Liputan6.com, Minneapolis - Sebuah kisah mengharukan datang dari Mary Johnson. Sang ibu yang memaafkan dan bahkan memeluk pembunuh yang membunuh putra satu-satunya.
Ohsea Israel adalah pembunuh putra Mary, pria yang menembak mati, Laramiun Byrd, 20 tahun. Ohsea menembak Laramiun di sebuah pesta pada 1993 di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat (AS).
Bukanlah hal yang mudah, Mary memulai jalan pengampunan setelah melalui bertahun-tahun yang penuh kekacauan dan doa.
Advertisement
"Saya benar-benar tidak tahu apa itu pengampunan," kata Mary, dikutip dari Today, Juamt (27/1/2023).
Mary dengan keyakinannya, membimbingnya dalam perjalanan yang tidak terduga, yakni merangkul Ohsea di ruang konferensi penjara. Lalu berbincang dengannya selama dua jam dalam pertemuannya di penjara.
Begitu Mary memutuskan untuk melepas dendam dan memaafkan Ohsea, ia merasa seakan dirinya telah dibebaskan dari rasa kekang.
"Saya merasa ada sesuatu yang meninggalkan saya," tutur Mary.
"Seketika semua kebencian, kepahitan dan permusuhan, semua itu hilang," lanjutnya.
Mary mengatakan pengampunannya terhadap Ohsea sama sekali tidak memaafkan apa yang ia lakukan 20 tahun lalu. Namun, ia melakukannya untuk membebaskan dirinya dari penderitaan.
Mary juga mengatakan bahwa beberapa orang menganggap perjalanan rekonsiliasinya dengan Ohsea "gila". Namun, ia tidak menghiraukan pendapat-pendapat tersebut.
Bahkan, setelah Ohsea bebas dari 17 tahun penjara, Mary dan Ohsea berbagi pengalaman mereka di seluruh negeri sebagai bagian dari "From Death To Life".
"From Death To Life" merupakan sebuah organisasi nirlaba yang didirikan Mary untuk memberikan penyembuhan dan rekonsiliasi antara keluarga korban dan mereka yang menyebabkan kerugian.
Mary juga menyebut Ohsea sebagai "putra spiritual", dan begitu sebaliknya. Ohsea menyebut Mary sebagai "ibu kedua". Mereka bahkan pernah menjadi tetangga dan tinggal bersebelahan selama lebih dari dua tahun.
Pandangan para Ahli Terkait Pengampunan
Kisah Mary terdengar luar biasa karena keberaniannya untuk memaafkan dan bahkan memeluk pembunuh putranya.
Para ahli mengatakan bahwa pengampunan seperti ini sangat mungkin, tetapi tidak umum. Hal ini diungkapkan Dr. Fred Luskin, seorang psikolog dan direktur Proyek Pengampunan Universitas Stanford.
Menurut Fred, mereka yang melepaskan amarah intens segera setelah kehilangan yang tragis, mungkin telah lama mempraktikkan sikap pemaaf, yang dapat "mengikat" perilaku tersebut sehingga menjadi seperti refleks.
Mungkin juga bahwa pengampunan bisa jadi terlalu dini, isyarat yang melindungi seseorang dari "kengerian absolut" atas apa yang terjadi.
Fred juga mengatakan bahwa beberapa orang mengalami pengampunan terlalu dini menganggapnya sebagai bentuk anugerah.
"Di tengah rasa sakit yang tidak terbayangkan, sesuatu datang dan memberi Anda jalan keluar menuju kedamaian," jelas Fred.
Penelitian juga telah menemukan bahwa orang-orang religius sering mengungkapkan keinginan untuk memaafkan dan mungkin melakukannya dengan lebih mudah.
Namun, menurut Dr. Nathaniel Wade, seorang profesor psikologi di Iowa State University, bagi banyak orang, jalan menuju pengampunan dimulai dengan kemarahan yang mendasar.
Kemudian, saat orang tersebut merenungkan kehilangannya, kesedihan dan luka itu "diubah menjadi kepahitan, menjadi luka bakar yang lebih dingin, yang bagi sebagian orang dapat bertahan selama bertahun-tahun".
