Liputan6.com, Tepi Barat - Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken ke Tepi Barat memicu kemarahan banyak warga Palestina.
Mereka berdemonstrasi pada Selasa (31/1) untuk menyatakan penentangan terhadap kehadiran diplomat ASÂ tersebut, dikutip dari laman Xinhua, Rabu (1/2/2023).
Baca Juga
Para pengunjuk rasa, baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza, mengibarkan bendera Palestina dan meneriakkan anti-AS.
Advertisement
Ada pula slogan-slogan yang menuduhnya bias terhadap Israel dan semua pelanggarannya terhadap hak-hak Palestina.
"Masalahnya sangat sederhana. Blinken datang ke sini untuk menekan kepemimpinan Palestina agar tidak mengambil keputusan apapun yang menentang kerja sama keamanan mereka dengan Israel," kata Nael Salama, seorang pengunjuk rasa.
"AS adalah pelaku kriminal selama mendukung Israel."
"Kami datang ke sini untuk menyampaikan pesan kepada Blinken bahwa dia tidak diterima di negara kami karena pemerintahannya sangat bias terhadap Israel dan praktiknya terhadap rakyat Palestina," kata Issam Baker, koordinator pasukan nasional dan Islam di Ramallah, kepada Xinhua.
Dia menekankan bahwa pemerintah AS menggunakan "standar ganda" dalam menangani masalah Palestina.
Sejak awal 2023, pasukan Israel telah menewaskan sedikitnya 35 warga Palestina, menjadikan Januari 2023 sebagai salah satu bulan paling mematikan di Tepi Barat dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagai pembalasan, upaya penembakan dilancarkan oleh seorang pria bersenjata Palestina di luar pemukiman Israel di Yerusalem Timur. Aksinya kemudian merenggut nyawa tujuh orang pada Jumat malam kemarin.
Â
Â
Suara Para Pengunjuk Rasa
Ahmed Abu Dalfa, seorang pengunjuk rasa di Jalur Gaza, mengatakan kepada Xinhua bahwa kunjungan Blinken tidak akan membawa manfaat bagi rakyat Palestina karena Washington "meninggalkan" janjinya kepada negara tersebut.
Sebelumnya, Blinken mengadakan pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di markas kepresidenan di Ramallah setelah pertemuannya dengan para pemimpin Israel pada Senin (30/1) kemarin.
Blinken mendesak Palestina dan Israel untuk meredakan ketegangan sambil menegaskan kembali komitmen "kuat" Washington terhadap masalah keamanan.
Menyusul pertemuannya dengan Blinken, Abbas mengatakan bahwa pemerintah Israel "bertanggung jawab penuh atas ketegangan dan kekerasan saat ini di wilayah Palestina" karena telah merusak solusi dua negara dan melanggar perjanjian yang ditandatangani.
Abbas juga menuduh masyarakat internasional gagal mengakhiri pendudukan militer Israel atas wilayah Palestina dan kebijakan pemukimannya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Advertisement
Menlu Blinken Janjikan Buka Kembali Konsulat AS di Yerusalem Timur
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengumumkan akan kembali membuka konsulat AS di Yerusalem Timur yang ditutup semasa pemerintahan Donald Trump. Hal tersebut disampaikan Menlu Blinken saat bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Ramallah pada Selasa (31/1/2023).
Dalam kesempatan yang sama, Blinken menegaskan, pemerintah AS menentang tindakan apa pun dari Israel dan Palestina yang membuat solusi dua negara, yang menjadi komitmen Presiden Joe Biden, sangat sulit dicapai.
Selain itu, Blinken juga mengumumkan dukungan baru kepada United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugee (UNRWA) yang menangani pengungsi Palestina, yakni sebesar US$ 50 juta. Menurutnya, itu merupakan bagian dari upaya untuk membangun hubungan AS dengan rakyat Palestina dan Otoritas Palestina. Demikian seperti dikutip dari kantor berita Wafa, Rabu (1/2).
Tidak ketinggalan, Blinken menyampaikan belasungkawa kepada keluarga warga Palestina yang tewas dibunuh pasukan Israel dalam kekerasan yang terjadi selama beberapa hari terakhir.
Pertemuan Blinken dengan Abbas merupakan rangkaian dari kunjungan menlu AS itu ke kawasan, di mana ia telah lebih dulu bertatap muka dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Palestina: Israel Bertanggung Jawab Atas Kemunduran Penyelesaian Konflik
Sementara itu, dalam pertemuannya dengan Blinken, Presiden Abbas mengatakan bahwa pemerintah Israel bertanggung jawab atas kemunduran penyelesaian konflik kedua negara yang terjadi di lapangan.
"Kami menyambut Anda dan kami menegaskan bahwa pemerintah Israel bertanggung jawab atas apa yang terjadi hari ini karena praktiknya merusak solusi dua negara dan melanggar perjanjian yang ditandatangani... upaya internasional masih kurang untuk mengakhiri pendudukan, menghentikan perluasan pemukiman, dan gagal mengakui negara Palestina dan keanggotaan penuhnya di PBB," kata Presiden Abbas.
"Penentangan terus-menerus terhadap upaya rakyat Palestina untuk mempertahankan keberadaan mereka dan hak-hak sah mereka di forum dan pengadilan internasional serta untuk memberikan perlindungan internasional bagi rakyat kami adalah kebijakan yang mendorong penjajah Israel melakukan lebih banyak kejahatan dan melanggar hukum internasional," tambahnya.
Abbas lebih lanjut mengatakan bahwa dunia mengabaikan Israel, tanpa pencegahan dan pertanggungjawaban, membuat negara itu terus melanjutkan operasi sepihaknya, termasuk soal pencaplokan tanah, membunuh warga Palestina, melanggar status quo Kompleks Masjid Al Aqsa, dan banyak lagi.
"Penghentian total tindakan sepihak Israel, yang melanggar perjanjian yang ditandatangani dan hukum internasional adalah titik masuk utama untuk mengembalikan cakrawala politik, mengakhiri pendudukan sesuai dengan referensi internasional dan Prakarsa Perdamaian Arab, untuk membuat perdamaian, stabilitas, dan keamanan bagi semua," tegas Abbas.
"Kami selalu menunjukkan komitmen terhadap resolusi legitimasi internasional, penolakan kekerasan dan terorisme, serta menghormati perjanjian yang kami tanda tangani. Kami siap bekerja sama dengan pemerintah AS dan komunitas internasional untuk memulihkan dialog politik guna mengakhiri pendudukan Israel atas tanah Negara Palestina, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Rakyat kami tidak akan menerima kelanjutan pendudukan selamanya dan keamanan regional tidak akan diperkuat dengan melanggar kesucian tempat-tempat suci, menginjak-injak martabat rakyat Palestina dan mengabaikan hak sah mereka atas kebebasan, martabat, dan kemerdekaan."
Advertisement