Liputan6.com, Washington D.C - Sebuah pesawat militer China terbang mendekat hingga tiga meter dari pesawat terbang Angkatan Udara Amerika Serikat di atas wilayah sengketa Laut Cina Selatan pada minggu lalu. Situasi tersebut memaksa pesawat militer AS melakukan manuver untuk menghindar dan mencegah tubrukan terjadi di wilayah udara internasional, demikian disampaikan oleh pihak militer AS.
Insiden tersebut terjadi menyusul tren yang oleh pihak AS sebut sebagai tren perilaku berbahaya yang dilakukan oleh pesawat tempur militer China.
Baca Juga
Insiden yang melibatkan pesawat tempur J 11 milik Angkatan Laut China dan pesawat RC135 milik Angkatan Udara AS itu berlangsung pada 21 Desember, kata militer AS dalam sebuah pernyataan, dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (30/12/2022).
Advertisement
“Kami menuntut agar semua negara di kawasan Indo Pasifik menggunakan wilayah udara internasional secara aman dan sesuai dengan hukum internasional,” demikian tambah penyataan itu.
AS telah mengangkat isu tersebut kepada pemerintah China, ujar seorang pejabat AS. Kedutaan Besar China di Washington DC tidak segera menjawab permintaan komentar terkait isu tersebut.
Sebelumnya, China telah mengatakan bahwa keputusan AS untuk mengirimkan pesawat dan kapal-kapalnya ke wilayah Laut China Selatan bukanlah keputusan yang tepat untuk menciptakan perdamaian.
Sejumlah pesawat dan kapal militer Amerika Serikat secara rutin melakukan operasi pengawasan di kawasan tersebut.
Antisipasi Penyebaran COVID-19 dari China, AS Bakal Rilis Aturan Baru
Terbaru soal AS dan China, Negeri Paman Sam punya aturan baru soal kedatangan pelancong asal Negeri Tirai Bambu.
Pemerintah Amerika Serikat kemungkinan akan memberlakukan aturan COVID-19 baru bagi pelancong dari China karena kekhawatiran tentang "kurangnya data transparan" dari Beijing, kata pejabat AS pada Selasa (27/12).
Langkah itu dilakukan setelah Jepang, India, dan Malaysia mengumumkan peningkatan aturan bagi pelancong dari China dalam 24 jam terakhir, dengan alasan peningkatan infeksi di sana.
Dikutip dari NST.com.my, Rabu (28/12/2022) Jepang mengatakan akan memerlukan tes COVID-19 negatif pada saat kedatangan untuk pelancong dari China.
Sementara itu, Malaysia telah menerapkan langkah-langkah pelacakan dan pengawasan tambahan.
“Ada kekhawatiran yang meningkat di komunitas internasional tentang lonjakan COVID-19 yang sedang berlangsung di Tiongkok dan kurangnya data transparan, termasuk data sekuens genomik virus, yang dilaporkan dari RRT,” kata pejabat tersebut.
Beberapa rumah sakit dan rumah duka di China telah kewalahan karena virus menyebar tanpa terkendali di seluruh negara berpenduduk 1,4 miliar orang itu.
Namun, statistik resmi menunjukkan hanya satu kematian akibat COVID-19 dalam tujuh hari hingga Senin, memicu keraguan di antara pakar kesehatan dan penduduk tentang data pemerintah.
Angka-angka tersebut tidak konsisten dengan pengalaman negara-negara yang jauh lebih sedikit penduduknya setelah dibuka kembali.
China mengatakan pada Senin kemarin bahwa pihaknya akan berhenti mewajibkan pelancong yang datang untuk melakukan karantina mulai 8 Januari dalam langkah besar menuju pelonggaran pembatasan di perbatasannya, yang sebagian besar telah ditutup sejak 2020.
Advertisement
Jepang Pantau Kedatangan dari China
Pemerintah Jepang mengaku bingung dengan data COVID-19 dari China. Alhasil, para pendatang dari Negeri Tirai Bambu itu harus tes COVID-19 jika ingin masuk Negeri Sakura.
Kasus COVID-19 di China saat ini memang sedang meroket. Dikhawatirkan kasus bisa tembus 2 juta sehari pada sekitar tahun baru 2023. Jepang lantas mencoba menahan lonjakan masuk kedatangan dari China.
Berdasarkan laporan Kyodo, Rabu (28/12/2022), aturan untuk warga China Daratan ini berlaku pada Jumat 30 Desember 2022. Warga yang baru mengunjungi China selama tujuh hari terakhir juga harus dites.
"Kekhawatiran telah muncul di Jepang sebab sulit untuk memahami situasi yang detail (di China)," ujar Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida. Ia menyorot perbedaan angka resmi pemerintah dan data swasta.
WHO juga telah menyampaikan kekhawatiran mengenai data COVID-19 dari pemerintah China.
Pembatasan di Jepang akan difokuskan pada empat bandara yang memiliki penerbangan langsung ke China Daratan, Hong Kong, dan Macau, yakni Bandara Narita, Haneda, Kansai, dan Chubu. Para maskapai juga diminta tidak menambah penerbangannya.
Tak hanya itu, pemerintah Jepang meminta Cathay Pacific Airlines, Hong Kong Airlines, dan Hong Kong Express Airways agar menahan penerbangan antara Hong kong dan Sapporo, Fukuoka, dan Nara pada Jumat besok.
Pemerintah China pun tidak senang terhadap kebijakan Jepang ini yang dinilai mengganggu hubungan kedua negara. Pihak China menilai kebijakan COVID-19 seharusnya moderat dan tak mengganggu kunjungan warga.
Saat ini, Jepang telah melonggarkan aturan masuk bagi pendatang dengan syarat menunjukkan tiga bukti vaksinasi atau sudah tes dalam 72 jam terakhir.
Warga China Buru-Buru Rencanakan Bepergian
Sebelumnya dilaporkan, masyarakat China yang terputus dari seluruh dunia selama tiga tahun oleh pembatasan COVID-19, berbondong-bondong ke tempat-tempat perjalanan pada Selasa (27 Desember) menjelang pembukaan kembali perbatasan, bahkan ketika infeksi yang meningkat membebani sistem kesehatan dan mengguncang perekonomian.
Dilansir Channel News Asia, Rabu (28/12), langkah-langkah zero COVID - dari perbatasan yang ditutup hingga lockdown berkepanjangan - telah menghancurkan ekonomi China sejak awal 2020, bulan lalu memicu ketidakpuasan publik terbesar di daratan sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada 2012.
Perubahan kebijakannya pada bulan ini berarti virus sekarang menyebar sebagian besar tidak terkendali di seluruh negara berpenduduk 1,4 miliar orang.
Namun, statistik resmi menunjukkan hanya satu kematian akibat COVID-19 dalam tujuh hari terakhir hingga Senin, memicu keraguan di antara pakar kesehatan dan penduduk tentang data pemerintah. Angka-angka tersebut tidak konsisten dengan pengalaman negara-negara yang jauh lebih sedikit penduduknya setelah dibuka kembali.
Dokter mengatakan rumah sakit kewalahan dengan pasien lima sampai enam kali lebih banyak dari biasanya, kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia.
Pakar kesehatan internasional memperkirakan jutaan infeksi setiap hari dan memperkirakan setidaknya 1 juta kematian akibat COVID-19 di China tahun depan.
Advertisement