Sukses

Jerman Tolak Ganti Rugi Biaya Perang Dunia II ke Polandia

Perang Dunia II dipicu invasi Jerman ke Polandia.

Liputan6.com, Warsawa - Pemerintah Jerman tegas menolak permintaan ganti rugi dari Polandia untuk Perang Dunia II. Jerman menilai perkara ini sudah selesai puluhan tahun yang lalu. 

Perang Dunia II dimulai ketika Adolf Hitler memerintahkan tentara Jerman untuk menyerang Polandia. Aksi tersebut memicu reaksi negara-negara Eropa lain, hingga akhirnya Jepang dan Amerika Serikat ikut terlibat.

Dilaporkan VOA Indonesia, Rabu (4/1/2022), Kementerian Luar Negeri Polandia pada hari Selasa (3/1) mengatakan telah menerima surat resmi dari Jerman yang menolak klaim ganti rugi Perang Dunia II yang diajukan Polandia.

“Menurut pemerintah Jerman, masalah reparasi dan kompensasi kerugian masa perang tetap tertutup dan pihaknya tidak berniat memulai negosiasi,” kata kementerian dalam sebuah pernyataan.

Kementerian juga menambahkan, Polandia “akan terus mengupayakan kompensasi atas agresi dan penjajahan Jerman pada tahun 1939-1945.”

Di hari yang sama, Warsawa mengatakan pihaknya telah meminta dukungan PBB dalam upayanya untuk mendapatkan ganti rugi perang.

Sejak mulai berkuasa pada 2015, Partai Hukum dan Keadilan (PiS) Polandia telah memperjuangkan masalah ganti rugi perang, dengan bersikeras bahwa Jerman memiliki “kewajiban moral” dalam masalah tersebut.

September lalu Polandia memperkirakan jumlah kerugian finansial akibat Perang Dunia II yang dideritanya mencapai 1,3 triliun euro, atau sekitar Rp 23.000 triliun. Pemerintah Polandia lantas mengirimkan surat diplomatik resmi kepada Berlin untuk menuntut ganti rugi.

Berlin telah berulang kali menolak klaim tersebut, dengan alasan Polandia telah secara resmi menolak tuntutan itu dalam sebuah kesepakatan pada tahun 1953.

Akan tetapi sayap konservatif Polandia mengatakan bahwa negaranya dipaksa menandatangani dokumen tersebut oleh Uni Soviet.

2 dari 4 halaman

Natal 2023, Jerman Harapkan Perdamaian di Ukraina

Dalam pidato Natal Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier yang disiarkan secara nasional pada Minggu 25 Desember 2022, ia menyisipkan pesan terkait Ukraina.

Pada kesempatan tersebut, ia menyesalkan kurangnya perdamaian di Ukraina selama 10 bulan terakhir sejak invasi Rusia. 

"Harapan kami yang paling kuat tentunya agar perdamaian kembali berkuasa," ujar Steinmeier dalam pidato Natal seperti dikutip dari DW Indonesia, Selasa (27/12/2022).

Presiden Jerman mencatat bagaimana perang brutal Rusia yang dimulai 24 Februari lalu telah menyebabkan "penderitaan mengerikan” bagi rakyat Ukraina serta "ketakutan bahwa permusuhan akan menyebar.”

Pengungsi Ukraina Hidup Aman di Jerman

Steinmeier juga menceritakan pertemuannya baru-baru ini dengan 50 pengungsi anak dari Ukraina saat berkunjung ke Kota Freiberg. Anak-anak muda itu melarikan diri dari perang dengan ibu mereka dan sekarang mereka tinggal di negara bagian Saxony, Jerman bagian Timur.

Dia mencatat bahwa banyak di antara mereka yang telah "mengalami hal-hal mengerikan” yang membuat mereka "sangat ketakutan hingga pintu yang ditutup dengan keras sudah membuat mereka gemetar.”

"Anak-anak sekolah dasar di Freiberg dan keluarga mereka di Ukraina merindukan perdamaian lebih daripada kita. Namun, perdamaian belum tercapai," ujarnya.

Steinmeier mengatakan bahwa ketika waktunya tiba, "harus ada perdamaian yang adil, yang tidak memberikan penghargaan terhadap perampasan tanah dan tidak meninggalkan orang-orang di Ukraina dari tindakan sewenang-wenang dan kekejaman oleh pihak yang menjajah mereka.”

