Liputan6.com, Tel Aviv - Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memerintahkan polisi untuk menurunkan bendera Palestina dari tempat-tempat umum pada Minggu (8/1/2023). Kebijakan Ben-Gvir dinilai merupakan respons atas pembebasan seorang tahanan warga Arab Israel pekan lalu, di mana bendera Palestina dikibarkan.
"Menteri Ben-Gvir mengirimkan perintah kepada kantor komisaris polisi yang menyebutkan bahwa semua petugas polisi dari pangkat apapun berwenang untuk menurunkan bendera Palestina," demikian disampaikan kantor Ben-Gvir seperti dikutip dari The Times of Israel, Senin (9/1).
Baca Juga
Mengibarkan bendera Palestina bukan hal ilegal di Israel, tetapi polisi memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan demi menjaga ketertiban umum. Belum lama ini terdapat pembahasan awal yang nantinya akan melarang badan-badan yang didanai negara untuk mengibarkan bendera Palestina. Namun, upaya menjadikannya produk hukum gagal.
Advertisement
Ben-Gvir mengatakan, perintahnya merujuk pada fakta bahwa mengibarkan bendera (Palestina) adalah bentuk dukungan terhadap teror. Ia menyinggung bendera itu sebagai simbol Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Pekan lalu, Kota Ara terlibat perayaan menyusul bebasnya Karim Younis, yang mendekam di penjara selama 40 tahun karena menculik dan membunuh seorang tentara Israel. Selama perayaan itulah Karim Younis dilaporkan mengibarkan bendera Palestina.
Perayaan Kebebasan Karim Younis Dilarang
Sebelum meminta bendera-bendera Palestina diturunkan, Ben Gvir telah memerintahkan polisi untuk mencegah perayaan atas pembebasan Karim Younis di Ara. Mengutip pendapat hukum ia mengatakan bahwa perayaan semacam itu mendukung terorisme.
"Tidak mungkin pelanggar hukum mengibarkan bendera teror, menghasut dan mendukung teror, dan oleh karena itu saya telah memerintahkan agar bendera pendukung teror disingkirkan dari ruang-ruang publik," kata Ben Gvir dalam pernyataannya pada Minggu. "Dengan teridentifikasi sebagai teroris dan melukai tentara IDF tidak dilindungi di bawah kebebasan berbicara.”
Ben-Gvir yang merupakan pemimpin Otzma Yehudit, partai politik sayap kanan jauh, selama ini keras menyuarakan hukuman mati bagi pelaku teror. Dia juga lantang menyuarakan apa yang disebutnya pendekatan yang terlalu lunak terhadap tersangka non-Yahudi.
Tidak ada aturan yang jelas tentang kapan bendera Palestina diizinkan untuk dikibarkan. Instruksi jaksa agung adalah menurunkannya hanya ketika "ada kekhawatiran pada tingkat kemungkinan besar bahwa pengibaran bendera akan menyebabkan gangguan serius terhadap perdamaian publik."
Pada tahun 2021, pendahulu Ben Gvir, Omer Barlev, justru meminta komisaris polisi untuk membatasi penyitaan bendera di acara-acara publik.
Advertisement
Kunjungan Ben-Gvir ke Kompleks Masjid Al Aqsa
Ini bukan kali pertama Ben-Gvir Ben-Gvir menjadi sorotan. Pekan lalu, ia memicu kecaman dari berbagai pihak setelah mengunjungi Kompleks Masjid Al Aqsa. Tindakannya tersebut dinilai memprovokasi.
"Pemerintah kami tidak akan menyerah atas ancaman Hamas," ujar Ben-Gvir seperti dilansir The Guardian, Selasa (3/1).
Sebelumnya, Hamas memperingatkan bahwa kunjungan Ben Gvir ke Kompleks Masjid Al Aqsa atau yang oleh umat Yahudi disebut Temple Mount adalah "red line" dan akan memicu ledakan.
"Temple Mount merupakan tempat terpenting bagi rakyat Israel dan kami mempertahankan kebebasan bergerak bagi umat muslim dan kristiani, tetapi umat Yahudi juga akan naik ke sini dan mereka yang membuat ancaman harus dihadapi dengan tangan besi," ungkap Ben Gvir.
Kunjungan Ben-Gvir pada Selasa terjadi beberapa hari setelah dia menjabat sebagai menteri keamanan nasional, posisi yang memberinya kekuasaan atas polisi. Penjaga wakaf mengatakan kepada AFP bahwa Ben-Gvir didampingi oleh unit pasukan keamanan Israel sementara sebuah pesawat tak berawak melayang di situs suci tersebut.
Terletak di Yerusalem Timur yang dianeksasi Israel, Kompleks Masjid Al Aqsa dikelola oleh Dewan Wakaf Islam, dengan pasukan Israel beroperasi di sana dan mengontrol aksesnya.
Ben-Gvir telah mengunjungi Kompleks Masjid Al Aqsa berkali-kali sejak menduduki parlemen pada April 2021, tetapi kehadirannya kali ini di sana sebagai menteri senior dinilai memicu efek yang jauh lebih besar. Sebelumnya, kunjungan kontroversial pada tahun 2000 oleh pemimpin oposisi Israel saat itu, Ariel Sharon, menjadi salah satu pemicu utama Intifada II yang berlangsung hingga tahun 2005.
Status Quo
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa mengatakan pihaknya berkomitmen untuk mempertahankan status quo atas Kompleks Masjid Al Aqsa atau yang disebut Temple Mount oleh umat Yahudi. Pernyataan itu muncul di tengah ketegangan menyusul kunjungan Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir ke situs suci tersebut.
"Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berkomitmen untuk secara tegas mempertahankan status quo, tanpa perubahan, di Temple Mount," ungkap pernyataan dari kantor perdana menteri Israel seperti dikutip dari kantor berita Anadolu, Rabu (4/1).
PM Netanyahu membantah kunjungan Ben-Gvir ke situs suci yang menjadi salah satu titik nyala konflik Israel - Palestina itu mencerminkan perubahan atas status quo yang berlaku selama ini.
"Di bawah status quo, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah menteri pernah naik ke Temple Mount, termasuk Menteri Keamanan Publik Gilad Erdan. Oleh karena itu, klaim bahwa telah dilakukan perubahan status quo tidak berdasar," sebut pernyataan PM Netanyahu tersebut.
Dengan status quo, hanya umat Islam yang dibolehkan beribadah di Kompleks Masjid Al Aqsa. Sementara itu, ekstrem kanan Israel disebut terus mengupayakan perubahan demi mengizinkan umat Yahudi beribadah di situs suci tersebut. Meski demikian, gerakan ini mendapat tentangan dari banyak kalangan Yahudi ultra ortodoks dan para rabi terkemuka.
Advertisement