Liputan6.com, Ankara - Lebih dari 20.000 orang sekarang dilaporkan telah meninggal dunia dalam insiden gempa Turki, Senin (6/2).
Tak hanya Turki, jumlah korban juga termasuk di Suriah. Tim penyelamat masih mencari korban selamat dari puing-puing, tetapi harapan memudar, setelah hampir 100 jam sejak gempa terjadi.
Kondisi dingin mengancam nyawa ribuan orang yang selamat yang kini tanpa tempat berlindung, air dan makanan.
Advertisement
Presiden Turki menyebut ini adalah insiden gempa besar abad ini, dikutip dari BBC, Jumat (10/2/2023).
Upaya dan bantuan internasional terus mengalir. Pada Kamis (9/2), Bank Dunia menjanjikan US$ 1,78 miliar bantuan ke Turki termasuk pembiayaan segera untuk membangun kembali infrastruktur dasar dan untuk mendukung mereka yang terkena dampak gempa bumi.
Namun upaya 100.000 atau lebih personel penyelamat di lapangan terhambat oleh sejumlah rintangan logistik termasuk kekurangan kendaraan dan jalan yang rusak.
Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan bencana itu masih "jelas di depan mata kita". Terutama di Suriah, medan perang saudara yang berkepanjangan dan telah menghancurkan negara itu.
Pada Kamis (9/2) bantuan kemanusiaan PBB pertama melintasi perbatasan ke barat laut Suriah melalui penyeberangan Bab al-Hawa di Idlib.
Penyeberangan adalah satu-satunya cara agar bantuan PBB dapat mencapai wilayah tersebut tanpa melalui wilayah yang dikendalikan oleh pasukan pemerintah Suriah.
Guterres berjanji, bantuan dalam jumlah lebih banyak sedang dalam perjalanan dan dia mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengizinkan pengiriman pasokan melalui lebih dari satu penyeberangan perbatasan.
"Ini adalah momen persatuan, bukan momen untuk mempolitisasi atau memecah belah tetapi yang jelas kita butuh dukungan masif," katanya.
Munira Mohammad, seorang ibu dari empat anak yang melarikan diri dari Aleppo setelah gempa, mengatakan kepada Reuters bahwa mereka sangat membutuhkan pemanas dan lebih banyak persediaan makanan.
"Tadi malam kami tidak bisa tidur karena sangat dingin. Sangat buruk."
Kelompok penyelamat White Helmets mengatakan, satu-satunya konvoi PBB yang mencapai wilayah itu tidak membawa peralatan khusus untuk membebaskan korban gempa Turki yang terperangkap di bawah reruntuhan.
Ribuan Orang Ingin Adopsi Bayi Perempuan Korban Gempa Turki 6 Februari 2023
Ribuan orang menawarkan diri untuk mengadopsi bayi perempuan yang berhasil diselamatkan dari reruntuhan di Kota Jindayris, Suriah barat laut, pasca gempa Turki 6 Februari 2023.
Saat diselamatkan, bayi Aya -yang berarti keajaiban dalam bahasa Arab- masih terhubung dengan tali pusar. Ibu, ayah, dan keempat saudara kandungnya meninggal akibat gempa.
Aya sekarang di rumah sakit.
"Dia tiba pada Senin (6/2) dalam keadaan yang sangat buruk, terdapat benjolan, memar, dia kedinginan dan hampir tidak bernapas," kata Hani Marouf, dokter anak yang merawatnya, seperti dikutip dari BBC, Kamis (10/2/2023).
Namun, Aya sekarang dalam kondisi stabil.
Video penyelamatan Aya viral di media sosial. Rekaman menunjukkan seorang pria berlari dari puing-puing, menggendong bayi yang tertutup debu.
Diperkirakan ada ribuan orang di media sosial yang meminta detail untuk mengadopsi Aya.
"Saya ingin mengadopsi dia dan memberinya kehidupan yang layak," kata seseorang.
Seorang penyiar TV Kuwait berkata, "Saya siap merawat dan mengadopsi anak ini... jika prosedur hukum mengizinkan saya."
Manajer rumah sakit tempat Aya dirawat, Khalid Attiah, mengatakan bahwa dia telah menerima puluhan telepon dari orang-orang di seluruh dunia yang ingin mengadopsi bayi perempuan tersebut.
Khalid merespons permintaan itu dengan mengatakan, "Saya tidak akan mengizinkan siapa pun untuk mengadopsinya sekarang. Sampai keluarga jauhnya kembali, saya memperlakukannya seperti keluarga saya sendiri."
Untuk saat ini, Aya disusui oleh istri Khalid. Pasangan suami istri itu juga memiliki seorang bayi, yang usianya empat bulan lebih tua dibanding Aya.
Advertisement
90 Persen Kota Jindayris Diperkirakan Hancur
Di kota asal Aya, Jindayris, orang-orang terus mencari orang-orang terkasih mereka di antara reruntuhan.
Seorang jurnalis di sana, Mohammed al-Adnan mengatakan kepada BBC, "Situasinya adalah bencana. Ada begitu banyak orang di bawah reruntuhan. Masih ada orang yang belum kami keluarkan."
Dia memperkirakan 90 persen kota hancur dan sebagian besar bantuan sejauh ini datang dari penduduk setempat.
Tim penyelamat dari kelompok White Helmets, yang terbiasa menarik orang keluar dari reruntuhan selama lebih dari satu dekade selama perang saudara Suriah, telah membantu di Jindayris.
"Penyelamat juga bisa menjadi korban karena bangunan tidak stabil," kata Mohammed al-Kamel. "Kami baru saja mengeluarkan tiga mayat dari puing-puing dan kami pikir ada keluarga di sana yang masih hidup - kami akan terus bekerja," katanya.