Liputan6.com, Stockholm - Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg memuji komitmen sejumlah negara terkait pengiriman senjata berat ke Ukraina. Pernyataan Stoltenberg muncul pada Minggu (15/1/2023), sehari setelah gelombang serangan Rusia menargetkan infrastruktur penting Ukraina dan menewaskan sedikitnya 30 orang.
"Janji mengirimkan peralatan berat perang itu penting dan saya berharap ada lebih banyak dalam waktu dekat," kata Stoltenberg seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (16/1).
Baca Juga
Pada Jumat mendatang, Stoltenberg dikabarkan akan menggelar pertemuan dengan para pejabat pertahanan anggota NATO untuk mengoordinasikan pengiriman senjata ke Ukraina.
Advertisement
Ketika ditanya apakah Jerman juga seharusnya ikut menyediakan senjata berat bagi Ukraina, Stoltenberg menjawab, "Kita berada dalam perang yang menentukan. Kita mengalami pertempuran sengit. Untuk itu, penting bagi kita untuk menyediakan Ukraina persenjataan yang dibutuhkan agar memenangkan peperangan dan melanjutkan hidup sebagai negara yang merdeka."
Ukraina: Kami Butuh Senjata
Pada Sabtu (14/1), Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyerukan agar sekutu Barat mengirimkan lebih banyak persenjataan berat. Dia menegaskan bahwa teror Rusia hanya bisa dihentikan di medan perang.
"Lantas apa yang dibutuhkan? Senjata-senjata yang ada di gudang sekutu kami," kata Zelensky.
Zelensky menyampaikan hal tersebut tidak lama setelah Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak berjanji akan mengirimkannya tank Challenger 2.
Polandia dan Finlandia juga telah mengisyaratkan kesediaan mereka untuk membantu Ukraina dengan mengirimkan tank Leopard 2 pabrikan Jerman. Di lain sisi, komitmen negara-negara tersebut meningkatkan tekanan pada Kanselir Jerman Olaf Scholz dan pemerintahan koalisinya.
Advertisement
Perubahan Tren
Fenomena di atas disebut menunjukkan perubahan sikap Barat, yang menolak memasok senjata berat ke Ukraina sejak invasi Rusia dimulai pada 24 Februari 2022.
Desakan pengiriman senjata berat ini terjadi di tengah klaim Rusia berhasil merebut Kota Soledar di Donetsk timur. Namun, Ukraina membantah pengakuan Moskow dan mengatakan pertempuran sengit terus berlanjut di kota itu.
Institute for the Study of War yang berpusat di Amerika Serikat mengatakan bahwa pasukan Ukraina sangat tidak mungkin mempertahankan Soledar seorang diri.