Liputan6.com, Amsterdam - Raja Belanda Willem-Alexander menyambut permintaan maaf pemerintah atas peran negaranya dalam 250 tahun melakukan perbudakan. Hal ini ia sampaikan dalam pidato Natalnya pada Minggu kemarin dengan mengatakan itu adalah "awal dari perjalanan panjang".
Perdana Menteri Mark Rutte pada Senin pekan lalu secara resmi meminta maaf atas keterlibatan Belanda dalam perbudakan di bekas koloninya, menyebutnya sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan".
Baca Juga
"Tidak seorang pun saat ini memikul tanggung jawab atas tindakan tidak manusiawi yang dilakukan terhadap kehidupan pria, wanita, dan anak-anak," kata Willem-Alexander dari istana Huis ten Bosch di Den Haag, dikutip dari NST.com.my, Senin (26/12/2022).
Advertisement
"Tapi dengan menghadapi masa lalu kita bersama dan mengakui kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan perbudakan, kita meletakkan dasar untuk masa depan bersama. Masa depan di mana kita berdiri melawan semua bentuk modern dari diskriminasi, eksploitasi dan ketidakadilan.”
"Permintaan maaf yang ditawarkan oleh pemerintah adalah awal dari perjalanan panjang."
Belanda mendanai "Zaman Keemasan" kerajaan dan budayanya pada abad ke-16 dan ke-17 dengan mengirimkan sekitar 600.000 orang Afrika sebagai bagian dari perdagangan budak, sebagian besar ke Amerika Selatan dan Karibia.
Pemerintah Belanda mengatakan, beberapa acara peringatan besar akan diadakan mulai tahun depan dan telah mengumumkan dana 200 juta euro untuk prakarsa sosial.
Willem-Alexander berjanji bahwa topik tersebut akan diikuti oleh keluarga kerajaan selama tahun peringatan dan mereka akan tetap "terlibat".
Dikritik
Namun langkah Rutte bertentangan dengan keinginan beberapa organisasi peringatan perbudakan yang menginginkan permintaan maaf disampaikan pada 1 Juli 2023.
Keturunan perbudakan Belanda kemudian akan merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan dalam perayaan tahunan yang disebut "Keti Koti" (Memutus Rantai) di Suriname.
Pemimpin pulau Karibia Sint Maarten dan Suriname di Amerika Selatan menyayangkan kurangnya dialog dari Belanda terkait permintaan maaf tersebut.
Beberapa bekas jajahan Belanda menuntut ganti rugi atas perbudakan dan mengkritik pemerintah karena tidak memberikan tindakan nyata.
Advertisement
PM Belanda Meminta Maaf Soal Perbudakan Era Kolonial
M Belanda meminta maaf atas peran Belanda dalam perdagangan budak.
Mark Rutte mengajukan permintaan maaf resmi atas nama Belanda atas peran sejarah negaranya dalam perdagangan budak, mengatakan perbudakan harus diakui dalam "istilah yang paling jelas" sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam pidatonya di gedung arsip nasional di Den Haag, seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (20/12/2022), perdana menteri Belanda mengakui masa lalu "tidak bisa dihapus, hanya dihadapi". Namun selama berabad-abad, katanya, negara Belanda telah "memungkinkan, mendorong dan mengambil keuntungan dari perbudakan".
Orang-orang "dikomodifikasi, dieksploitasi, dan diperdagangkan atas nama negara Belanda", katanya, menambahkan: "Memang benar tidak ada yang hidup hari ini yang menanggung kesalahan pribadi atas perbudakan… Tetapi negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan luar biasa dari mereka yang diperbudak, dan keturunan mereka. Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu."
Kata-kata Rutte akan digaungkan oleh para menteri Belanda yang telah melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia yang menderita kesengsaraan yang tak terhitung selama 250 tahun perdagangan budak yang membantu mendanai "zaman keemasan" ekonomi dan budaya Belanda.
Langkah tersebut mengikuti kesimpulan dari panel penasehat nasional yang dibentuk setelah pembunuhan George Floyd di AS pada tahun 2020, yang mengatakan partisipasi Belanda dalam perbudakan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang pantas mendapatkan permintaan maaf resmi dan reparasi keuangan. Pemerintah telah mengesampingkan reparasi, tetapi akan menyiapkan dana pendidikan €200 juta.
Permintaan maaf resminya, bagaimanapun, telah menimbulkan kontroversi yang cukup besar, dengan kelompok keturunan dan beberapa negara yang terkena dampak mengkritiknya karena terburu-buru dan berpendapat bahwa kurangnya konsultasi dari Belanda menunjukkan sikap kolonial masih bertahan.
Seharusnya Raja Belanda yang Meminta Maaf?
Para pegiat mengatakan permintaan maaf seharusnya dilakukan oleh Raja Belanda, Willem-Alexander, dan dilakukan di bekas koloni Suriname, pada 1 Juli tahun depan, peringatan 150 tahun berakhirnya perbudakan di sana.
Rutte mengatakan memilih momen yang tepat adalah "masalah rumit" dan "tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang".
Perbudakan secara resmi dihapuskan di semua wilayah luar negeri Belanda pada tanggal 1 Juli 1863, menjadikan Belanda salah satu negara terakhir yang melarang praktik tersebut, tetapi butuh satu dekade lagi untuk mengakhirinya di Suriname karena masa transisi wajib 10 tahun.
Perdana Menteri wilayah Karibia Belanda Sint Maarten, Silveria Jacobs, mengatakan kepada media Belanda pada akhir pekan bahwa pulau itu tidak akan menerima permintaan maaf pemerintah "sampai komite penasehat kami telah membahasnya dan kami sebagai negara mendiskusikannya".
Seorang aktivis Sint Maarten, Rhoda Arrindell, berkata: "Kami telah menunggu selama beberapa ratus tahun untuk mendapatkan keadilan reparatoris yang sebenarnya. Kami percaya bahwa kami dapat menunggu lebih lama lagi."
Roy Kaikusi Groenberg dari the Honour and Recovery Foundation, sebuah organisasi Afro-Suriname Belanda, mengatakan belum ada cukup konsultasi dengan keturunan, menggambarkan penanganan pemerintah atas masalah ini sebagai neocolonial belch.
Advertisement