Untuk mengatasi kebencian itu, Nathaniel mengatakan bahwa perlu menggantinya dengan sesuatu yang lebih positif, sebuah proses yang sering kali melibatkan empati terhadap pelaku.
Psikolog Loren Toussaint dari Luther College di Decorah, Iowa, berpendapat bahwa menemukan empati untuk seorang pembunuh mungkin tampak mustahil, tetapi mereka yang memaafkan benar-benar memahami "kemanusiaan" mereka sendiri.
"Ketika kita mencirikan seseorang sebagai jahat atau mengerikan, kita tidak manusiawi, kita membuat mereka kurang dari kita," kata Loren.
"Dan mudah untuk menghancurkan mereka, membalas dendam, menghukum mereka sekeras mungkin," tambahnya.
Bahkan ketika seseorang telah memaafkan kejahatan yang paling keji, bagaimanapun, keyakinan itu dapat berkurang dengan pengingat yang menyakitkan dari orang yang dicintai yang hilang.
"Jika Anda menemukan pengampunan di hati dan jiwa Anda, yakni tempat rapuh yang hanya milik Anda, bagian rasional dari Anda harus berkomitmen dan bertahan," tutur Loren.
Advertisement
Kasus Belas Kasih pada Pembunuh Lainnya
Kasus seorang ibu yang mengampuni pembunuh anaknya juga datang dari Barbara Mangi.
Setelah putrinya yang berusia 25 tahun, Dana, dibunuh pada 2007, Barbara merasakan banyak hal: ketakutan, kemarahan hingga kesedihan yang menyesakkan dada.
Pengampunan, adalah hal yang tak pernah ia pikirkan terhadap pembunuh putrinya.
Walaupun Mangi curiga sejak awal bahwa putrinya yang berhati besar akan memaafkan teman kuliah yang menikam dan mencekiknya, Mangi tidak bisa. Bahkan ketika Mangi sebagai seorang Katolik yang taat, meyakini bahwa Tuhan mengirim pertanda agar ia mengampuni pembunuh Dana, ia menolak.
Namun, Mangi merinci perjalanan panjangnya menuju pengampunan dalam buku berjudul "Reawakening: Return of Lightness and Peace after My Daughter's Murder".
Di buku tersebut, Barbara mengungkap bahwa ia akhirnya tidak hanya memaafkan Patrick Ford, pria yang membunuh putrinya di Lakeview, tetapi juga berterima kasih kepada Patrick atas permintaan maafnya di ruang sidang pada 2010.Â
Hatinya terketuk saat itu, meski butuh waktu beberapa tahun dan baru tergerak untuk bertukar surat dengan pembunuh putrinya dari penjara pada 2014.
Kasus Serupa Lainnya
Hal sama dilakukan oleh Rukiye.
Rukiye adalah ibu dari Suliman Abdul-Mutakallim. Rukiye memutuskan untuk memaafkan pembunuh sang putra. Di ruang sidang, ia melakukan sesuatu yang menurut para veteran di ruang sidang belum pernah mereka lihat: memeluk sang pembunuh.
Suliman diketahui ditembak di bagian belakang kepalanya saat berjalan pulang membawa makanan untuk dirinya dan istrinya.
Pihak berwenang menyatakan Suliman sebagai korban yang tidak bersalah.
Tidak lama, pelaku pembunuhan Suliman terungkap. Dua remaja mengaku bersalah di persidangan pada Januari 2018 dan dijatuhi hukuman penjara. Salah satu remaja tersebut bernama Javon Coulter.
Di persidangan, Rukiye anehnya tidak tampak marah saat bertatapan dengan pembunuh sang anak. Ternyata hal itu karena ia memilih untuk memaafkan dengan tidak ada rasa dendam, dan bahkan menawarkan untuk memeluk Javon.
Rukiye pun menyatakan akan mengunjungi para pelaku di penjara secara teratur dan membantu mereka menjadi orang yang lebih baik.
Advertisement