Liputan6.com, Lima - Pemerintah Peru pada Minggu (5/2/2023), memperpanjang dan memperluas status keadaan darurat untuk menangani demonstrasi antipemerintah selama dua bulan terakhir. Aksi yang diwarnai bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan tersebut telah menewaskan 48 orang.
Tujuh wilayah Peru selatan, Madre de Dios, Cusco, Puno, Apurimac, Arequipa, Moquegua, dan Tacna, termasuk dalam status keadaan darurat yang akan berlaku selama 60 hari. Demikian diumumkan media pemerintah seperti dikutip dari VOA, Senin (6/2/2023).
Baca Juga
Pada 13 Januari, pemerintah Peru telah memperpanjang status keadaan darurat selama 30 hari untuk Lima, El Callao, Cusco, dan Puno.
Advertisement
Dengan perpanjangan baru yang tidak mencakup ibu kota Lima dan El Callao, yang menampung bandara utama dan terminal maritim negara itu, status keadaan darurat di sana akan berakhir pada pertengahan Februari.
Penerapan status keadaan darurat memberi wewenang kepada militer untuk mendukung tindakan polisi dalam memulihkan ketertiban umum serta menangguhkan hak konstitusional seperti kebebasan bergerak dan berkumpul.
Krisis Politik
Peru telah dilanda krisis politik dengan demonstrasi hampir setiap hari sejak 7 Desember 2022, ketika presiden saat itu, Pedro Castillo ditangkap setelah berusaha membubarkan kongres dan pemerintahan melalui dekrit.
Blokade jalan oleh para pengunjuk rasa telah menyebabkan kekurangan makanan, bahan bakar, dan komoditas pokok lainnya di sejumlah wilayah di wilayah Andes.
Adapun tuntutan para demonstran antara lain pembubaran kongres, pembentukan konstitusi baru, dan pengunduran diri Presiden Dina Boluarte. Sejumlah upaya untuk memungkinkan berlangsungnya pemilu lebih awal mengalami kebuntuan.
Demonstrasi didorong oleh penduduk asli Peru yang miskin di selatan negara itu. Mereka memandang Castillo, yang juga berasal dari keluarga sederhana dan memiliki akar Pribumi, sebagai sekutu dalam perjuangan mereka melawan kemiskinan, rasisme, dan ketidaksetaraan.
Advertisement