Liputan6.com, Lima - Protes antipemerintah di Peru terus berlanjut. Demonstran membakar kantor polisi dan pengadilan di Kota Macusani pada Rabu (18/1/2023), setelah dua orang tewas dan seorang lainnya terluka parah akibat tembakan di tengah unjuk rasa.
Kematian dua orang tersebut menambah jumlah korban tewas menjadi 53 orang selama lebih dari sebulan protes pasca penggulingan Pedro Castillo.
Baca Juga
"Para petugas harus melarikan diri dari kantor polisi dengan helikopter," kata polisi seperti dikutip dari france24, Kamis (19/1).
Advertisement
Demonstrasi terjadi di berbagai wilayah di Peru, termasuk di ibu kota Lima. Pengunjuk rasa tidak hanya menuntut pengunduran diri Presiden Dina Boluarte, namun juga mendesak pembubaran kongres, pelaksanaan pemilu segera, dan pembebasan Pedro Castillo.
Dukungan bagi tuntutan pengunduran diri Presiden Dina Boluarte juga datang dari Gubernur Puno, Cusco, dan ApurÃmac di Peru selatan.
Dimulai Awal Desember
Serangkaian demonstrasi yang kerap diwarnai kerusuhan dimulai pada awal Desember usai penangkapan Pedro Castillo, yang berupaya membubarkan kongres dan menghentikan pemakzulannya terhadap dirinya sendiri.
Adapun Boluarte adalah wakil presiden Castillo sebelum mengambil alih kursi kepresidenan. Boluarte mengaku bahwa ia mendukung rencana untuk mendorong percepatan pelaksanaan pemilihan presiden dan kongres pada 2024 dari yang semula dijadwalkan pada 2026.
Castillo, yang merupakan mantan guru, meraih kemenangan tipis dalam pemilu pada tahun 2021. Kemenangannya disebut telah mengguncang politik Peru dan menguak perpecahan yang mendalam antara penduduk ibu kota dan pedesaan yang lama terabaikan.
Advertisement
Krisis Peru
Inti dari krisis Peru dinilai adalah tuntutan atas kondisi kehidupan yang lebih baik, yang tidak terwujud dalam lebih dari dua dekade sejak pemilihan demokratis di negara itu. Peru adalah salah satu negara demokrasi termuda di Amerika, dengan pemilu yang bebas dan adil baru dilangsungkan pada tahun 2001, setelah penggulingan pemimpin sayap kanan Alberto Fujimori.
Perekonomian Peru berkembang baik di bawah Fujimori dan pada tahun-tahun setelah demokrasi digaungkan, melampaui hampir semua negara lain di kawasan. Hal itu berkat ekspor bahan mentah dan investasi asing yang sehat.
Namun, sementara ekonomi berkembang pesat, institusi negara secara inheren dilemahkan oleh filosofi pemerintahan yang mengurangi intervensi negara seminimal mungkin.
Pada awal 2014, Profesor Steven Levitsky dari Harvard University, menyoroti paradoks Peru, "Sementara di sebagian besar negara demokrasi opini publik mencerminkan keadaan ekonomi, peringkat persetujuan presiden di Peru secara konsisten anjlok selama tahun 2000-an, bahkan ketika pertumbuhan melonjak."
Levitsky menyoroti kekurangan kronis dalam isu keamanan, keadilan, pendidikan, dan layanan dasar lainnya dari pemerintahan Peru yang berurutan sebagai ancaman terhadap keberlanjutan usia demokrasi yang masih muda.
"Keamanan, keadilan, pendidikan, dan layanan dasar lainnya kurang tersedia, sehingga menimbulkan persepsi luas tentang korupsi, ketidakadilan, ketidakefektifan, dan pengabaian pemerintah. Ini adalah sumber utama ketidakpuasan publik. Di mana persepsi seperti itu bertahan... Kepercayaan publik pada lembaga-lembaga demokrasi kemungkinan besar terkikis," tulisnya seperti dikutip dari CNN.
Pandangan Levitsky dinilai sebagai ramalan atas apa yang terjadi hari-hari ini.
Di lain sisi, pandemi COVID-19 memperburuk kelemahan struktural di masyarakat Peru. Ketika banyak negara memperluas jaring pengaman sosial untuk melawan dampak ekonomi yang merusak akibat lockdown, Peru bahkan tidak memiliki jaring pengaman.