Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyorot isu Myanmar usai acara peresmian dimulainya Indonesia sebagai ketua ASEAN 2023. Hingga kini, situasi politik di Myanmar masih dikendalikan junta militer yang tidak demokratis.
Menlu Retno berkata ASEAN akan terus mengandalkan Five-Point of Consensus atau 5 Poin Konsensus (yang disepakati para pemimpin negara ASEAN, termasuk junta Myanmar, pada 2021) untuk membantu Myanmar, meski junta militer tidak mematuhinya. Menlu juga berkata hanya Myanmar yang bisa membantu diri mereka sendiri.Â
Advertisement
Baca Juga
"Jadi kita ingin implementasi Five-Point of Consensus ini menjadi platform utama, mekanisme utama dari ASEAN untuk berkontribusi, untuk membantu Myanmar keluar dari krisis politiknya. Tetapi sekali lagi, yang dapat menolong Myanmar adalah bangsa Myanmar sendiri," ujar Menlu Retno Marsudi di Jakarta, Minggu (29/1/2023).
Lebih lanjut, Menlu Retno berkata ASEAN siap membantu sebagai keluarga, akan tetapi ASEAN hanya akan membantu lewat Five-Point of Consensus, walau belum ada kemajuan.
"Sejarah Myanmar sangat kompleks. Tapi kita sebagai keluarga kita siap bantu. Dan kita selalu sampaikan message ke junta militer bahwa implementasi Five-Point of Consensus adalah pendekatan ASEAN. Satu-satunya pendekatan ASEAN untuk membantu Myanmar. Unfortunately, sampai saat ini belum ada kemajuan signifikan," ujar Menlu Retno.Â
Myanmar tetap diundang di acara ASEAN 2023, namun Menlu Retno berkata kehadiran mereka bersifat non-political level.
Ketika ditanya apakah isu Myanmar akan menjadi prioritas di keketuaan ASEAN 2023, Menlu Retno menegaskan tidak ingin isu negara itu menyandera agenda ASEAN tahun ini. Fokus tahun ini adalah membangun komunitas ASEAN.Â
"Tentunya kewajiban kita adalah juga membantu Myanmar keluar dari krisis politiknya, tetapi kita tidak ingin isu Myanmar kemudian meng-hostage semua proses yang sedang berjalan di ASEAN. Kita ingin pastikan proses ini berjalan terus," kata Menlu Retno.
Indonesia Harap Indikator Keberhasilan Tak Hanya Isu Myanmar
Sebelumnya dilaporkan, Kemlu RI berharap indikator keberhasilan Indonesia sebagai ketua ASEAN tidak hanya diukur dari isu Myanmar saja.Â
"Tentunya harus sedari awal dipahami oleh masyarakat ASEAN pada umumnya, kita tidak mau setahun berjalan keketuaan kita, indikator pelaksanaan kita hanya pada isu Myanmar," ujar Teuku Faizasyah, Jubir Kementerian Luar Negeri usai acara PPTM, Rabu (11/1/2023).Â
Sebagai latar belakang, tema keketuaan Indonesia adalah ASEAN Matters: Epicentrum of Growth.
"Dari dua frase tersebut, menjadi arah kerja yang kita lakukan, memastikan ASEAN tetap memiliki peranannya sebagai ASEAN Matters apakah dalam isu ekonomi, tadi disebutkan juga masalah politik dan lainnya," ujar Fauzasyah lagi.Â
Faizasyah juga mengatakan bahwa Epicentrum of Growth berarti kemajuan ekonomi ASEAN harus terus dijaga dan para negara ASEAN berkontribusi bagi semua kemajuan di kawasan.
"Tadi Bu Menlu juga merujuk kepada berbagai indikator ekonomi anyg tetap menempatkan sebagai satu satunya pusat pertumbuhan ekonomi dunia," sambungnya lagi.Â
Advertisement
Pakar HI: ASEAN Gagap di Myanmar
Masalah di Myanmar masih terus memberikan dampak pada Asia Tenggara di 2023. ASEAN yang sedang sibuk ingin diakui dunia sebagai kekuatan sentral di kawasan juga tak kunjung memberikan dampak positif.
Akibatnya, masalah terus menggunung. Dunia menyaksikan persekusi kepada etnis Rohingya, kemudian kudeta Aung San Suu Kyi, bangkitnya junta militer, dan kini etnis Rohingya berusaha pindah ke negara-negara lain, termasuk ratusan yang tiba di Indonesia pada 2022-2023.
Solusi dari ASEAN adalah Konsensus Lima Poin (Five-Point Consensus) yang akhirnya diakui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebagai tidak efektif di Myanmar.
"Implementasi 5PC oleh junta militer Myanmar tidak mengalami kemajuan signifikan," ujar Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) tahun 2023, Rabu (11/1/2023).Â
Pakar hubungan luar negeri dari CSIS, Lina Alexandra, menyorot bahwa ASEAN memang gagap di masalah Myanmar. Ia pun menyorot potensi dari revisi Piagam ASEAN.Â
"Untuk membuat ASEAN lebih relevan, lebih kredibel, dan sebagainya, terutama dalam menghadapi krisis-krisis internal dari ASEAN,"Â ujar Lina Alexandra pada media briefing di markas CSIS, Jakarta.
Salah satu isi Piagam ASEAN adalah prinsip non-interference, sehingga ASEAN tak bisa ikut campur urusan internal suatu negara. Lina menyebut prinsip itu penting untuk hubungan luar negeri, namun perlu adanya mekanisme khusus untuk menangani krisis seperti di Myanmar.Â
"Piagam ASEAN itu mencantumkan prinsip-prinsip ASEAN, democracy, rule of law, good governance, promotes and protection of human rights. Bagaimana kalau kemudian ada negara anggota yang secara jelas melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ASEAN. Apa yang kemudian dapat dilakukan?" jelas Lina.
Akibatnya, ketika ada pengambilalihan kekuasaan secara inkonstitusional seperti di Myanmar, lantas  "ASEAN gagap" karena tidak memiliki klausul khusus di piagamnya untuk menuntaskan krisis regional tersebut.Â
Masalah Kredibilitas
Lebih lanjut, Lina menegaskan bahwa ASEAN perlu memiliki mekanisme untuk menuntaskan krisis internal pada anggotanya. Pasalnya, ini terkait dengan kredibilitasnya sebagai organisasi.Â
Pada kasus Myanmar, Lina melihat bahwa ASEAN berusaha mengalihkan kasus ini kepada ASEAN Summit, tetapi itu tidak efektif.Â
"Itu kan kita lihat menjadi sangat tidak efektif untuk menunjukkan relevansi ASEAN," ujar Lina.
Ia lantas menegaskan bahwa prinsip non-interference agar tetap menjadi suatu pegangan, namun perlu ada tools untuk menghadapi krisis di dalam negara anggota ASEAN.
"Prinsip non-interference sendiri tetap harus menjadi pegangan bersama. Tetapi ketika mengadapi suatu krisis regional yang sangat krusial yang mengancam kredibilitas, relevansi dari organisasi, nah ini bagaimana menghadapi hal-hal seperti itu? Bagaimana ASEAN bisa punya tools untuk itu? Dan itu tidak ada kita lihat," jelasnya.
Saat ini, ASEAN hanya memiliki mekanisme seperti settlement, namun Lina berkata itu hanya berlaku ketika ada masalah antar-negara, bukan krisis internal suatu negara.Â
Advertisement