Sukses

Ilmuwan Terus Meneliti Penyebab Long COVID

Seorang sejarawan Inggris, seorang ahli arkeologi Italia, dan seorang guru prasekolah asal Amerika Serikat tidak pernah bertemu secara langsung sebelumnya, namun mereka berbagi ikatan penting akibat pandemi COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta - Seorang sejarawan Inggris, seorang ahli arkeologi Italia, dan seorang guru prasekolah asal Amerika Serikat tidak pernah bertemu secara langsung sebelumnya, namun mereka berbagi ikatan penting akibat pandemi COVID-19.

Ketiga perempuan tersebut berjasa dalam menjelaskan, memberi nama, dan membantu menjadikan isu long COVID menjadi perhatian publik pada awal 2020 saat mereka menderita gejala yang sama setelah terinfeksi COVID-19.

Rachel Pope yang berasal dari Liverpool, mendekripsikan gejala yang ia alami setelah ia sembuh dari infeksi COVID pada Maret 2020 melalui akun Twitter-nya. Pada saat itu, gejala-gejala tersebut belum memiliki nama, dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (28/12/2022).

Elisa Perego dari Italia adalah yang pertama menggunakan istilah "long COVID" pada bulan Mei 2020 untuk mendeskripsikan gejala serupa yang ia alami. Lalu Amy Watson asal Portland, Oregon, mendapat inspirasi untuk menamakan grup dukungan yang ia buat di Facebook dengan istilah tersebut.

Hampir tiga tahun setelah pandemi, masih belum jelas apa yang membuat sejumlah orang rentan terhadap long COVID dan mengapa hanya sebagian kecil, termasuk ketiga perempuan tersebut, yang memiliki gejala berkepanjangan.

Jutaan orang di seluruh dunia yang kini memiliki gejala long COVID, melaporkan sejumlah gejala seperti kelelahan, masalah paru-paru, dan juga brain fog (kabut otak) serta sejumlah gejala yang berkaitan dengan masalah saraf.

Bukti menunjukkan banyak dari penderita gejala long COVID yang dapat sembuh secara bertahap dalam waktu satu tahun, namun data terkini memperlihatkan bahwa kondisi tersebut telah berkontribusi terhadap sekitar 3,500 kematian di Amerika Serikat.

Berikut sejumlah bukti terbaru mengenai long COVID:

 

2 dari 3 halaman

Perempuan paling Berisiko?

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih berisiko terkena long COVID. Sejumlah alasan biologis mungkin dapat menjelaskan mengenai fakta tersebut.

Sistem kekebalan tubuh perempuan biasanya lebih kuat dalam bereaksi terhadap sejumlah virus, bakteri, parasit, dan kuman-kuman lainnya, ujar Sabra Klein, profesor di Universitas Johns Hopkins yang mempelajari soal kekebalan tubuh.

Perempuan juga lebih berisiko dibandung laki-laki untuk terkena penyakit autoimun, kondisi di mana tubuh menyerang sel-sel yang sehat. Sejumlah ilmuwan percaya bahwa long COVID merupakan hasil dari respons autoimun yang dipicu oleh virus corona.

Faktor lain yang memungkinkan adalah perempuan cenderung mencari bantuan perawatan kesehatan terkait kondisinya dibandingkan laki-laki, ujar Klein.

"Saya rasa kita tidak bisa mengabaikan fakta itu," ujarnya. Biologi dan tingkah laku manusia memiliki perannya, tambah Klein.

 

3 dari 3 halaman

Obesitas

Obesitas adalah faktor berisiko untuk infeksi COVID-19 yang parah dan ilmuwan kini tengah mempelajari mengapa hal tersebut terjadi.

Para peneliti di Universitas Standford merupakan di antara peneliti yang menemukan bukti bahwa virus corona dapat menginfeksi sel lemak. Dalam sebuah penelitian terbaru, mereka menemukan virus dan gejala peradangan di jaringan lemak pada individu yang meninggal dunia akibat infeksi COVID.

Hasil lab menunjukkan bahwa virus tersebut dapat bereproduksi pada jaringan lemak. Fakta itu menunjukkan kemungkinan bahwa jaringan lemak dapat berperan sebagai "penampung," yang berpotensi menyebabkan gejala long COVID.