Liputan6.com, Tokyo - Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida meminta maaf atas komentar diskriminatif yang dibuat oleh salah seorang mantan sekretarisnya pekan lalu. Dia menegaskan kembali kebijakan pemerintahannya untuk menghormati keragaman dan menciptakan masyarakat yang inklusif.
"Komentar baru-baru ini yang dibuat oleh seorang ajudan benar-benar bertentangan dengan kebijakan pemerintah dan kami telah membuat keputusan untuk segera membebaskannya dari tugasnya sebagai sekretaris perdana menteri," ujar PM Kishida pada Senin (6/2/2023), seperti dikutip dari The Straits Times.
Baca Juga
"Saya menyesali kesalahpahaman yang mungkin muncul di kalangan masyarakat mengenai arah kebijakan pemerintah dan saya meminta maaf kepada siapapun yang mungkin tersinggung karenanya."
Advertisement
Sosok sekretaris yang dimaksud adalah Masayoshi Arai. Dia mengatakan, tidak ingin tinggal bersebelahan dengan pasangan LGBT, bahkan tidak suka melihat mereka.
Sebelum mencabut pernyataannya pada Jumat (3/2), Arai mengatakan bahwa jika pernikahan sesama jenis dilegalkan di Jepang maka itu akan mengubah cara hidup masyarakat dan ada sejumlah orang yang akan meninggalkan negara itu.
Dia membuat pernyataan itu selama percakapan "off the record" dengan wartawan di kantor perdana menteri mengenai posisi hati-hati PM Kishida tentang legalisasi pernikahan sesama jenis.
Bukan yang Pertama
Pada Jumat sore, Arai meminta maaf secara publik.
"Saya minta maaf karena telah menggunakan ekspresi yang dapat menyebabkan kesalahpahaman. Saya merasa kasihan (menyebabkan masalah bagi) dengan perdana menteri, karena dia tidak berpikir seperti itu. Saya menyebabkan masalah (bagi perdana menteri) karena pendapat saya sendiri," tambah Arai. "Tidak seharusnya pejabat seperti saya menyampaikan hal-hal seperti itu."
Banyak anggota Partai Demokrat Liberal (LDP) beraliran konservatif yang dipimpin oleh Kishida menentang pernikahan sesama jenis, merujuk pada apa yang mereka katakan sebagai nilai-nilai tradisional negara seperti peran perempuan dalam membesarkan anak.
Arai bukan satu-satunya pejabat publik yang tersandung skandal homofobia. Akhir tahun lalu, Wakil Menteri Parlemen di Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi, Mio Sugita, dipecat karena pernyataan homophobianya pada tahun 2018. Saat itu, dia mengatakan, pemerintah seharusnya tidak mendukung pasangan LGBT karena mereka tidak dapat melahirkan keturunan dan karenanya tidak produktif.
Di antara negara-negara demokrasi besar yang tergabung dalam Kelompok Tujuh (G7), Jepang adalah satu-satunya yang tidak memiliki aturan hukum pernikahan sesama jenis atau serikat sipil, sesuatu yang menurut para juru kampanye menyebabkan masalah di berbagai bidang mulai dari imigrasi hingga warisan dan perawatan medis.
Advertisement