Sukses

Anak SD di Jepang Mengeluh Sakit Punggung dan Bahu karena Tas Sekolah Terlalu Berat

Randoseru, yang merupakan tas standar untuk anak sekolah dasar di Jepang, tidak hanya dinilai berat, tapi juga mahal.

Liputan6.com, Tokyo - Adalah pemandangan yang biasa setiap pagi dan sore pada hari kerja di seluruh Jepang: anak-anak mulai dari usia enam tahun mengenakan randoseru--ransel kulit berbentuk persegi--yang penuh dengan buku pelajaran.

Belakangan, anak-anak sekolah dasar di Jepang itu mulai mengeluh bahwa ransel mereka sangat berat, sehingga membuat sakit punggung dan bahu. Hal itu terungkap lewat sebuah survei.

Survei terbaru Footmark, produsen pakaian renang untuk anak sekolah yang berbasis di Tokyo, menyebutkan bahwa lebih dari 90 persen anak usia 6-12 tahun yang menggunakan randoseru mengeluhkan tentang beratnya.

Dalam survei terhadap 1.200 orang tua dan anak-anak kelas satu, dua, dan tiga, surat kabar Yomiuri Shimbun mengatakan bahwa 93 persen murid menganggap tas mereka terlalu berat. Dan pendapat tersebut diamini oleh 90 persen orang tua.

Menurut Yomiuri Shimbun, berat rata-rata randoseru yang berisi buku dan perlengkapan lainnya adalah 4,28 kg, naik dari 3,97 kg pada tahun 2022.

"Beberapa anak kesulitan membawa tas punggung yang beratnya bisa lebih dari 10 kg," tambah surat kabar itu seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (7/2/2023).

2 dari 3 halaman

Berat dan Mahal

Hampir satu dari empat anak mengeluhkan sakit bahu atau punggung, sementara 65 persen dari semua responden mengatakan mereka ingin menukar randoseru dengan sesuatu yang lebih ringan.

Adapun keluhan orang tua tentang barang-barang tersebut secara tradisional berpusat pada harganya yang mahal.

Survei oleh asosiasi industri Randoseru Kogyokai mengungkapkan bahwa harga tas ransel kulit itu rata-rata US$ 425 atau setara dengan Rp6,4 juta pada tahun 2022.

3 dari 3 halaman

Sejarah Singkat Randoseru

Dikutip dari berbagai sumber, randoseru berasal dari akhir Abad ke-19, ketika struktur militer Barat pertama kali diadopsi di Jepang. Prajurit infanteri Jepang membawa tas persegi yang disebut ransel, versi bahasa Belanda, yang kemudian menjadi randoseru dalam bahasa Jepang.

Pada tahun 1885, sebuah sekolah dasar elite mulai menggunakan ransel militer untuk siswanya membawa buku. Model pertama terbuat dari kanvas, tetapi tidak lama kemudian, ransel kulit yang dibuat sesuai pesanan menjadi mode dan dianggap sebagai pelopor randoseru modern.

Ransel awalnya hanya digunakan oleh siswa di sejumlah kecil sekolah dasar, tetapi karena Jepang menjadi lebih makmur selama tahun 1960-an, randoseru kemudian menjadi tas standar sekolah dasar.

Versi hari ini, randoseru terbuat dari kombinasi kulit lembut dan keras serta hadir dalam berbagai warna. Merah paling populer di kalangan anak perempuan, sedangkan warna hitam menjadi norma di kalangan anak laki-laki.

Otoritas pendidikan Jepang dilaporkan pernah mencoba menyelesaikan masalah randoseru yang terlalu berat, yaitu dengan membiarkan anak-anak meninggalkan buku pelajaran mereka di ruang kelas, terutama selama musim panas. Namun, ada kekhawatiran bahwa itu akan membuat mereka enggan mengerjakan pekerjaan rumah.

Pada tahun 2022, Kota Tateyama meminta produsen untuk membuat tas punggung yang lebih ringan setelah wali kota menyuarakan keprihatinan tentang meningkatnya harga randoseru konvensional.

"Tas-tas tersebut akan dibagikan kepada anak-anak setempat secara gratis pada awal tahun ajaran April ini," ungkap Asahi Shimbun.