Liputan6.com, Washington D.C - Bayi kembar berkelamin perempuan di Amerika jadi skandal usai diadopsi lewat internet.
Bayi tersebut dibeli oleh pasangan Inggris, Alan dan Judith Kilshaw. Keduanya membayar 8.000 Pound Sterling setara Rp 148 juta untuk mengadopsi dua bayi itu melalui internet.
Baca Juga
Kilshaw berencana untuk memperjuangkan hak asuh bayi melalui pengadilan, dikutip dari BBC, Rabu (18/1/2023).
Advertisement
Belinda dan Kymberley -- berusia enam bulan -- menjadi sasaran tarik-menarik antara cinta calon dua orang tua angkat.
Skandal itu pertama bermula ketika pasangan Amerika Vickie dan Richard Allen mengeluh bahwa si kembar telah diadopsi oleh orang lain.
Padahal, mereka sudah menyelesaikan kesepakatan di internet untuk mengadopsi bayi kembar itu seharga 4.000 Pounds Sterling atau Rp 72 juta.
Setelah dua bulan merawat si kembar di rumah mereka di California, Allens mengatakan dua bayi tersebut harus dikembalikan ke orangtua aslinya.
Bukan dikembalikan ke orangtua asli, bayi itu malah dijual kembali ke Inggris, ke keluarga Kilshaw.
Lantaran kontroversi ini kian besar kala itu, badan sosial di Inggris datang ke Beaufort Park Hotel di Mold tempat bayi itu tinggal bersama keluarga Kilshaw.
Layanan sosial Flintshire mengatakan, bayi kembar adopsi itu telah dibawa dan dirawat untuk keselamatan mereka sendiri.
Judith Kilshaw berkata: "Saya pikir jika ada masalah, hal itu bisa ditangani secara sensitif."
"Mereka datang dan berbicara dengan saya serta Alan. Mengatakan bahwa penjemputan harus dilakukan."
Hal Terbaik untuk Si Kembar
Gloria Allred, penasihat hukum untuk Tranda Wecker -- ibu kandung gadis itu -- mengatakan dia hanya menginginkan yang terbaik untuk si kembar.
Kasus ini kemudian dibawa ke Pengadilan Tinggi di Amerika Serikat guna membahas kontroversi adopsi bayi di internet.
Kasus anak kembar adopsi internet menimbulkan kontroversi besar dan berujung pada pengetatan hukum adopsi di Inggris Raya.
Seorang hakim Amerika memutuskan pada Maret 2001 bahwa dua gadis-gadis itu harus dikembalikan ke Amerika Serikat agar masa depan mereka diputuskan di sana.
Pengadilan memutuskan tidak ada calon orang tua yang memenuhi persyaratan hukum untuk adopsi.
Keluarga Kilshaw mengeluarkan tagihan hukum lebih dari £60.000 dalam pertarungan hak asuh.
Mereka dinyatakan bangkrut pada Maret 2002, dan empat bulan kemudian Kilshaw dipecat sebagai pengacara karena malpraktek keuangan.
Orang tua kandung si kembar gagal memenangkan hak asuh.
Seorang hakim memutuskan pada Mei 2002 bahwa si akan lebih baik jika dijaga oleh keluarga Missouri, di bawah pengawasan pemerintah AS.
Advertisement
Studi: Korban Perdagangan Manusia Tak Harus Diperlakukan Sebagai Penjahat
Sebuah studi terbaru terkait perdagangan manusia menyebut bahwa korban tak selayaknya dihukum seperti pelaku atau penjahat dalam kasus tersebut.
Korban perdagangan manusia tidak boleh dihukum atau dituntut atas tindakan ilegal yang mereka lakukan sebagai akibat dari perdagangan manusia - ini adalah fokus mendesak dari studi yang dipimpin oleh pakar hukum dan kebijakan internasional, Dr Marika McAdam, yang telah bekerja dengan PBB dan Program Penanggulangan Perdagangan ASEAN-Australia.
Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak - diratifikasi oleh semua Negara Anggota ASEAN - menyatakan bahwa korban perdagangan manusia tidak boleh dihukum atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena diperdagangkan. Namun di seluruh kawasan, para korban perdagangan manusia dapat menghadapi hukuman atas pelanggaran imigrasi, penggunaan dokumen palsu, keterlibatan dalam prostitusi atau aktivitas terkait narkoba, atau untuk pelanggaran yang mereka lakukan saat mencoba melarikan diri dari situasi eksploitatif mereka.
Penulis studi Dr McAdam mengatakan penerapan prinsip non-hukuman sangat penting untuk komitmen yang telah dibuat negara-negara anggota ASEAN di bawah kerangka hukum kawasan.
Studi ini, seperti tertuang dalam pernyataan tertulis dari AICHR Indonesia di bawah naungan Kemlu RI, yang dikutip Senin 9 Mei 2022, mengkaji sejauh mana prinsip non-hukuman tercermin dalam undang-undang, kebijakan dan praktik, dan mengkaji hambatan yang dihadapi dalam melindungi korban dari hukuman.
Contoh-contoh anak yang dituntut atas komitmen pelanggaran selama diperdagangkan diangkat dalam konsultasi penelitian ini, termasuk untuk perdagangan anak-anak lain.
Alasan Prinsip Non-Hukuman untuk Korban Perdagangan Orang
Pelapor Khusus PBB untuk perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, Profesor Siobhan Mullaly mengatakan dia sangat bersyukur laporan ini mengkaji tantangan seputar implementasi dan penerapan prinsip [non-hukuman] di kawasan ASEAN.
"Saya menganggap laporan ini sangat penting dalam hal pengembangan analisis hukum kami tentang kesulitan dalam menerapkan dan memastikan penerapan prinsip non-hukuman dalam hukum internasional," kata Profesor Mullaly.
Perwakilan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dari Indonesia di bawah Kemlu RI, Yuyun Wahyuningrum menjelaskan, "Fakta bahwa prinsip non-hukuman terhadap korban perdagangan orang termasuk dalam kerangka hukum semua Negara Anggota ASEAN dalam memerangi perdagangan orang, perlu dilaksanakan untuk memulihkan martabat, reputasi, dan menggunakan serta menikmati hak-hak mereka".
Temuan dan rekomendasi dari penelitian ini ditawarkan kepada pembuat undang-undang, pembuat kebijakan dan praktisi peradilan pidana di seluruh kawasan ASEAN, untuk mendukung upaya berkelanjutan mereka untuk melindungi hak asasi manusia para korban sebagai bagian terpenting dari tanggapan mereka terhadap perdagangan manusia.
Studi ini didukung oleh program Counter Trafficking ASEAN-Australia. Untuk salinan Studi “Implementasi prinsip Non-Hukuman bagi korban perdagangan manusia di Negara Anggota ASEAN”, kunjungi www.aseanact.org atau hubungi info@aseanact.org.
Advertisement