Liputan6.com, Kabul - Setidaknya 124 orang tewas akibat suhu beku di Afghanistan dalam dua minggu terakhir. Demikian diungkapkan pejabat Taliban.
"Sekitar 70.000 ternak juga mati dalam musim dingin terdingin selama satu dekade," kata juru bicara Kementerian Negara Penanggulangan Bencana seperti dilansir BBC, Rabu (25/1/2023).
Baca Juga
Banyak lembaga bantuan menangguhkan operasi dalam beberapa pekan terakhir setelah Taliban melarang perempuan Afghanistan bekerja untuk organisasi non-pemerintah.
Advertisement
Seorang menteri Taliban mengatakan meskipun ada kematian, dekrit itu tidak akan diubah.
Penjabat Menteri Penanggulangan Bencana Mullah Mohammad Abbas Akhund mengatakan kepada BBC bahwa banyak wilayah di Afghanistan sekarang benar-benar tertutup salju. Helikopter militer telah dikirim untuk menyelamatkan, tetapi tidak bisa mendarat di daerah yang bergunung-gunung.
Diperkirakan, ungkap penjabat itu, 10 hari ke depan menunjukkan suhu akan menghangat. Meski demikian, ia masih khawatir tentang meningkatnya jumlah kematian orang dan ternak.
"Sebagian besar orang yang kehilangan nyawa karena kedinginan adalah penggembala atau orang yang tinggal di daerah pedesaan. Mereka tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan," kata Mullah Akhund. "Kami prihatin dengan mereka yang masih tinggal di kawasan pegunungan. Sebagian besar jalan yang melewati pegunungan ditutup karena salju. Mobil terjebak di sana dan penumpang tewas dalam suhu yang membekukan."
Cuaca Terburuk dalam Satu Dekade
Musim dingin selalu "kejam" di Afghanistan, tetapi ini adalah cuaca terburuk dalam satu dekade.
Dan operasi bantuan tahun ini terhambat oleh dekrit pemerintah Taliban bulan lalu yang melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga bantuan.
Tapi Mullah Akhund menekankan bahwa dekrit ini tidak dapat dicabut. Komunitas internasional, tegasnya, harus menerima budaya Islam Afghanistan.
"Laki-laki sudah bekerja sama dengan kami dalam upaya penyelamatan dan perempuan tidak perlu bekerja sama dengan kami. Laki-laki dari setiap keluarga sudah berpartisipasi dalam upaya penyelamatan, jadi perempuan tidak perlu," katanya kepada BBC.
Pihak terkait, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, sedang berusaha mencari cara untuk mengakali larangan ini.
Advertisement