Sukses

Studi: Zara hingga H&M Eksploitasi Pegawai Bangladesh

Sebuah studi menyebutkan bahwa sejumlah merek ternama, termasuk Zara dan H&M, mengeksploitasi para pekerja di Bangladesh.

Liputan6.com, Dhaka - Sebuah penelitian terbaru menyatakan bahwa merek fesyen internasional, termasuk Zara, H&M, dan GAP, mengeksploitasi pekerja industri garmen Bangladesh. Mereka dituduh terlibat dalam praktik yang tidak adil dan membayar di bawah biaya produksi.

Dilansir Al Jazeera, Jumat (13/1/2023), studi yang menyurvei 1.000 pabrik Bangladesh yang membuat pakaian untuk merek dan pengecer global menemukan bahwa banyak yang dibayar dengan harga yang sama meskipun terjadi pandemi global dan kenaikan biaya.

Lebih dari separuh pabrik pakaian mengalami setidaknya pembatalan pesanan, penolakan pembayaran, pengurangan harga atau penundaan pembayaran barang. Demikian menurut penelitian yang dirilis Aberdeen University dan kelompok advokasi Transform Trade..

"Praktik perdagangan yang tidak adil seperti itu berdampak pada praktik ketenagakerjaan pemasok yang mengakibatkan perputaran pekerja, kehilangan pekerjaan, dan upah yang lebih rendah," ungkap temuan studi tersebut.

Dari 1.138 merek/pengecer yang disebutkan dalam penelitian ini, 37 persen dilaporkan terlibat dalam praktik tidak adil, termasuk Inditex Zara, H&M, Lidl, GAP, New Yorker, Primark, Next, dan beberapa lainnya.

Studi tersebut juga menemukan bahwa satu dari lima pabrik tengah berjuang untuk membayar upah minimum sejak dibuka kembali pasca lockdown pada Maret dan April 2020.

2 dari 4 halaman

Menuntut Penurunan Harga

Studi juga menemukan bahwa sejumlah perusahaan menuntut penurunan harga untuk pakaian yang dipesan sebelum pandemi dimulai pada Maret 2020.

Adapun Inditex mengatakan telah menjamin pembayaran untuk semua pesanan, termasuk yang dalam proses produksi dan bekerja dengan lembaga keuangan untuk memfasilitasi pemberian pinjaman kepada pemasok dengan persyaratan yang menguntungkan.

3 dari 4 halaman

Tuduhan Dibantah

Jaringan supermarket Jerman, Lidl, mengatakan pihaknya merespons "tuduhan dengan sangat serius". Lidl menegaskan, "Bertanggung jawab terhadap pekerja di Bangladesh dan negara lain di mana pemasok kami berproduksi dengan sangat serius dan berkomitmen untuk memastikan bahwa standar sosial inti dipatuhi di seluruh rantai pasokan."

Sementara itu, Primark mengatakan bahwa pandemi COVID-19 telah memaksa mereka mengambil keputusan yang sangat sulit pada Maret 2020, yakni membatalkan semua pesanan yang belum diserahkan.

4 dari 4 halaman

Perlu Pengawas Mode

Studi yang sama merekomendasikan pembentukan pengawas mode yang akan membantu mengekang praktik tidak adil.

Pada Agustus 2022, industri garmen Bangladesh menghadapi pukulan ganda dari permintaan global yang melambat dan krisis energi di dalam negeri. Pada bulan yang sama, peritel global besar, termasuk H&M, Inditex, Uniqlo, Hugo Boss, dan Adidas disebut telah menyepakati pakta dua tahun dengan pekerja garmen dan pemilik pabrik di Bangladesh, memperpanjang perjanjian yang sudah ada sebelumnya yang membuat peritel bertanggung jawab jika pabrik mereka tidak memenuhi standar keselamatan tenaga kerja.

Eksploitasi pekerja dan standar keselamatan tenaga kerja yang buruk menjadi sorotan setelah kompleks Rana Plaza runtuh pada 2013. Peristiwa itu menewaskan lebih dari 1.100 pekerja garmen dan tercatat sebagai insiden paling mematikan dalam sejarah industri garmen.