedihkan di Afghanistan. Namun, Griffiths mengatakan apa yang membuat situasi saat ini sangat kritis adalah penghentian bantuan pembangunan skala besar sejak pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban tahun lalu.

Lebih dari setengah penduduk Afghanistan, yakni sekitar 24 juta orang, membutuhkan bantuan dan hampir 19 juta dari mereka menghadapi tingkat kerawanan pangan yang akut, kata Griffiths.

"Dan kami khawatir angka tersebut akan segera menjadi lebih buruk karena cuaca musim dingin akan membuat harga bahan bakar semakin tinggi dan harga pangan meroket."

Dia mengatakan bahwa dana sebesar 614 juta dolar AS sangat dibutuhkan untuk persiapan musim dingin, termasuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tempat penampungan dan menyediakan pakaian hangat dan selimut. Selain itu, perlu juga dana bantuan tambahan sebesar US$154 juta untuk menyiapkan bahan makanan dan persediaan lainnya sebelum cuaca musim dingin memotong akses ke daerah-daerah tertentu.