Sukses

Istri Pembunuh Suami Pelaku KDRT Raih Grasi dari Joe Biden

Wanita bernama Beverly Ann Ibn-Tamas mendapatkan clemency dari Presiden AS Joe Biden atas aksinya.

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Joe Biden memberikan grasi kepada seorang korban KDRT yang membunuh suaminya. Grasi berupa full pardon itu diberikan kepada Beverly Ann Ibn-Tamas.

Wanita itu menembak mati suaminya setelah berkali-kali disiksa secara fisik maupun verbal. Insiden itu terjadi sekitar 50 tahun yang lalu.

Berdasarkan pernyataan di situs Gedung Putih, Rabu (4/1/2022), Beverly Ibn-Tamas membunuh suaminya ketika ia berusia 33 tahun. Saat itu, ia sedang hamil. 

Ia mengaku suaminya memukul, menghina, dan mengancamnya.

Situs NBC4i menyebut peristiwa tersebut terjadi pada 23 Februari 1976. Suami Beverly, Yusef Ibn-Taman, dilaporkan menendang perut Beverly yang sedang hamil dan menodongkan revolver ke wajah sang istri.

Beverly berhasil mengambil revolver yang ditinggalkan suaminya dan menembak pintu agar suaminya pergi. Namun, suaminya muncul lagi, Beverly lantas menembak perut suaminya. Suaminya mengancam akan membunuh Beverly, sehingga wanita itu kembali menembak suaminya hingga tewas.

Pemerintahan Joe Biden mencatat bahwa pihak pengadilan tidak mendengarkan pakar terkait kondisi Beverly yang mengalami sindrom wanita babak belur (battered woman syndrome). 

Situs healthline menjelaskan sindrom itu merupakan masalah kesehatan mental serius yang dialami oleh para korban KDRT. Beberapa dampaknya, yakni depresi hingga luapan emosi ke penganiaya. 

Beverly akhirnya dipenjara hingga lima tahun.

Namun, pemberian grasi dari presiden AS bisa memberikan kemudahan bagi wanita itu. Situs Kementerian Kehakiman AS menyebut pardon bisa menghapus batasan hukum bagi seseorang, seperti jika ingin mendapat lisensi, mencoblos, duduk sebagai juri di pengadilan atau memegang jabatan.

Saat ini, Beverly sudah berusia 80 tahun. Ia sempat bekerja di sektor pelayanan kesehatan dan membesarkan dua anaknya sebagai single mother.

2 dari 4 halaman

Angka KDRT dan Perceraian Tinggi, Layanan Tes Pra Nikah Online Dirilis Liputan6.comLiputan6.com 03 Jan 2023, 11:31 WIB

Di dalam negeri, data terbaru menunjukkan tingkat perceraian di Indonesia terus menunjukkan tren kenaikan 3 tahun terakhir.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Indonesia 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara. Data BPS tersebut pun hanya mencakup perceraian untuk orang Islam saja.

Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan konsultasi SDM sekaligus layanan psikologi online, PT Satmaka Raharja Group, merilis layanan assessment pra-nikah dan berbagai assesement lainnya untuk pasangan maupun individu bernama Dalami.id.

Layanan ini akan membantu pasangan yang akan menikah untuk mengetahui kondisi mental, kesiapan mental maupun kesiapan pasangan sebelum memutuskan maju kejenjang lebih serius maupun pernikahan.

Layanan asesmen ini akan membantu pasangan mengetahui kondisi kesiapan mental, kepribadian termasuk pola emosi dan juga pola percintaan pasangan nantinya.

Selain itu, layanan ini juga akan membantu pasangan mengetahui apakah mereka memiliki ekspekatasi maupun harapan yang sama atau tidak. Semua hasil tersebut pastinya akan dibacakan oleh psikolog yang sudah berpengalaman pada bidangnya.

"Kami sangat yakin bahwa layanan assessment kami akan membantu banyak pasangan menghindari terjebak dalam hubungan yang tidak diinginkan dalam rumah tangga, maupun hubungan percintaan sebelum masa pernikahan," ujar Co-Founder Satmaka Raharja Group, Ilham Faris Baladraf, dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/1/2023).

"Kami berharap dengan layanan ini dapat membantu mengurangi tingkat perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia," tambah Ilham.

3 dari 4 halaman

Peran Tetangga Mencegah KDRT

Menurut kriminolog Haniva Hasna, tetangga atau lingkungan sekitar memiliki peran penting dalam meminimalisasi kasus-kasus KDRT yang terjadi di lingkungannya. 

Sayangnya, masyarakat masih beranggapan bahwa KDRT adalah urusan “dapur “ orang. Padahal korban adalah pihak yang lemah dan perlu ditolong.

Korban KDRT secara umum cenderung merasa tidak memiliki harga diri dan keberanian untuk melakukan perlawanan dan malu atau takut bila menyampaikan kepada orang lain akibat ancaman pelaku. Bila kondisinya demikian, artinya korban sangat butuh bantuan orang sekitar.

Sosialisasi harus terus dilakukan oleh RT/RW atau lembaga setempat terkait KDRT sehingga masing-masing warga mengetahui bagaimana cara deteksi dini dan cara memberi pertolongan terhadap korban.

“Sampaikan kepada korban bahwa tetangga adalah warga yang siaga memberikan bantuan dan perlindungan. Bantuan itu bukan selalu secara langsung, bisa saja dilakukan dengan cara membantu melaporkan kepada RT sehingga pelaku mendapat teguran langsung,” kata kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis, Rabu 28 Desember 2022.

Selain itu, mengadakan pertemuan rutin juga dapat meminimalisasi terjadinya KDRT. Saat bertemu fisik setidaknya para warga jadi saling mengenal dan mengetahui kondisi fisik orang disekitar.

Hubungan sosial yang baik akan membuat masing-masing warga menjadi lebih terbuka. Selain itu, membantu mengajarkan bahwa masing-masing orang berdaya dan berhak mendapat perlindungan dari segala hal yang berkenaan dengan kekerasan.

4 dari 4 halaman

Bermacam Pemicu KDRT

Sebagian besar kasus KDRT disebabkan oleh kuatnya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Relasi kuasa ini membuat pelaku bertindak sewenang-wenang dengan tujuan utama untuk memuaskan keinginan diri sendiri. Baik dalam bentuk pelampiasan emosi maupun perasaan berhak atas korban.

“Siapa yang mendominasi keluarga, maka ia akan merasa berhak untuk mengontrol dan menguasai segala aspek dalam hubungan rumah tangga,” kata Iva.

Selain relasi kuasa, ada sebab lain yang bisa memicu KDRT, salah satunya gangguan mental. Orangtua yang melakukan tindak kekerasan merasa layak melakukan hal itu kepada anaknya sebagai bentuk pengulangan sejarah kekerasan yang pernah ia alami di masa kecil.

Di sisi lain, kemiskinan, kehadiran orang ketiga, keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan dalam mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis terhadap anak, lahirnya anak yang tidak diinginkan (unwanted child), dan anak lahir di luar nikah juga bisa menjadi pemicu KDRT.