Liputan6.com, Tokyo - Banyak dari generasi pekerja di Jepang yang hampir tidak pernah mendapat kenaikan gaji selama masa kerja mereka.
Kini, ketika harga-harga naik setelah deflasi selama beberapa dekade, negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu dipaksa untuk memperhitungkan masalah utama jatuhnya standar hidup, dan perusahaan menghadapi tekanan politik yang kuat untuk membayar lebih.
Baca Juga
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida kemudian mendesak para pemilik bisnis untuk membantu pekerja memenuhi biaya hidup yang lebih tinggi, demikian dikutip dari CNN, Rabu (8/2/2023).
Advertisement
Pada Januari 2023, Kishida sudah meminta perusahaan untuk menaikkan gaji pada tingkat di atas inflasi. Beberapa di antaranya sudah mengindahkan permintaan tersebut.
Seperti bagian dunia lainnya, inflasi di Jepang telah menjadi fokus utama pemerintahan di negara itu. Menjelang Desember 2022 lalu, harga untuk pelanggan atau konsumen tetap naik 4 persen. Angka itu masih rendah jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) atau Eropa, tetapi merupakan yang tertinggi dalam 41 tahun untuk Jepang, di mana orang lebih terbiasa dengan harga yang bergerak mundur.
"Di negara di mana Anda belum memiliki pertumbuhan upah nominal selama 30 tahun, upah riil menurun cukup cepat sebagai akibat inflasi," kata Stefan Angrick, seorang ekonom senior yang berbasis di Tokyo di Moody's Analytics.
Jepang juga mencatat penurunan pendapatan terbesar pada Januari lalu, setelah memperhitungkan inflasi dalam hampir satu dekade.
Telah Menjadi Masalah Lama
Pada 2021, gaji tahunan rata-rata di Jepang adalah 39.711 dolar AS (600 juta rupiah)Â dibandingkan dengan 37.866 dolar AS (572 juta rupiah) pada 1991, menurut data dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Artinya, pekerja Jepang mendapat kenaikan gaji kurang dari 5 persen dibandingkan dengan kenaikan 34 persen di ekonomi Group of Seven atau G7 lainnya seperti Prancis dan Jerman selama periode yang sama.
Para ahli telah menunjukkan serangkaian alasan upah stagnan. Pertama, Jepang telah lama bergulat dengan kebalikan dari apa yang dihadapinya sekarang: harga rendah.
Deflasi dimulai pada pertengahan 1990-an karena mata uang Jepang yang kuat sehingga menekan biaya impor, serta pecahnya gelembung aset domestik.
"Selama 20 tahun terakhir, pada dasarnya, tidak ada perubahan dalam inflasi harga konsumen," ucap Müge Adalet McGowan, ekonom senior meja Jepang di OECD.
Hingga saat ini, kantong konsumen tidak akan merasa terpukul atau merasa perlu menuntut pembayaran yang lebih baik.
"Namun, ketika inflasi naik, orang cenderung mengeluh tentang kurangnya kenaikan," menurut prediksi Shintaro Yamaguchi selaku profesor ekonomi di Universitas Tokyo.
Advertisement
Pasar Kerja yang Berubah
Para ahli mengatakan upah Jepang juga menderita karena tertinggal dalam metrik lain, yakni tingkat produktivitasnya.
Pendapatan negara itu, jika diukur dengan berapa banyak pekerja menambah Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara per jam, lebih rendah dari rata-rata OECD, dan mungkin alasan terbesar untuk upah yang tetap, menurut Shintaro Yamaguchi.
"Umumnya, upah dan pertumbuhan produktivitas berjalan beriringan," kata Adalet McGowan.
"Ketika ada pertumbuhan produktivitas, perusahaan berkinerja lebih baik dan ketika mereka melakukannya dengan lebih baik, mereka dapat menawarkan upah yang lebih tinggi," tambah McGowan.
Ia juga mengatakan populasi yang menua di Jepang adalah masalah tambahan karena angkatan kerja yang lebih tua cenderung menyamakan produktivitas dan upah yang lebih rendah. Cara orang bekerja juga berubah.
