Liputan6.com, Kairo - Amerika Serikat (AS) meningkatkan tekanan pada sekutu Timur Tengah untuk mengusir kelompok Wagner, kontraktor militer yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, dari Libya dan Sudan. Kehadiran Wagner di negara-negara itu disebut telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
Wagner dimiliki oleh oligarki Rusia Yevgeny Prigozhin, sekutu dekat Presiden Putin. Pentagon menggambarkannya sebagai pengganti Kementerian Pertahanan Rusia. Namun, Kremlin menyangkal adanya hubungan apa pun.
Baca Juga
AS sendiri telah menjatuhkan sanksi baru terhadap Wagner dalam beberapa bulan terakhir atas peran kelompok itu yang meluas dalam perang Ukraina. Wagner dan Prigozhin sendiri telah berada di bawah sanksi AS sejak 2017 dan pemerintahan Biden pada Desember mengumumkan pembatasan ekspor baru atas aksesnya ke teknologi dan pasokan, menetapkannya sebagai organisasi kriminal transnasional yang signifikan.
Advertisement
Pemerintahan Biden dilaporkan telah bekerja selama berbulan-bulan dengan kekuatan regional Mesir dan Uni Emirat Arab untuk menekan para pemimpin militer di Sudan dan Libya agar mengakhiri hubungan mereka dengan kelompok itu. Hal ini diungkapkan oleh lebih dari selusin pejabat Libya, Sudan, dan Mesir. Mereka meminta anonimitas untuk berbicara dengan bebas dan karena mereka tidak berwenang untuk membicarakan masalah tersebut dengan media.
"Kelompok Wagner berada di puncak pembahasan setiap pertemuan," ujar seorang pejabat senior pemerintah Mesir yang mengetahui langsung pembicaraan itu seperti dikutip dari AP, Sabtu (4/2/2023).
Kelompok Wagner tidak mengumumkan operasinya, tetapi keberadaan mereka diketahui dari laporan di lapangan dan bukti lainnya.
Di Sudan, awalnya Wagner dikaitkan dengan mantan orang kuat Omar al-Bashir dan sekarang bekerja dengan para pemimpin militer yang menggantikannya. Di Libya, kelompok ini terkait dengan komandan militer Khalifa Hifter yang berbasis di Libya timur.
Wagner: Afrika Justru Harus Waspadai AS
Wagner disebut telah mengerahkan ribuan operasi di negara-negara Afrika dan Timur Tengah termasuk Mali, Libya, Sudan, Republik Afrika Tengah, dan Suriah.
Tujuannya di Afrika, kata para analis, adalah untuk mendukung kepentingan Rusia di tengah meningkatnya minat global di benua yang kaya sumber daya itu.
Pakar HAM yang bekerja dengan AS pada 31 Januari menuduh Wagner melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Mali, di mana mereka berperang bersama pasukan pemerintah.
"Wagner cenderung menargetkan negara-negara dengan sumber daya alam yang dapat digunakan untuk tujuan Moskow – tambang emas di Sudan, misalnya, di mana emas yang dihasilkan dapat dijual dengan cara menghindari sanksi Barat," kata Catrina Doxsee, pakar Wagner di Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Washington.
Dimintai komentarnya, Prigozhin mengatakan kepada AP melalui perwakilannya pada Jumat bahwa negara-negara Afrika justru harus mewaspadai kebijakan AS.
"Kami mengikuti dengan cermat gerakan direktur CIA dan berupaya menekan otoritas berbagai negara," kata pernyataan itu. "Kami selalu memiliki sikap suci terhadap kedaulatan negara."
Peran kelompok Wagner di Libya dan Sudan menjadi pusat pembicaraan antara Direktur CIA William Burns dengan para pejabat di Mesir dan Libya pada Januari lalu.
Beberapa minggu setelah kunjungan tersebut, Burns mengakui dalam pidatonya di Georgetown University bahwa setelah melakukan perjalanan baru-baru ini ke Afrika, dia khawatir tentang pengaruh Wagner yang berkembang di benua itu.
"Itu adalah perkembangan yang sangat tidak sehat dan kami bekerja sangat keras untuk melawannya," kata Burns.
Menurut para pejabat Mesir, Menteri Luar Negeri Antony Blinken juga membahas kelompok itu dengan Presiden Abdel Fattah el-Sissi dalam perjalanannya pada akhir Januari ke Kairo.
