Sukses

RRC Sering Bikin Pulau Buatan di Laut China Selatan, Ini Komentar Kemlu RI

Republik Rakyat China (RRC) yang membangun pulau buatan di Laut China Selatan menjadi sorotan.

Liputan6.com, Jakarta - Isu Laut China Selatan akan disorot secara intensif oleh ASEAN tahun ini. Salah satu agenda ASEAN 2023 adalah mengintensifkan negosiasi Code of Conduct (CoC) terkait Laut China Selatan. 

Masalah di Laut China Selatan masih terus memanas karena Republik Rakyat China (RRC) mengklaim wilayah secara sepihak, selain itu ada juga masalah pulau-pulau buatan yang dilakukan China.

Pihak Kemlu RI berkata menolak aksi tersebut, namun enggan secara spesifik menyebut China.

"Tidak ada yang menerima pembangunan reklamasi dan pulau-pulau sebenarnya oleh siapa pun. Jadi ini bukan satu pandangan kepada satu negara, tapi pandangan semua pihak yang ada di sana," ujar Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Sidharto Suryodipuro dalam konferensi pers di Sekretariat ASEAN, Sabtu (4/2/2023).

Menurut laporan ABC Indonesia, Jumat (3/2), ada dua negara yang membangun pulau-pulau buatan di Laut China Selatan, dan salah satu memang anggota ASEAN, yakni Vietnam. Namun, jumlah yang dibangun China sangat jauh lebih banyak dari China.

Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) menyebut dari 2013 hingga 2016, China telah membangun lebih dari 3.200 hektar lahan di kawasan LCS.

"China beroperasi 10 kali lebih besar daripada Vietnam dalam hal ekspansi," ujar Profesor John Blaxland dari Universitas Nasional Australia (ANU).

Menurut laporan ABC Indonesia, pengamat menilai Vietnam mendirikan pulau buatan sebagai reaksi terhadap China. Selain Vietnam, Salah satu pihak yang paling berseteru dengan China di Laut China Selatan adalah Filipina. Kolaborasi pun dilakukan oleh Filipina dengan Amerika Serikat yang membangun pangkalan militer di area Filipina.

2 dari 3 halaman

AS Amankan Akses Tambahan ke 4 Pangkalan Militer di Filipina, Makin Mudah Pantau China

Sebelumnya dilaporkan, Amerika Serikat (AS) telah mengamankan akses tambahan ke empat pangkalan militer di Filipina, yang akan membuat mereka semakin mudah memantau pergerakan China di Laut China Selatan dan sekitar Taiwan. Dengan kesepakatan ini, AS telah menutup celah pada aliansinya yang membentang dari Korea Selatan, Jepang di utara, hingga Australia di selatan.

Sebelumnya, AS telah memiliki akses terbatas ke lima pangkalan militer Filipina di bawah Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan (EDCA).

"Penambahan baru dan perluasan akses akan memungkinkan dukungan yang lebih cepat untuk bencana terkait kemanusiaan dan iklim di Filipina dan menanggapi tantangan bersama lainnya - dinilai merupakan referensi terselubung untuk melawan China di wilayah tersebut," demikian pernyataan AS seperti dikutip dari BBC, pada Kamis (2/2).

Pernyataan itu muncul setelah Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin bertemu dengan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr di Manila pada hari yang sama.

AS belum mengumumkan di mana saja pangkalan baru yang dimaksud, tetapi tiga di antaranya kemungkinan besar berada di Luzon, sebuah pulau di tepi utara Filipina, satu-satunya daratan besar yang dekat dengan Taiwan.

"Tidak ada kemungkinan di Laut China Selatan yang tidak membutuhkan akses ke Filipina," kata Direktur program Asia Tenggara di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, Gregory B Poling. "AS tidak mencari pangkalan permanen. Ini tentang tempat, bukan pangkalan."

3 dari 3 halaman

Wilayah Filipina Terancam

Lebih lanjut, Poling berkata fenomena ini tidak seperti kembali ke tahun 1980-an, ketika Filipina menjadi rumah bagi 15.000 tentara AS dan dua pangkalan militer AS terbesar di Asia, Lapangan Clark dan Teluk Subic.

Pada tahun 1991 pemerintah Filipina meminta waktu. Orang-orang Filipina saat itu menggulingkan kediktatoran Ferdinand Marcos yang dibenci dan pilihan mengirim pulang tuan kolonial lama akan semakin memperkuat demokrasi dan kemerdekaan.

Perang Vietnam telah lama berakhir, Perang Dingin mereda, dan China saat itu masih lemah secara militer. Jadi, pada tahun 1992, pasukan AS pun pulang - atau setidaknya sebagian besar dari mereka pulang.

Dan 30 tahun setelah berlalu sekarang, Marcos lainnya, kembali ke Istana Malacanang. Fakta yang lebih penting lagi, China tidak lagi lemah secara militer.

Manila telah menyaksikan bagaimana Beijing mulai menggambar ulang peta Laut China Selatan dan sejak 2014 mereka membangun 10 pangkalan di pulau-pulau buatan, termasuk satu di Mischief Reef, jauh di dalam zona ekonomi eksklusif atau ZEE Filipina.

"Kami memiliki kemampuan yang sangat terbatas melawan ancaman dari China," kata mantan Duta Besar Filipina untuk AS Jose Cuisia Jr.

Dia mengatakan China telah berulang kali mengingkari janji untuk tidak memiliterisasi pangkalan baru mereka di Laut China Selatan.

"China telah memiliterisasi fitur-fitur itu dan itu membuat lebih banyak wilayah kami terancam. Hanya AS yang memiliki kekuatan untuk menghentikannya. Filipina tidak dapat melakukannya sendiri," ungkap Jose.