Liputan6.com, Jakarta - Invasi Rusia kepada Ukraina masih terus berlanjut. Korban jiwa terus berjatuhan, dan gempuran terus dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin, namun Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky masih bertahan di Kyiv.
Di tengah invasi, Presiden Joko Widodo sempat bertemu dengan Presiden Putin. Mereka berdua turut membahas IKN. Pemerintah Rusia pun menunjukkan minat ingin ikut investasi di pembangunan IKN di Kalimantan.
Advertisement
Baca Juga
Namun, Mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI dan pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal meminta agar Presiden Jokowi tidak menerima dana dari Rusia. Pasalnya, uang dari Rusia itu dinilai kotor, sehingga tidak pantas digunakan untuk membangun IKN yang sakral.Â
Pandangan itu diungkap Dino saat menjawab pertanyaan pada sebuah acara bersama tokoh sipil Ukraina di acara Voices from Ukraine.
"Jangan ambil uangnya. Kamu tahu mengapa? Bila ini akan menjadi ibu kota baru Indonesia, ini akan menjadi sakral. Ini bayi kita, kan? Tempat martabat dan jiwa kita. Apa kamu ingin uang darah di sana? Tidak. Kamu tidak ingin uang kotor," ujar Dino Patti Djalal, Senin (6/1).
"Mari kita jaga (IKN) tetap murni dan sakral bagi negara kita," ujar Dino.
Pada acara tersebut, seorang delegasi sipil Ukraina mengungkap kondisi perang terkini. Rusia disebut terus menyerang infrastruktur sipil, sehingga rumah sakit ikut kewalahan.Â
"Karena mereka tidak bisa meraih kemenangan militer, mereka tak bisa meraih kemenangan di pertempuran, mereka melakukan terorisme. Mereka mulai menyerang infrastruktur, air, penghangat, dan listrik kami," ujar Liubov Tsybulska, pendiri Centre for Strategic Communication.
"Jika kamu membahas rumah sakit yang ada anak-anak kecil, dan anak ini tidak punya kesempatan mendapat air hangat, contohnya. Orang-orang tak bisa dioperasi karena tidak ada listrik, atau mereka melakukan operasi dengan lilin di sekitar mereka," ujar Liubov yang mengaku telah mengevakuasi dua anaknya ke luar Ukraina.
Kekaisaran, Nuklir, dan Propaganda
Liubov Tsybulska turut menegaskan bahwa ambisi Presiden Putin adalah ingin membangun kembali kekaisaran Soviet seperti tempo dulu. Salah satu caranya adalah mengisolasi Ukraina.Â
Dulu, Ukraina memang bagian dari Soviet, namun berhasil merdeka.Â
"Tujuan utamanya, tujuan strategisnya, adalah membangkitkan kekaisaran. Putin berkata runtuhnya Uni Soviet adalah bencana terbesar pada abad ke-20. Itulah yang ia ingin raih. Dan pertama-tama, ia ingin Ukraina tetap sendirian tanpa dukungan mitra-mitra internasional," jelasnya.
Dino Patti Djalal turut bertanya kepada delegasi Ukraina terkait pemakaian nuklir taktis di Ukraina. Dr. Olexiy Haran dari National University of Kyiv-Mohyla Academy berkata kemungkinan itu tidak bisa dicoret. Namun, ia menggarisbawahi pentingnya posisi internasional untuk mencegah Rusia memakai nuklir.Â
Dr. Haran berkata Republik Rakyat China dan India masih kompak menolak pemakaian nuklir di konflik Rusia.Â
Terkait apa yang bisa membuat Rusia mundur, Dr. Haran berkata memang harus menggunakan kekuatan militer. Meski begitu, ia curiga pemerintah Rusia akan tetap menyebar propaganda bahwa mereka menang.
"Tak ada demokrasi di Rusia. Segalanya dikendalikan. Jadi bakan putin dikalahkan di Ukraina, secara domestik lewat TV ia bisa bilang: 'Oh kita menang. Kita menghancurkan pasokan nuklir Ukraina, senjata biologis, dan semuanya. Kita pemenangnya. Kita meraih tujuan operasi militer'. Sebab tak ada demokrasi, tak ada diskusi. Jadi ia (Putin) bisa menyajikan apa yang ia mau," ujar Dr. Haran.
Â
Advertisement
Terima Kasih ke Indonesia
Dr. Haran pun turut berterima kasih kepada Indonesia karena mendukung integritas wilayah Ukraina saat voting di PBB.Â
"Indonesia thank you very much, terima kasih, kalian mendukung integritas wilayah Ukraina. Jadi saya pikir ini sangat logis. Ini adalah langkah yang sangat logis," ujarnya.
Dr. Haran juga berkata bahwa negaranya sedang bertempur melawan kekaisaran kolonial yang menolak hak Ukraina untuk eksis, dan bukan tentang "Barat vs. Rusia".
Ia pun menyebut 92 persen warga Ukraina yakin negaranya menang.Â
"Kami bertempur melawan mantan kekaisaran kolonial yang mencoba membangkitkan kekaisaran, dan sebenarnya menolak hak kami untuk eksis," ujarnya. "Kami bertempur untuk kemerdekaan, integritas wilayah, dan demokrasi."