Burns dan Blinken meminta pemerintah el-Sissi untuk membantu meyakinkan para jenderal yang berkuasa di Sudan dan Libya untuk mengakhiri kesepakatan mereka dengan Wagner.
Wagner dan Prigozhin telah berada di bawah sanksi AS sejak 2017 dan pemerintahan Biden pada Desember 2022 mengumumkan pembatasan ekspor baru atas aksesnya ke teknologi dan pasokan, menetapkannya sebagai "organisasi kriminal transnasional yang signifikan".
Advertisement
Sudan dan Libya
Seorang pejabat senior Sudan mengatakan bahwa pemimpin di negara itu telah berulang kali menerima pesan AS tentang pengaruh Wagner yang berkembang dalam beberapa bulan terakhir, melalui Mesir dan negara-negara Teluk.
Direktur Badan Direktorat Intelijen Mesir Abbas Kamel menyampaikan keprihatinan Barat dalam pembicaraan di Khartoum bulan lalu dengan Kepala Dewan Kedaulatan Sudan Jenderal Abdel-Fattah Burhan. Kamel mendesak Burhan untuk menemukan cara mengatasi penggunaan Sudan sebagai pangkalan oleh Wagner untuk operasi di negara-negara tetangga seperti Republik Afrika Tengah.
Wagner mulai beroperasi di Sudan pada 2017, memberikan pelatihan militer kepada intelijen dan pasukan khusus, serta kelompok paramiliter yang dikenal sebagai Pasukan Pendukung Cepat (RSF).
RSF, yang tumbuh dari milisi Janjaweed, dipimpin oleh Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, yang memiliki hubungan dekat dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi. Dagalo telah mengirim pasukan untuk berperang bersama koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman.
"Tentara bayaran Wagner tidak beroperasi dalam peran tempur di Sudan," kata para pejabat. "Kelompok, yang memiliki puluhan anggota di negara tersebut, memberikan pelatihan militer dan intelijen, serta pengawasan dan perlindungan situs dan pejabat tinggi."
Pemimpin militer Sudan diduga telah memberi Wagner kendali atas tambang emas sebagai imbalannya.
Dua perusahaan telah dikenai sanksi oleh Kementerian Keuangan AS karena bertindak sebagai kedok untuk kegiatan penambangan Wagner, yakni Meroe Gold, sebuah perusahaan pertambangan emas Sudan, dan pemiliknya, perusahaan M Invest, yang berbasis di Rusia. Menurut Kementerian Keuangan AS, Prigozhin memiliki atau mengendalikan keduanya. Tapi, meskipun ada sanksi, Meroe Gold masih beroperasi di seluruh Sudan.
Libya
Pakar PBB mengatakan tentara bayaran Wagner dikerahkan ke Libya sejak 2018, membantu pasukan Hifter dalam perang melawan militan Islam di Libya timur. Kelompok itu juga terlibat dalam serangan yang gagal di Tripoli pada April 2019.
Komando Afrika AS, AFRICOM, memperkirakan sekitar 2.000 tentara bayaran Wagner berada di Libya antara Juli-September 2020, sebelum gencatan senjata. Menurut AFRICOM, tentara bayaran itu dilengkapi dengan kendaraan lapis baja, sistem pertahanan udara, pesawat tempur, dan peralatan lain yang dipasok oleh Rusia. Laporan juga menyebutkan, Wagner diduga menerima uang dari UEA, pendukung asing utama Hifter.
Pejabat Libya menuturkan, sejak gencatan senjata tahun 2020, kegiatan Wagner berpusat di sekitar fasilitas minyak di Libya tengah dan mereka terus memberikan pelatihan militer kepada pasukan Hifter. Tidak jelas berapa banyak tentara bayaran Wagner yang masih berada di Libya.
Seorang pejabat Libya lainnya mengungkapkan, para pejabat AS menuntut agar tentara bayaran ditarik keluar dari fasilitas minyak.
Hifter tidak menawarkan komitmen apa pun, tetapi meminta jaminan bahwa Turki dan milisi di Libya barat tidak menyerang pasukannya di Kota Sirte dan daerah lain di Libya tengah.
Sementara itu, Mesir, yang memiliki hubungan dekat dengan Hifter, menuntut agar Wagner tidak ditempatkan di dekat perbatasannya.
Bagaimanapun, menurut para pengamat, belum ada bukti bahwa tekanan pemerintahan Joe Biden telah membuahkan hasil baik di Sudan maupun Libya.