Sukses

Setelah Dipenjara 40 Tahun Akibat Membunuh Tentara Israel, Karim Younis Akhirnya Bebas

Karim Younis disambut oleh ratusan pendukungnya saat tiba di kampung halamannya di utara Desa Ara, Distrik Haifa, Israel.

Liputan6.com, Tel Aviv - Salah satu tahanan Palestina terlama di Israel, Karim Younis, dibebaskan pada Kamis (5/1/2023). Pria berusia 66 tahun itu dibebaskan setelah dipenjara selama 40 tahun karena menculik dan membunuh seorang tentara Israel.

Karim Younis disambut oleh ratusan pendukungnya saat tiba di kampung halamannya di utara Desa Ara.

"40 tahun yang penuh dengan cerita... Saya sangat bangga menjadi salah satu yang berkorban untuk Palestina dan kami siap berkorban lebih banyak demi kepentingan Palestina," ungkap Karim Younis seperti dikutip dari VOA.

Karim Younis dibui karena membunuh tentara Israel bernama Avraham Bromberg di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel pada tahun 1983.

Sementara sebagian besar tahanan Palestina di penjara-penjara Israel berasal dari Tepi Barat yang diduduki, fakta berbeda ada pada Karim Younis. Ia merupakan Palestina yang berkewarganegaraan Israel.

Menjelang pembebasan Karim Younis, Menteri Dalam Negeri Israel Aryeh Deri mengatakan bahwa kewarganegaraan Karim Younis harus dicabut, langkah yang disebutnya akan menjadi "pesan penting bagi mereka yang telah menjadi simbol aksi teroris".

2 dari 4 halaman

Kebebasannya Dilarang untuk Dirayakan

Sebelum pembebasan Karim Younis, intelijen militer Israel mengunjungi keluarganya dan meminta mereka untuk tidak merayakan apapun. Namun, pihak keluarga dan penduduk Desa Ara dilaporkan mengabaikan instruksi tersebut.

Karim Younis mengisahkan bahwa petugas datang ke selnya pada dini hari dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan dibebaskan.

"Saya ingin mandi dan bersiap-siap, tetapi mereka mencegah saya," katanya seperti dikutip dari Al Jazeera.

Setelah dibebaskan, Karim Younis mengunjungi makam ibunya yang meninggal delapan bulan lalu. Foto-foto dirinya di makam sang ibu banyak dibagikan oleh media lokal dan internasional.

Saat ini terdapat sekitar 4.700 tahanan Palestina di penjara-penjara Israel, termasuk di antaranya 150 anak-anak dan 835 orang yang ditahan tanpa pengadilan atau dakwaan.

3 dari 4 halaman

Tahun 2022 Paling Mematikan Bagi Warga Palestina di Tepi Barat

Data Middle East Eye mengungkapkan bahwa tahun 2022 mencatatkan jumlah tertinggi pembunuhan warga Palestina oleh pasukan Israel sejak Intifadah II. Sedikitnya 220 orang dilaporkan tewas, termasuk di antaranya 48 anak-anak.

Meningkatnya kekerasan oleh pasukan Israel telah memicu kekhawatiran dari komunitas internasional. Pada awal Desember 2022, para ahli PBB telah mengutuk Israel atas rekor kekerasan tersebut sekaligus memperingatkan pada tahun 2023 bukan tidak mungkin jumlah korban akan bertambah.

"Kecuali pasukan Israel meninggalkan pola pikir pemukim yang dominan dan memperlakukan warga Palestina di wilayah pendudukan sebagai orang yang dilindungi, catatan buruk Israel di Tepi Barat yang diduduki kemungkinan akan semakin memburuk pada tahun 2023," ungkap para ahli PBB.

Analisis Middle East Eye menyebutkan bahwa mayoritas warga Palestina kemungkinan besar tidak bersenjata saat dibunuh. Dalam 95 kasus, warga Palestina ditembak oleh tentara Israel selama penggerebekan atau saat berpartisipasi dalam demonstrasi antipendudukan.

Militer Israel, yang jarang menyelidiki pembunuhan warga Palestina oleh pasukannya, menuai kritik keras dari kelompok hak asasi manusia (HAM) atas kebijakan "menembak untuk membunuh" bahkan saat warga Palestina tidak menimbulkan bahaya bagi mereka.

Laporan baru-baru ini oleh kelompok HAM Israel, Yesh Din, mengungkapkan bahwa kurang dari satu persen tentara Israel yang melukai warga Palestina pada rentang 2017-2021 pernah didakwa melakukan kejahatan.

"Otoritas penegak hukum militer secara sistematis menghindari penyelidikan dan penuntutan tentara yang merugikan warga Palestina," kata kelompok itu.

4 dari 4 halaman

Kunjungan Menteri Israel ke Kompleks Masjid Al Aqsa

Titik didih baru muncul dalam konflik Israel - Palestina menyusul kunjungan Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir ke Kompleks Masjid Al Aqsa atau yang disebut Yahudi sebagai Temple Mount pada awal pekan ini.

Terletak di Yerusalem Timur yang dianeksasi Israel, Kompleks Masjid Al Aqsa dikelola oleh Dewan Wakaf Islam, dengan pasukan Israel beroperasi di sana dan mengontrol aksesnya.

Ben-Gvir telah mengunjungi Kompleks Masjid Al Aqsa berkali-kali sejak menduduki parlemen pada April 2021, tetapi kehadirannya kali ini di sana sebagai menteri senior dinilai memicu efek yang jauh lebih besar. Sebelumnya, kunjungan kontroversial pada tahun 2000 oleh pemimpin oposisi Israel saat itu, Ariel Sharon, menjadi salah satu pemicu utama Intifada II yang berlangsung hingga tahun 2005.

Tak lama setelah kunjungan Ben-Gvir, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kembali menegaskan komitmen Israel tentang status quo Kompleks Masjid Al Aqsa

"Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berkomitmen untuk secara tegas mempertahankan status quo, tanpa perubahan, di Temple Mount," ungkap pernyataan dari kantor perdana menteri Israel seperti dikutip dari kantor berita Anadolu, Rabu (4/1).

PM Netanyahu membantah kunjungan Ben-Gvir ke situs suci ketiga bagi umat Islam itu mencerminkan perubahan atas status quo yang berlaku selama ini.

"Di bawah status quo, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah menteri pernah naik ke Temple Mount, termasuk Menteri Keamanan Publik Gilad Erdan. Oleh karena itu, klaim bahwa telah dilakukan perubahan status quo tidak berdasar," sebut pernyataan PM Netanyahu tersebut.