Liputan6.com, Amman - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan lawatan "mendadak" ke Yordania pada Selasa (24/1/2023), untuk bertemu dengan Raja Abdullah II. Kunjungan ini merupakan yang pertama kalinya dalam empat tahun terakhir dan disebut sebagai upaya untuk menopang hubungan yang tegang sejak Netanyahu kembali ke tampuk kekuasaan dengan pemerintahan yang ultranasionalis.
"Pembicaraan berpusat di sekitar status situs suci yang diperebutkan di Kota Tua Yerusalem yang suci bagi umat Yahudi dan muslim, jantung konflik antara Israel dan Palestina," ungkap pernyataan resmi Yordania seperti dikutip dari AP, Rabu (25/1).
Baca Juga
Yordania mendesak Israel untuk menghormati status quo di Kompleks Masjid Al Aqsa atau yang oleh umat Yahudi dikenal sebagai Temple Mount.
Advertisement
Status quo yang berlaku selama beberapa dekade di bawah pengawasan Yordania, membuat orang Yahudi dan non-muslim diizinkan berkunjung selama waktu-waktu tertentu, tetapi tidak boleh beribadah di sana.
Fenomena yang terjadi belakangan adalah, kelompok nasionalis Yahudi, termasuk di antaranya anggota koalisi pemerintahan Netanyahu, semakin sering mengunjungi situs tersebut dan menuntut hak beribadah yang sama.
Dalam pertemuan pada Selasa, Raja Abdullah II turut mendorong Israel untuk menghentikan tindakan kekerasan yang merongrong harapan penyelesaian damai atas konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun. Yordania pun menegaskan kembali dukungannya untuk solusi dua negara.
Pemerintahan koalisi baru Israel telah berjanji untuk memperluas pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki, bahkan mencaplok wilayah itu.
Isu Regional hingga Kerja Sama Ekonomi
Di lain sisi, kantor perdana menteri Israel mengatakan bahwa pertemuan PM Netanyahu dan Raja Abdullah II membahas sejumlah isu regional dan kerja sama keamanan serta ekonomi.
Perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dan Yordania, yang diklaim Tel Aviv sebagai sekutu utama regional, pada tahun 1994 menghasilkan perdamaian yang sangat "kaku".
Pemerintah Yordania dilaporkan telah memanggil duta besar Israel dua kali dalam sebulan terakhir menyusul kunjungan Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir ke Kompleks Masjid Al Aqsa. PM Netanyahu sendiri telah berulang kali menegaskan jaminan bahwa tidak akan ada perubahan status quo di situs suci tersebut.
Yordania juga melayangkan protes ke Israel setelah polisi Israel sempat memblokir kunjungan duta besar Yordania ke Kompleks Masjid Al Aqsa, mengecam tindakan tersebut sebagai penghinaan atas peran Yordania sebagai pelindung situs suci.
Advertisement
Implikasi Regional hingga Global
Kompleks Masjid Al Aqsa dikelola oleh otoritas keagamaan Yordania sebagai bagian dari perjanjian tidak resmi setelah Israel merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza dalam perang tahun 1967. Meski demikian, Israel bertanggung jawab atas keamanan di situs suci ketiga bagi umat Islam itu setelah Makkah dan Madinah.
Apapun yang terjadi di Kompleks Masjid Al Aqsa tidak hanya memiliki implikasi regional, namun juga global.
Kompleks Masjid Al Aqsa muncul sebagai titik konflik utama antara Israel dan dunia Muslim pada tahun 2017, ketika Israel menempatkan detektor logam, kamera, dan tindakan pengamanan lainnya di pintu masuk kompleks sebagai respons atas serangan mematikan di sana.
Setelah beberapa hari terjadi bentrokan terburuk dalam beberapa tahun terakhir antara Israel-Palestina, Yordania membantu menyelesaikan krisis tersebut.
Selama bertahun-tahun, Yordania dan Israel telah mempertahankan aliansi keamanan yang penting, yang menopang posisi Yordania sebagai mitra Barat di salah satu wilayah dunia yang paling bergejolak.