Sukses

TNI AL Kirim Kapal Perang untuk Awasi Kapal China di Laut Natuna

Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali, Sabtu (14/1), mengatakan pihaknya telah mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali, Sabtu (14/1), mengatakan pihaknya telah mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara untuk memantau pergerakan kapal penjaga pantai China di wilayah yang disengketakan tersebut.

Data pelacakan kapal menunjukkan kapal milik China, CCG 5901, telah berlayar di Laut Natuna, khususnya di dekat Blok Tuna dan lapangan migas Chim Sao milik Vietnam sejak 30 Desember.

TNI AL mengerahkan sebuah kapal perang, pesawat patroli maritim, dan drone untuk memantau pergerakan kapal tersebut, ujar Laksamana Muhammad Ali kepada Reuters.

"Kapal China itu tidak melakukan aktivitas yang mencurigakan," katanya seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (16/1/2023).

"Namun perlu kita pantau karena sudah lama berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.”

Juru bicara kedutaan China di Jakarta tidak dapat dimintai komentar segera.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada 1982 memberikan hak navigasi kapal melalui ZEE.

Kegiatan tersebut dilakukan setelah adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dan Vietnam, dan persetujuan dari Indonesia untuk mengembangkan Blok Tuna di Laut Natuna, dengan perkiraan total investasi lebih dari $3 miliar hingga dimulainya produksi.

 

2 dari 3 halaman

Insiden Blok Tuna

Pada tahun 2021, kapal-kapal dari Indonesia dan China saling mengawasi selama berbulan-bulan di dekat anjungan minyak di blok Tuna.

Saat itu, China mendesak Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran. Beijing mengklaim aktivitas eksplorasi migas tersebut berada di dalam wilayahnya.

Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asia Tenggara itu mengatakan bahwa di bawah UNCLOS, ujung selatan Laut China Selatan adalah wilayah zona ekonomi eksklusifnya. Jakarta menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.

China menolak klaim ini, dengan mengatakan bahwa wilayah maritim tersebut berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan. Wilayah itu ditandai dengan "sembilan garis putus" berbentuk U, sebuah batas yang menurut Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 tidak memiliki dasar hukum.

 

3 dari 3 halaman

Pidato Menlu Retno dan Laut China Selatan

Pakar hubungan internasional Shafiah F. Muhibat menyoroti sejumlah isu besar yang tidak dibahas oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri 2023 (PPTM 2023) pada Rabu (11/1/2023). Salah satunya adalah terkait Laut China Selatan.

"Tidak adanya referensi yang mendalam mengenai persaingan great power politics, hubungan Amerika Serikat-Tiongkok, bahkan sama sekali tak disinggung. Isu-isu seperti Laut China Selatan dan kemudian juga peningkatan tensi di Selat Taiwan," ujar Shafiah F. Muhibat yang menjabat sebagai Deputy Executive Director for Research di CSIS, Rabu (11/1/2023).

Hingga kini, Beijing masih bersikeras mendukung klaim sepihak mereka di Laut China Selatan dengan Sembilan Garis Putus. Sebelumnya, pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan mengakui garis tersebut.

Pembahasan mengenai isu Laut China Selatan dinilai Shafiah masih penting untuk terus disorot karena isu tersebut memiliki dampak riil di kawasan.

"Harusnya ada acknowledgement bahwa ini tantangan besar dengan implikasi yang serius. Tidak hanya bagi stabilitas kawasan di Asia Tenggara, tapi juga bagi Indonesia karena kita memiliki beberapa isu dengan Tiongkok terkait Laut Natuna," jelasnya.

Shafiah juga menyoroti absennya pembahasan soal keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023 terkait dengan isu Laut China Selatan. Ia mengatakan selama ini Indonesia ingin ASEAN memainkan peran penting dalam negosiasi Code of Conduct (COC) Laut China Selatan, namun dalam pidatonya Menlu Retno tidak menjelaskan strateginya.

"Sekarang kita chair-nya. Mau apa? Itu kan yang sama sekali tidak disebut. Sama sekali tidak ada rekognisi bahwa ini menjadi isu yang krusial bagi kebijakan luar negeri Indonesia," tegas Shafiah.

Selengkapnya...