, Beijing - Kasus COVID-19 di China melonjak drastis setelah Beijing mencabut kebijakan nol-COVID-19.
Situasi itu disinyalir dapat menciptakan potensi tempat berkembang biaknya varian baru Virus Corona, demikan peringatan pakar kesehatan seperti dikutip dari DW Indonesia, Jumat (30/12/2022).
Baca Juga
Sementara Komisi Kesehatan Nasional negara itu berhenti mengeluarkan angka kasus harian, pejabat di beberapa kota memperkirakan ratusan ribu orang telah terinfeksi COVID-19 dalam beberapa pekan terakhir. Rumah sakit dan krematorium di seluruh negeri dilaporkan telah kewalahan.
Advertisement
Dengan varian virus yang kini bersirkulasi dan mampu menginfeksi hampir 20% populasi dunia, banyak warga China yang belum memiliki kekebalan dari infeksi sebelumnya dan banyak yang belum divaksinasi, mengkhawatirkan negara lain dan pakar, bahwa China akan menjadi lahan subur bagi varian baru.Â
Antoine Flahault, direktur Institut Kesehatan Global di Universitas Jenewa, mengatakan kepada AFP bahwa setiap infeksi baru meningkatkan kemungkinan virus akan bermutasi.
"Fakta bahwa 1,4 miliar orang tiba-tiba terekspos pada virus SARS-CoV-2, jelas menciptakan kondisi yang rawan munculnya varian baru," kata Flahault merujuk pada virus penyebab penyakit COVID-19.
Bruno Lina, seorang profesor virologi di Universitas Lyon Prancis, kepada surat kabar La Croix pada pekan ini mengatakan, China dapat menjadi "tempat berkembang biak yang potensial bagi virus varian baru".
Soumya Swaminathan, yang menjabat sebagai ilmuwan kepala Organisasi Kesehatan Dunia -WHO hingga November lalu, mengatakan sebagian besar penduduk China rentan terhadap infeksi, sebagian karena banyak orang lanjut usia belum divaksinasi atau mendapat vaksinasi booster.
"Kita perlu terus mencermati setiap varian yang muncul," katanya kepada situs web surat kabar Indian Express.
China mengumumkan pekan ini, para wisatawan yang masuk ke negara itu, mulai 8 Januari tidak lagi diwajibkan dikarantina. Ini adalah pembatalan kebijakan besar terbaru dari pembatasan ketat yang membuat China sebagian besar tertutup bagi dunia sejak dimulainya pandemi.
Siaga Negara Asing ke Pelancong China
Amerika Serikat menetapkan aturan baru bagi pelancong asal China yang harus lolos uji COVID-19 bila mau masuk ke negaranya. Kebijakan ini ditetapkan sesaat usai Beijing mengumumkan akan membuka kembali perbatasannya pada minggu depan.
Italia, Jepang, Taiwan, dan India juga mengumumkan warga China wajib tes bila bertandang ke negaranya. Hanya Australia dan Inggris yang memutuskan tidak ada aturan baru bagi pelancong dari China.
Melansir laman BBC, Kamis (29/12/2022), usai 3 tahun tertutup dari dunia, China akan membiarkan warganya bepergian lebih bebas mulai 8 Januari. Tetapi lonjakan COVID yang sedang berlangsung di negara itu telah memicu kewaspadaan.
China melaporkan sekitar 5.000 kasus per hari, tetapi analis mengatakan jumlah tersebut sejatinya masih sangat kurang di mana prediksinya beban kasus harian mungkin mendekati satu juta.
Laporan menyebutkan jika rumah sakit kewalahan menangani pasien dan warga berjuang untuk menemukan obat-obatan dasar.
AS mengatakan kurangnya data COVID yang "memadai dan transparan" di China telah berkontribusi pada keputusan untuk mewajibkan tes COVID mulai 5 Januari bagi pelancong yang memasuki AS dari China, Hong Kong, dan Makau.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengatakan ini diperlukan "untuk membantu memperlambat penyebaran virus saat kami berupaya mengidentifikasi ... potensi varian baru yang mungkin muncul".