3 dari 4 halaman

Rusia Diduga Lakukan 58.000 Kejahatan Perang di Ukraina

Pemerintah Ukraina terus mencatat dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Rusia selama invasi berlangsung sejak 2022. Totalnya ada lebih dari 58 ribu dugaan kejahatan perang.

Berdasarkan laporan AP News, Minggu (1/1), Ukraina menginvestigasi kejahatan perang berupa pembunuhan, penculikan, pengeboman membabi-buta, hingga serangan seksual.

Sementara, media AP dan Frontline telah memverifikasi lebih dari 600 insiden yang terlihat melanggar hukum-hukum perang, termasuk pembantaian lusinan atau ratusan warga sipil. Totalnya bisa ada ribuan kejahatan perang.

Jaksa ketua di International Criminal Court di Den Haag, Karim Khan, juga telah mengakui bahwa Ukraina adalah "lokasi kejahatan".

Namun, Ukraina diprediksi sulit menghukum orang-orang yang bersalah, sebab mayoritas terduga penjahat perang tak berhasil ditangkap dan masih berada di garis pertahanan Rusia.

Dikhawatirkan pula yang diadili bukan level tinggi. Contohnya pada kasus Vadim Shishimarin. Ia merupakan komandan tank yang masih berusia 21 tahun dan ditangkap oleh Ukraina. Ia terkena vonis 15 tahun penjara.

Perang di Rusia juga menyerang sejumlah infrastruktur sipil, seperti pembangkit energi. Ini terjaid di Kyiv, Odesa, Lviv, Kirovohrad, Kharkiv, Cherkasy, dan Dnipro.

Duta Besar Rusia di PBB, Vassily Nebenzia, membantah bahwa ada rakyat sipil yang menjadi korban jiwa di invasi Rusia.

"Tidak ada satu pun warga lokal yang menjadi korban operasi militer Rusia. Diplomat Rusia itu pun menuding adanya aksi tipu-tipu yang dilakukan warga Ukraina.

4 dari 4 halaman

Pakar: Dialog Perdamaian Rusia-Ukraina Dinilai Masih Jauh

Meskipun ada saran dari pejabat Ukraina dan Rusia tentang kesediaan untuk menegosiasikan diakhirinya perang selama 10 bulan di Ukraina, kemungkinan penyelesaian damai tampaknya masih jauh, menurut para ahli yang berbicara dengan Newsweek.

"Saya pikir taruhan teraman adalah mengatakan bahwa itu akan berlanjut sampai satu pihak dipaksa keluar dari konflik dengan satu atau lain cara," Michael Kimmage, seorang profesor sejarah di Universitas Katolik Amerika, mengatakan kepada Newsweek tentang prediksinya tentang kapan perdamaian dapat terjadi. 

Pikiran Kimmage telah digaungkan oleh orang lain, bahkan ketika kedua negara baru-baru ini mengklaim bahwa mereka bersedia untuk berbicara, demikian seperti dikutiip dari Fresno Bee, Sabtu (31/12/2022).

Pada hari Minggu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dalam sebuah wawancara dengan outlet TV negara Rusia bahwa dia "siap untuk menegosiasikan beberapa hasil yang dapat diterima dengan semua peserta dari proses ini."

Namun, beberapa hari kemudian, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan tidak mungkin ada pembicaraan damai yang berhasil kecuali Ukraina menerima aneksasi yang diklaim Rusia atas wilayah Ukraina yang sebagian diduduki di Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhzhia.

Di sisi lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah menyatakan bahwa dia tidak mau melepaskan wilayah yang dianeksasi Rusia. Dan sementara Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba berbicara minggu ini tentang mengadakan "KTT perdamaian" potensial pada bulan Februari, dia juga mengatakan Rusia akan diundang hanya jika menghadapi penuntutan kejahatan perang di pengadilan internasional.

Dengan demikian, hambatan terbesar untuk pembicaraan damai adalah bahwa tidak ada pihak yang tampaknya mau mengalah di wilayah tersebut.

"Dalam pandangan saya, baik Putin maupun Zelensky tidak benar-benar tertarik pada pembicaraan damai karena mereka masing-masing berpikir bahwa mereka dapat mengalahkan yang lain," kata Mark N. Katz, seorang profesor di Sekolah Kebijakan dan Pemerintahan Schar Universitas George Mason, kepada Newsweek.

Video Terkini