, Beijing - Sekitar tiga tahun tutup dari dunia luar akibat pandemi COVID-19, China akhirnya memutuskan untuk membuka perbatasannya. Hal itu pun dimanfaatkan oleh banyak orang untuk kembali merasakan hidup seperti sedia kala.
Ada yang jalan-jalan ke luar negeri, pun juga datang ke Tiongkok untuk kembali melanjutkan studi. Salah satunya adalah Dona Ariani, mahasiswa Indonesia yang sudah berkuliah di China sejak tahun 2017.
Baca Juga
Pandemi COVID-19 memaksanya untuk kembali ke kampung halamannya di Padang. Ia pulang di tahun 2020 ketika Pemerintah China memutuskan untuk menutup perbatasan negaranya demi menekan penularan Virus Corona dengan kebijakan nol COVID.
Advertisement
China baru melonggarkan aturan COVID-19 bulan November 2022 lalu, setelah sebelumnya warga menggelar unjuk rasa. Perbatasan dibuka, warga China boleh keluar negeri, sementara warga asing boleh masuk tanpa karantina.
Ini jadi berita yang sudah ditunggu-tunggu Dona, yang akan terbang ke Xi'an awal Februari nanti untuk melanjutkan pendidikannya sebagai mahasiswi S3 ilmu matematika di Northwestern Polytechnical University.
"Yang pastinya senang banget karena enggak perlu karantina," kata Dona ketika dihubungi Natasya Salim dari ABC Indonesia seperti dikutip Sabtu (14/1/2023).
"Karena sebelum aturan karantina dihapuskan, selain harga tiket yang memang masih di atas [harga normal], mahasiswa juga terbebani dengan biaya karantina yang enggak bisa kita prediksi."
Bebas Karantina
Mengikuti aturan Pemerintah China, ia diwajibkan melakukan tes PCR 48 jam sebelum keberangkatan.
Ia mengatakan sebelum kewajiban karantina dihapuskan, ia mendapat informasi jika mahasiswa harus melakukan karantina terpusat di kota kedatangan sebelum menjalankan karantina kedua kalinya di fasilitas kampus.
"Sekarang kita sudah bebas," katanya.
"Tapi ada juga was-wasnya karena sebenarnya angka COVID mereka masih tinggi kalau dengar dari teman-teman di sana, tapi memang enggak seketat dulu lagi."
Khawatir Jika Ada Lockdown Lagi
Data pertemuan internal Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) yang bocor bulan lalu menunjukkan sebanyak 250 juta warga di China telah terinfeksi COVID-19 pada 20 hari pertama bulan Desember, dengan penambahan 37 juta kasus dalam satu hari.
David Elco Sonata, mahasiswa S1 jurusan statistik di Chinese University of Hong Kong di Shenzhen, mengaku tidak khawatir terpapar COVID-19 di China, karena sudah sempat tertular di Indonesia.
Namun David yang akan kembali ke China kurang dari seminggu lagi, mengaku ada satu kekhawatiran, yakni jika pemerintah China bisa jadi akan memberlakukan 'lockdown' lagi.
China termasuk salah satu negara yang menerapkan aturan 'lockdown' sangat ketat, yang meminta warganya untuk diam di rumah dan tidak berpergian.
David mulai kuliah di China pada tahun 2019, tapi ia sempat pulang ke Indonesia untuk merayakan Imlek di tahun 2020 dan sejak itu tidak bisa lagi kembali ke China karena perbatasan yang ditutup.
Bulan Mei mendatang ia akan diwisuda dan tak sabar lagi untuk bertemu teman-temannya di China.
"Saya benar-benar enggak menanti apa-apa sih, selain bertemu dengan teman-teman di sana, soalnya teman-teman saya yang kuliah kan agak terpencar ya," katanya.
"Terutama teman dari luar kota yang sudah lama enggak ketemu, atau adik kelas saya yang saya belum pernah ketemu sebelumnya dan cuma pernah mengobrol lewat chat saja."
Advertisement
Kembali ke Normal
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Tiongkok, Marcellino Enrique Suprapto, yang akrab disapa Marcell, sudah melihat banyak mahasiswa mulai kembali ke China.
Namun ia mengatakan ada juga beberapa mahasiswa yang masih menunggu surat izin dari universitas.
Surat tersebut berupa surat keterangan yang dikeluarkan universitas untuk menyatakan bahwa mahasiswa yang bersangkutan boleh kembali masuk ke China.
Marcell mengaku senang melihat pelonggaran aturan COVID-19 yang memudahkan anggota organisasinya untuk berkumpul secara langsung.
"[Selama penutupan], cabang-cabang PPI banyak yang terpengaruh karena … untuk membuat acara yang benar-benar offline itu susah," katanya.
"Sekarang karena sudah bisa normal lagi, banyak cabang yang sudah mempersiapkan untuk membuat acara offline."
Mahasiswa S1 jurusan Manajemen Logistik di Ningbo University tersebut juga tidak sabar menyambut para mahasiswa baru asal Indonesia dan berharap anggota PPI Tiongkok akan terus berkembang.
"[Pembukaan] ini sudah [menjadi] harapan dan impian dari kita yang kuliah di Tiongkok," katanya.
"Ke depan harapannya lebih banyak lagi yang sudah bisa balik juga dan supaya semuanya bisa normal kayak dulu lagi."
Studi: Total Kasus COVID-19 di China Sentuh Angka 900 Juta
Sementara itu, studi oleh Peking University menyebutkan bahwa per 11 Januari sekitar 900 juta orang di China telah terinfeksi COVID-19 atau sekitar 64 persen populasi.
Data itu menempatkan Provinsi Gansu di peringkat tertinggi, di mana 91 persen orang dilaporkan terinfeksi. Setelahnya menyusul Provinsi Yunnan 84 persen dan Qinghai 80 persen. Demikian seperti dikutip dari BBC, Jumat (13/1/2023).
Sebelumnya, seorang epidemiolog China terkemuka juga telah memperingatkan bahwa kasus akan melonjak di pedesaan China selama Tahun Baru Imlek.
"Puncak gelombang COVID-19 China diperkirakan akan berlangsung dua hingga tiga bulan," tambah Zeng Guang, mantan kepala Pusat Pengendalian Penyakit China.
Menjelang Tahun Baru Imlek pada 23 Januari, ratusan juta orang China melakukan perjalanan ke kampung halaman mereka. Fenomena ini merupakan mudik kali pertama pasca pandemi yang memicu pengetatan pembatasan perjalanan.
China telah berhenti memberikan statistik COVID-19 harian sejak menghapus kebijakan nol COVID-19. Namun, langkah tersebut bertentangan dengan kondisi di lapangan, di mana rumah sakit di sejumlah kota besar diramaikan dengan pasien COVID-19.
Advertisement