Tetapi kementerian luar negeri Beijing mengatakan aturan virus corona hanya boleh diberlakukan atas dasar "ilmiah" dan menuduh negara-negara Barat dan media "membesar-besarkan" situasi tersebut.
Di Jepang, pelancong dari China juga harus menjalani tes Covid pada saat kedatangan. Mereka yang dites positif harus dikarantina hingga tujuh hari. Selain itu, jumlah penerbangan ke dan dari China juga dibatasi
Di India, orang yang bepergian dari China dan empat negara Asia lainnya harus menunjukkan tes Covid negatif sebelum tiba. Penumpang yang positif juga akan dikarantina.
Taiwan mengatakan orang-orang yang tiba dengan penerbangan dari China, serta dengan perahu di dua pulau, harus menjalani tes Covid pada saat kedatangan dari 1 Januari hingga 31 Januari. Mereka yang dinyatakan positif akan dapat mengisolasi diri di rumah
Sementara Malaysia telah menerapkan langkah-langkah pelacakan dan pengawasan tambahan. Italia juga telah memberlakukan pengujian Covid wajib pada pelancong dari China.
Komisi Eropa mengatakan komite keamanan kesehatannya akan bersidang pada hari Kamis untuk membahas "kemungkinan langkah-langkah untuk pendekatan UE yang terkoordinasi" terhadap lonjakan Covid di China.
Tetapi Italia, negara anggota UE dan episentrum virus pada akhir 2019 dan 2020, mengatakan pihaknya bergerak lebih dulu untuk "memastikan pengawasan dan identifikasi" dari setiap varian baru virus tersebut.
Advertisement
Reaksi Warga China
Beberapa orang bereaksi dengan marah di media sosial China. "Saya pikir semua negara asing telah terbuka. Bukankah ini rasisme?" baca satu komentar yang disukai 3.000 kali di Weibo. AS mengatakan pengujian diperlukan bagi siapa pun yang datang dari China, atau melalui negara ketiga, terlepas dari kebangsaannya.
Tetapi yang lain mengatakan bahwa mereka memahami alasan dari kondisi tersebut: "Ini tidak seberapa dibandingkan dengan semua pembatasan yang kami miliki untuk orang yang datang ke China," tulis seorang pengguna.
Beijing baru mengumumkan pada hari Senin keputusannya untuk mengakhiri karantina untuk kedatangan - secara efektif membuka kembali perjalanan masuk dan keluar negara untuk pertama kalinya sejak Maret 2020. Hingga minggu ini, siapa pun yang memasuki China harus menjalani karantina di fasilitas negara.
Sebelum pandemi, China telah menjadi pasar wisata outbound terbesar di dunia. Tetapi tidak jelas berapa banyak orang China yang akan bepergian ke luar negeri setelah 8 Januari mengingat jumlah penerbangan terbatas, dan banyak warga perlu memperbarui paspor mereka.
Reaksi masyarakat internasional bervariasi dengan Inggris dan Australia mengatakan mereka memantau situasi Covid di China tetapi tidak berencana mengumumkan persyaratan pengujian baru.
Â
Kata Pemerintah China
Kementerian luar negeri China mengatakan saat ini perkembangan situasi epidemi China secara keseluruhan dapat diprediksi dan terkendali.
Namun jumlah sebenarnya dari kasus harian dan kematian di China tidak diketahui karena para pejabat telah berhenti meminta laporan kasus dan mengubah klasifikasi untuk kematian akibat Covid.
Para pejabat mengatakan mereka juga akan berhenti merilis jumlah kasus harian. "Lonjakan infeksi di China sesuai dengan yang diharapkan," kata Dr Chandrakant Lahariya, Ahli epidemiologi dan spesialis sistem kesehatan India kepada BBC.
"Jika Anda memiliki populasi rentan yang tidak terpapar virus, kasus akan meningkat. Tidak ada yang berubah di seluruh dunia."
Keputusan China untuk membuka kembali perbatasannya menandai akhir dari kebijakan nol-Covid yang kontroversial di negara itu, yang secara pribadi didukung oleh Presiden Xi Jinping.
Bahkan ketika seluruh dunia beralih untuk hidup dengan virus, Beijing bersikeras pada kebijakan pemberantasan yang melibatkan pengujian massal dan penguncian yang ketat.
Advertisement