Pada 2021, hampir 40 persen dari total tenaga kerja Jepang dipekerjakan paruh waktu atau jam kerja yang tidak teratur, naik dari sekitar 20 persen pada 1990.
"Seiring dengan naiknya porsi pekerja tidak tetap ini, tentu upah rata-rata juga tetap rendah, karena mereka berpenghasilan lebih rendah," ujar McGowan.
Budaya kerja Jepang yang unik juga berkontribusi pada stagnasi upah, menurut para ekonom.
Banyak orang bekerja dalam sistem "pekerjaan seumur hidup" tradisional, di mana perusahaan berusaha keras untuk mempertahankan pekerja dalam daftar gaji seumur hidup, kata Stefan Angrick.
"Mereka tidak ingin memecat orang. Jadi, mereka perlu memiliki penyangga itu agar dapat mempertahankan mereka dalam daftar gaji ketika krisis melanda," jelas Angrick.
Sistem pembayaran berbasis senioritasnya, di mana pekerja dibayar berdasarkan pangkat dan masa kerja mereka daripada kinerja, menurunkan insentif bagi orang untuk berganti pekerjaan, yang di negara lain umumnya membantu menaikkan upah.
Jesper Koll, seorang ahli strategi dan investor terkemuka Jepang, mengatakan hal senada.
"Masalah terbesar di pasar tenaga kerja Jepang adalah desakan keras kepala pada gaji berdasarkan senioritas," kata Koll.
"Jika gaji berbasis prestasi yang asli diperkenalkan, akan ada lebih banyak pergantian pekerjaan dan peningkatan karier," imbuhnya.
Tekanan pada Perusahaan-perusahaan
Pada awal 2023, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida telah memperingatkan hal ini dengan mengatakan Jepang berisiko jatuh ke stagflasi jika kenaikan upah terus berada di belakang kenaikan harga. Stagflasi mengacu pada periode inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan.
Menaikkan upah sebesar 3 persen atau lebih per tahun sudah menjadi tujuan utama pemerintahan Kishida. Sekarang, ia ingin melangkah lebih jauh dengan rencana untuk menciptakan sistem yang lebih formal.
Diminta perincian, juru bicara pemerintah mengatakan bahwa "langkah-langkah ekonomi komprehensif yang baru akan mencakup dukungan yang diperluas untuk kenaikan upah, terintegrasi dengan peningkatan produktivitas".
Pihak berwenang berencana untuk meluncurkan pedoman bagi perusahaan pada Juni nanti, kata perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan.
Sementara itu, kelompok buruh terbesar di Jepang, Konfederasi Serikat Buruh Jepang atau Rengo, kini menuntut kenaikan upah sebesar 5 persen dengan manajemen berbagai perusahaan.
Sebab, Rengo tidak ingin para pekerja mendapatkan "upah yang rendah dalam skala global," dan membutuhkan bantuan dengan kenaikan harga.
Beberapa perusahaan sudah bertindak. Fast Retailing (FRCOF), perusahaan di belakang Uniqlo dan Theory, mengumumkan bulan lalu akan meningkatkan gaji di Jepang hingga 40 persen, mengakui bahwa kompensasi "tetap rendah" di negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara inflasi adalah salah satu faktornya, perusahaan ingin menyelaraskan "dengan standar global, untuk dapat meningkatkan daya saing kami," kata juru bicara Fast Retailing.
Sudah lebih dari separuh perusahaan besar di Jepang berencana menaikkan gaji tahun ini.
Suntory, salah satu pembuat minuman terbesar di Jepang, mungkin salah satunya.
CEO Suntory Takeshi Niinami menimbang kenaikan 6 persen untuk tenaga kerja Jepang yang berjumlah sekitar 7.000 orang, menambahkan bahwa hal itu dapat dinegosiasikan dengan serikat pekerja.
Berita itu mungkin bisa mendorong bisnis lain untuk mengikutinya.
"Jika beberapa perusahaan terbesar di Jepang menaikkan upah, banyak perusahaan lain akan mengikuti," kata Yamaguchi.
Advertisement