Sukses

Miris, Anak Gadis Dipaksa Pindah Agama Kemudian Dinikahi di Pakistan

Kelompok HAM khawatir kepada tindakan yang menimpa gadis Pakistan ini.

Liputan6.com, Karachi - Pakar HAM di PBB melaporkan kasus-kasus paksaan pindah agama di Pakistan. Kasus itu terjadi pada anak-anak gadis agama minoritas yang dipaksa masuk Islam, kemudian dinikahi. 

Anak-anak itu disebut diculik dari rumah mereka, menjadi korban perdagangan orang, dan dinikahkan ke laki-laki yang lebih tua. Usia para gadis itu bisa semuda 13 tahun.

Berdasarkan laporan di situs Komisi Tinggi HAM PBB, Selasa (17/1/2023), gadis-gadis itu "diculik dari keluarga mereka, diperdagangkan di lokasi yang jauh dari rumahnya, dibuat menikahi pria yang kadang-kadang dua kali lebih tua, dan dipaksa masuk Islam, segala hal itu adalah pelanggaran HAM internasional."

"Kami sangat khawatir bahwa pernikahan-pernikahan seperti itu dan pemindahan agama terjadi di bawah ancaman kekerasan kepada gadis-gadis dan wanita-wanita tersebut atau keluarga mereka," jelas pakar HAM PBB.

Laporan dari PBB itu menyorot bagaimana otoritas terkait di Pakistan tidak teliti terhadap pernikahan yang terjadi. Keluarga korban menyebut laporan mereka kepada pihak berwenang tidak dianggap serius.

"Para penculik memaksa korban-korban mereka untuk menandatangani dokumen-dokumen yang secara palsu menyebut bahwa mereka sudah berumur legal untuk pernikahan serta menikah dan pindah agama atas kehendak bebas," tulis laporan pakar PBB.

Mereka pun mendorong pemerintah Pakistan agar tegas untuk mencegah dan menginvestigasi kasus-kasus ini berdasarkan hukum dalam negeri dan luar negeri. 

"Para pelaku harus dimintai pertanggungjawaban penuh," ujar pakar HAM PBB.

Pemerintah Pakistan juga diminta agar memiliki produk hukum agar menghindari pemindahan agama paksa serta pernikahan anak. 

"Otoritas-otoritas di Pakistan harus mengadopsi dan menegakkan legislasi yang melarang pemindahan agama paksa, pernikahan anak dan paksa, penculikan, dan perdagangan orang, dan mengikuti komitmen hak asasi manusia internasional untuk melawan perbudakan dan perdagangan orang dan menegakkan hak perempuan dan anak," ujar pakar HAM PBB.

2 dari 3 halaman

Tren Pernikahan di Bawah Umur Meningkat Saat Pandemi Covid-19

Beralih ke dalam negeri, laporan 2021 saat pandemi Covid-19 menunjukkan naiknya tren pernikahan di bawah umur.

Dari data Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA), angka dispensasi kawin mengalami kenaikan menjadi 64.000 orang.

Bahkan, permohonan pernikahan dodominasi, dari calon pasangan suami istri (pasutri) yang berusia di bawah 19 tahun.

Asisten Perlindungan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian PPPA Rofika mengatakan, angka dispensasi pernikahan sudah dinaikkan menjadi minimal berusia 19 tahun, dari sebelumnya berusia 16 tahun.

“Tapi masih ada yang anak di bawah umur, yang dimohonkan untuk menikah," katanya, usai menghadiri Dialog Menteri PPPA, Gubernur, Para Pemerhati Perempuan, di Hotel Arista Palembang pada 2021.

Tak hanya angka pernikahan di bawah umur saja yang meningkat. Potensi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, juga menjadi lebih kompleks di masa pandemi Covid-19.

Bahkan, pembelajaran daring membuat pengawasan dan pola pengasuhan pada anak menjadi lebih buruk.

Hal tersebut juga dipengaruhi oleh perekonomian yang memburuk, yang membuat tingkat kekerasan pada perempuan dan anak menjadi lebih tinggi.

"Stres masalah ekonomi dibawa ke dalam rumah, sehingga menimbulkan tindakan kekerasan,” ucapnya.

Ditambahkan Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Pidana Perdagangan Orang Kementerian PPA, Rafael Lakitan, Kementerian PPPA terus meningkatkan jumlah rumah perlindungan bagi perempuan dan anak di sektor pekerja. Untuk sektor industri,telah dibangun lima unit rumah perlindungan.

3 dari 3 halaman

Rumah Perlindungan

Untuk di Sumsel yang identik dengan sektor perkebunan, juga telah dibuat 1 unit rumah perlindungan yang beberapa hari lalu diresmikan.

"Sumsel jadi pilot project untuk sektor perkebunan. Menteri PPA telah meresmikan (rumah perlindungan) di perkebunan Hindoli Muba. Apalagi di sana, ada sekitar 4.000 orang pekerja, dengan tenaga pekerja perempuan berjumlah 2.000-an orang," ungkapnya.

Menurutnya, jumlah tenaga kerja perempuan yang cukup besar tersebut, keberadaan perempuan di sektor tersebut cukup rentan dengan kekerasan. 

Dia berharap, keberadaan rumah perlindungan dapat memberikan akses perlindungan dan pendampingan, bagi perempuan dan anak jika tersandung kasus.

Kementerian PPA juga, telah membuat regulasi melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2020. Yaitu tentang perlindungan perempuan dan anak di sektor kerja.

“Kita berharap ada komitmen tinggi dari perusahaan untuk membentuk rumah perlindungan ini," ucapnya.