Liputan6.com, Kabul - Kementerian pendidikan yang dikelola Taliban Afghanistan pada Selasa 20 Desember 2022 menangguhkan akses ke universitas bagi siswa perempuan sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Hal ini lantas menuai kecaman keras dari Amerika Serikat, Inggris dan PBB, dikutip dari NST.com.my, Rabu (21/12/2022).
Baca Juga
Sebuah surat, dikonfirmasi oleh juru bicara kementerian pendidikan tinggi, menginstruksikan universitas negeri dan swasta Afghanistan untuk segera menangguhkan akses ke siswa perempuan, sesuai dengan keputusan Kabinet.
Advertisement
Pengumuman dari pemerintahan Taliban yang belum diakui secara internasional, muncul saat Dewan Keamanan PBB bertemu di New York mengenai Afghanistan.
Pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat, telah mengatakan bahwa perubahan kebijakan tentang pendidikan perempuan diperlukan, jika Taliban ingin mendapatkan pengakuan secara resmi dari negara lain.
Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward mengatakan penangguhan itu adalah upaya untuk "pengurangan hak-hak perempuan. Ini mengerikan dan saya sampaikan rasa kecewa yang mendalam bagi setiap siswa perempuan."
"Ini juga merupakan langkah lain Taliban menjauh dari Afghanistan yang mandiri dan makmur," katanya kepada dewan.
Utusan khusus PBB untuk Afghanistan Roza Otunbayeva mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa keputusan itu "menghancurkan banyak hati perempuan".
Otunbayeva mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa penutupan akses ke sekolah telah "merusak" hubungan pemerintahan Taliban dengan komunitas internasional.
Seorang ibu dari seorang mahasiswa, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan bahwa putrinya meneleponnya sambil menangis ketika mendapat surat itu, karena khawatir dia tidak dapat lagi melanjutkan studi kedokterannya di Kabul.
"Rasa sakit yang tidak hanya saya dan ibu (lainnya) rasakan. Ini sulit untuk dijelaskan. Kami semua merasakan sakit ini, mereka khawatir akan masa depan anak-anaknya," katanya.
Hukum Cambuk Berlanjut
Sebelumnya dilaporkan, Pemerintahan Taliban di Afghanistan tetap akan melaksanakan hukum cambuk di depan umum. Negara yang secara resmi bernama Emirat Islam Afghanistan itu menolak saran PBB yang meminta agar hukuman seperti itu ditiadakan.Â
Dilaporkan VOA Indonesia, Selasa (20/12), Mahkamah Agung Taliban, Senin, mengatakan kelompok yang terdiri atas 22 orang, termasuk wanita, dicambuk di stadion olah raga yang penuh sesak di Sheberghan, ibu kota provinsi Jowzjan, Afghanistan utara.
Masing-masing narapidana dicambuk antara 25 dan 30 kali atas dugaan kejahatan, termasuk perzinahan, seks sesama jenis, kabur dari rumah, perdagangan narkoba dan pencurian, kata pernyataan itu. Pengadilan juga melaporkan pada Minggu bahwa 11 pria dan seorang wanita dicambuk di provinsi Ghor karena melakukan kejahatan serupa.
Otoritas Afghanistan telah memberikan hukum cambuk kepada lebih dari 130 pria dan wanita di stadion olah raga yang penuh sesak di beberapa provinsi dan ibu kota, Kabul, sejak pertengahan November, ketika pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, memerintahkan pengadilan untuk menerapkan hukum Islam atau hukuman berbasis Syariah.
Perintah itu juga mengarah ke eksekusi pertama secara terbuka terhadap terpidana pembunuhan sejak Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021.
Para pejabat mengatakan eksekusi di provinsi Farah, Afghanistan barat, dua minggu lalu sesuai “Qisas (pembalasan setimpal), hukum Islam yang menetapkan orang tersebut dihukum dengan cara yang sama seperti korban dibunuh.
Pencambukan dan eksekusi sejauh ini dilakukan di stadion disaksikan pejabat senior Taliban dan anggota masyarakat. Pengadilan tinggi Taliban dalam pernyataannya, Senin, membela penerapan Syariah Islam untuk peradilan pidana. Menurut mereka, itu adalah kunci untuk mewujudkan "perdamaian dan keadilan" di negara itu.
Advertisement
Eksekusi Mati Pembunuh di Depan Publik
Seorang pria Afghanistan yang dihukum karena pembunuhan dieksekusi mati di depan umum pada hari Rabu, kata Taliban, konfirmasi pertama dari hukuman tersebut sejak kelompok garis keras Islam itu kembali berkuasa.
Bulan lalu pemimpin tertinggi Taliban Hibatullah Akhundzada memerintahkan para hakim untuk sepenuhnya menegakkan aspek-aspek hukum Islam yang mencakup eksekusi publik, rajam dan cambuk, dan pemotongan anggota badan dari pencuri.Â
Mereka telah melakukan beberapa pencambukan publik sejak itu, tetapi eksekusi hari Rabu di Farah - ibu kota provinsi barat dengan nama yang sama - adalah yang pertama diakui Taliban.
"Mahkamah agung diinstruksikan untuk menerapkan perintah qisas ini dalam pertemuan publik rekan senegaranya," kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid dalam sebuah pernyataan, merujuk pada keadilan "mata ganti mata" dalam hukum Islam.
Dalam tweet selanjutnya, seperti dikutip dari AFP, Kamis (8/12), Mujahid mengatakan ayah korban telah melaksanakan hukuman eksekusi mati itu, menembak terpidana tiga kali dengan senapan Kalashnikov.
Pernyataan itu menyebut pria yang dieksekusi itu sebagai Tajmir, putra Ghulam Sarwar, dan mengatakan dia adalah penduduk Distrik Anjil di provinsi Herat.
Dikatakan Tajmir telah membunuh seorang pria, dan mencuri sepeda motor dan ponselnya.
"Belakangan, orang ini dikenali oleh ahli waris almarhum," katanya, seraya menambahkan bahwa dia telah mengakui kesalahannya.
Eksekusi Sudah Melalui Pengadilan
Jubir Taliban, Mujahid mengatakan kasus eksekusi hari Rabu telah diperiksa secara menyeluruh oleh serangkaian pengadilan sebelum pemimpin tertinggi memberikan perintah.
"Masalah ini diperiksa dengan sangat tepat," katanya dalam pernyataan itu. "Akhirnya, mereka memberi perintah untuk menerapkan hukum pembalasan syariah kepada si pembunuh."
Akhundzada, yang belum pernah difilmkan atau difoto di depan umum sejak Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021, diatur berdasarkan keputusan dari Kandahar, tempat kelahiran gerakan dan jantung spiritual.
Pernyataan tersebut menyertakan nama puluhan pejabat pengadilan serta perwakilan Taliban lainnya yang hadir untuk eksekusi tersebut.
Advertisement