Liputan6.com, Kabul - Manekin di toko-toko pakaian perempuan di Ibu Kota Afghanistan, Kabul, mengundang pemandangan yang menyeramkan. Kepala manekin harus dibungkus dengan karung atau kain atau dibungkus dengan kantong plastik hitam.
Manekin bertudung adalah salah satu simbol kekuasaan puritan Taliban atas Afghanistan. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (22/1/2023).
Baca Juga
Namun, di satu sisi, mereka juga merupakan pertunjukan kecil perlawanan dan kreativitas pedagang pakaian Kabul dalam menghadapi Taliban yang militan.
Advertisement
Pada awalnya, Taliban ingin kepala seluruh boneka peraga itu dihilangkan.
Media setempat melaporkan, tidak lama setelah mereka merebut kekuasaan pada Agustus 2021, Kementerian Penyebaran Kebajikan Taliban memutuskan bahwa semua manekin harus disingkirkan dari jendela toko atau kepalanya dilepas.
Taliban menggunakan hukum itu dengan merujuk pada interpretasi ketat hukum Islam yang melarang patung dan gambar berbentuk manusia karena dapat disembah sebagai berhala, meskipun di sisi lain, aturan tersebut diberlakukan karena sejalan dengan kampanye Taliban yang memaksa perempuan untuk tidak muncul di muka publik.
Tanggapan Penjual
Beberapa penjual pakaian patuh dengan aturan tersebut. Namun yang lain menolak.
Mereka mengeluh tidak dapat memajang pakaian mereka dengan benar atau harus merusak manekin yang berharga. Buntutnya, Taliban merevisi aturan mereka dan mengizinkan pemilik toko untuk hanya menutupi kepala manekin.
Akibatnya, para pemilik toko kemudian harus berjibaku dalam menyeimbangkan aturan Taliban dan tetap dapat menarik pelanggan. Berbagai solusi yang mereka hasilkan tampak di Jalan Lycee Maryam, jalan komersial kelas menengah yang dipenuhi toko pakaian di bagian utara Kabul.
Jendela toko dan etalase dipenuhi dengan manekin bergaun malam dan gaun beraneka warna yang penuh dengan hiasan. Dan manekin tersebut dihiasi dengan berbagai jenis penutup kepala.
Di salah satu toko, kepala manekin dibungkus dengan karung yang terbuat dari bahan yang sama dengan pakaian tradisional yang mereka pamerkan. Satu, dalam gaun ungu bermanik-manik dengan cangkang siput laut, memiliki tudung ungu yang serasi.
Yang lain, dalam balutan gaun merah bersulam emas, tampak anggun dalam masker beludru merah dengan mahkota emas di kepalanya.
“Saya tidak bisa menutupi kepala manekin dengan plastik atau benda jelek karena akan membuat jendela dan toko saya terlihat buruk,” kata Bashir, sang pemilik.
Advertisement
Gaun Pengantin
Gaun yang terlihat rumit selalu populer di Afghanistan untuk digunakan dalam resepsi pernikahan. Hal tersebut berlaku bahkan sebelum Taliban datang. Tamu undangan resepsi pernikahan di Afghanistan biasanya ditempatkan berdasarkan jenis kelamin, sehingga memberi kesempatan pada kaum perempuan untuk berpakaian terbaik di masyarakat konservatif negara itu.
Di bawah Taliban, pernikahan adalah salah satu dari sedikit peluang yang tersisa bagi masyarakat dalam menghadiri pertemuan sosial. Namun dengan pendapatan yang sangat terbatas, gaun pengantin menjadi lebih sederhana.
Bashir mengatakan penjualannya merosot 50 persen dari yang biasa ia raup.
“Membeli busana pengantin, gaun malam, dan pakaian adat tidak lagi menjadi prioritas masyarakat,” ujarnya. “Orang-orang berpikir lebih banyak tentang mendapatkan makanan dan bertahan hidup.”
Pemilik toko lainnya, Hakim, menggunakan aluminium foil yang dihias di atas kepala bonekanya. Hal itu untuk menambah aksen tertentu pada barang dagangannya.
“Saya memanfaatkan ancaman dan larangan ini dan melakukannya sehingga manekin menjadi lebih menarik dari sebelumnya,” katanya.
Namun, tidak semua pedagang ingin berhias. Di salah satu toko, kepala manekin dengan gaun tanpa lengan hanya ditutupi karung plastik hitam. Pemilik mengatakan dia tidak mampu melakukannya dengan lebih baik lagi.
Sejumlah kecil manekin laki-laki dapat dilihat di jajaran etalase toko tersebut, juga dengan kepala tertutup. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pihak berwenang Taliban menerapkan pelarangan yang sama, baik untuk manekin perempuan maupun laki-laki.
Taliban awalnya mengatakan tidak akan memaksakan aturan keras yang sama terhadap masyarakat seperti yang mereka lakukan di akhir 1990-an. Namun, mereka secara bertahap memberlakukan lebih banyak pembatasan, terutama pada perempuan. Mereka melarang perempuan dan anak perempuan bersekolah di atas kelas enam, melarang mereka dari sebagian besar pekerjaan dan menuntut mereka menggunakan penutup wajah saat berada di luar.