Sukses

Menteri Israel Kunjungi Al-Aqsa, Palestina Siap Lawan Aksi Provokatif

Aksi kunjungi menteri Israel ke area Al-Aqsa dinilai provokatif.

Liputan6.com, Yerusalem - Kunjungan seorang menteri Israel ke Masjid Al-Aqsa menuai kecaman keras dari negara-negara Timur Tengah. Kerajaan Arab Saudi menyebut kunjungan itu sebagai provokatif.

Menteri yang datang ke Al-Aqsa itu adalah Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir.

Dilaporkan Arab News, Rabu (4/1/2023), Kementerian Luar Negeri Arab Saudi merilis pernyataan mengecam aksi provokasi Israel tersebut. Pemerintah Palestina juga mengaku siap melawan aksi provokatif.

Organisasi Kerja Sama Islam juga memberikan kecaman keras dan berkata tindakan Ben-Gvir merupakan "bagian dari upaya-upaya Israel untuk mengubah status sejarah dan hukum yang ada di Masjid Al-Aqsa yang diberkati."

Kunjungan Ben-Gvir dinilai bertentangan dengan sentimen umat Muslim, serta melanggar resolusi-resolusi internasional.

Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh menyebut kunjungan tersebut merupakan upaya mengubah kompleks masjid tersebut menjadi "sebuah kuil Yahudi". Rakyat pun diminta mengkonfrontasi gangguan ke Masjid Al-Aqsa.

Mesir yang merupakan mediator di Gaza juga memperingatkan ada konsekuensi negatif dari tindakan Israel.

Yordania, Kuwait, dan Uni Emirat Arab turut memberikan kecaman terhadap kunjungan Israel. Yordania menegaskan kunjungan Israel bertentangan dengan status quo di Yerusalem.

Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih meminta agar Perdana Menteri Israel menjaga komitmen di lokasi-lokasi suci di Yerusalem.

"Amerika Serikat berdiri tegas untuk mendukung preservasi status quo terkait lokasi-lokasi suci di Yerusalem," tulis keterangan pihak AS. "Aksi unilateral mana pun yang membahayakan status quo tidaklah diterima."

2 dari 4 halaman

Israel Cuek

Status quo di Masjid Al-Aqsa adalah hanya orang Muslim yang boleh beribadah di sana. Lokasi itu disebut Temple Mount oleh pihak Israel.

Itamar Ben-Gvir tampak cuek menghadapi berbagai kontroversi atas kunjungannya. Ia menyebut orang Yahudi juga berhak ke lokasi suci tersebut. 

"Kami menjaga kebebasan beribadah bagi orang Muslim dan Kristen, tetapi orang Yahudi juga punya hak di tempat tersebut dan mengunjunginya," ujar Ben-Gvir via Twitter.

"Kita harus berhadapan dengan tangan besi melawan siapa saja yang mengancam kita," lanjutnya.

Media Israel melaporkan bahwa kunjungan Ben-Gvir direstui oleh lembaga keamana Israel, Shin Bet. Kepolisian Israel juga memberikan kampu hijau.

Petugas keamanan Israel kini waspada karena adanya ancaman dari Hamas dan Islamic Jihad usai kunjungan ini. Faksi-faksi Palestina di Tepi Barat juga meminta agar oposisi terhadap tentara Israel ditingkatkan.

Jubir kepresidenan Palestina, Nabil Abu Rudeineh, menyebut kunjungan Ben-Gvir merupakan bentuk tantangan kepada rakyat Palestina, negara Arab, dan komunitas internasional.

Keprihatinan juga datang dari Inggris. Inggris menegaskan bahwa negaranya mendukung status quo dan meminta agar jangan ada aksi yang mengganggu perdamaian.

3 dari 4 halaman

Raja Yordania Siap Tempur Jika Israel Macam-Macam di Al-Aqsa

Sebelumnya dilaporkan, Benjamin Netanyahu kembali duduk di kursi kekuasaan sebagai perdana menteri Israel. Sosok Netanyahu yang kontroversial membuat Kerajaan Yordania perlu angkat bicara terkait Masjid Al-Aqsa. 

Raja Abdullah II dari Yordania lantas mengingatkan Israel agar tidak melewati batas. Hal ini terutama terkait status quo di lokasi-lokasi suci keagamaan.  

"Jika orang-orang ingin berkonflik dengan kami, kami cukup siap," ujar Raja Abdullah II dalam wawancara bersama CNN, dikutip Kamis (29/12).

"Kami punya garis merah tertentu," lanjut Raja Abdullah II. "Dan jika ada yang ingin mendorong garis merah tersebut, maka kami akan menghadapinya."

Status quo di Yerusalem adalah jaminan agar umat Muslim dapat memiliki akses beribadah di Masjid Al-Aqsa. Yordania merupakan representasi dari sisi umat Muslim untuk mengurus wilayah tersebut. 

Selain itu, Raja Abdullah II mengaku khawatir dengan adanya intifada. Ia mengingatkan bahwa konflik yang terjadi akan merugikan pihak Israel dan Palestina. 

"Kami khawatir tentang intifada berikutnya," ujar Raja Abdullah II. "Dan jika itu terjadi, itu akan menjadi keruntuhan penuh dari hukum dan ketertiban. Dan itu tidak akan menguntungkan Israel maupun Israel."

Lebih lanjut, Raja Abdullah berkata banyak pihak yang khawatir dengan risiko terjadinya intifada, termasuk orang-orang di Israel yang setuju dengan posisi Yordania. Mereka pun berusaha agar tidak ada eskalasi pada situasi.

"Saya pikir banyak kekhawatiran dari semua pihak di kawasan tersebut, termasuk mereka di Israel yang berada di pihak kami dalam isu ini, supaya hal tersebut tidak terjadi," ujar Raja Abdullah II.

4 dari 4 halaman

Benjamin Netanyahu Resmi Dilantik Jadi PM Israel Lagi

Benjamin Netanyahu dilantik sebagai perdana menteri pada Kamis (29/12) setelah menjadi oposisi. Ia pun memimpin apa yang oleh para analis disebut sebagai pemerintahan paling kanan dalam sejarah negara itu.

Dilansir Channel News Asia, Jumat (30/12), Netanyahu (73) yang melawan tuduhan korupsi di pengadilan, telah menjabat sebagai perdana menteri lebih lama dari siapa pun dalam sejarah Israel. Ia pernah memimpin negara itu dari 1996-1999 dan 2009-2021.

"Ini adalah keenam kalinya saya mempresentasikan sebuah pemerintahan yang saya tuju untuk mendapatkan dukungan parlemen, dan saya bersemangat seperti yang pertama kali," kata Netanyahu kepada Knesset menjelang upacara pelantikannya.

Parlemen memilih untuk menyetujui pemerintahannya dan memilih mantan menteri Amir Ohana sebagai pembicara Knesset, orang gay pertama yang menduduki jabatan tersebut.

Netanyahu, yang menjadikan dirinya sebagai penjamin keamanan negaranya, menekankan bahwa tujuan utamanya adalah "untuk menggagalkan upaya Iran untuk mengembangkan persenjataan senjata nuklir" dan "memastikan superioritas militer Israel di wilayah tersebut".

Namun dia juga menyuarakan harapan untuk memperluas lingkaran perdamaian dengan negara-negara Arab menyusul perjanjian normalisasi yang ditengahi AS dengan Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko.

Mantan menteri intelijen Israel Eli Cohen, seorang arsitek perjanjian normalisasi, ditunjuk sebagai menteri luar negeri.