Liputan6.com, Istanbul - Pemerintahan Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan menangkap lebih dari 100 orang setelah runtuhnya banyak bangunan di Turki. Bangunan-bangunan itu runtuh usai gempa pada Senin 6 Februari 2023.
Banyak korban yang terjebak di reruntuhan bangunan, termasuk anak kecil yang jadi korban. Para regu penolong dari berbagai negara juga ikut mencari korban-korban yang tertimbun puing.
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan laporan Al Jazeera, Selasa (14/2/2023), total 113 orang telah ditangkap karena dituduh bertanggung jawab atas runtuhnya bangunan-bangunan tersebut. Penangkapan itu diumumkan oleh Wakil Presiden Fuat Oktay.
"Kami akan menelusuri ini dengan teliti hingga proses yudisial yang diperlukan mendapat kesimpulan, terutama bagi gedung-gedung yang menderita rusak parah dan gedung-gedung yang menyebabkan kematian dan luka," ujar Wapres Oktay.
Menteri Lingkungan Murat Kurum menyatakan sudah ada 17 ribu bangunan dan 24 ribu struktur yang runtuh atau hancur berat akibat gempa Turki.
Salah satu orang yang ditangkap adalah developer dari kompleks perumahan di Antakya. Gedung yang ia bangun merupakan residential complex yang memiliki 249 unit apartmen. Ia ditangkap sebelum terbang ke Montenegro, namun ia mengaku ingin ke luar negeri bukan terkait bangunan yang dikelolanya runtuh akibat gempa.
Siapa Salah?
Turki sebetulnya sudah punya produk hukum agar gedung-gedung dibangun dengan tahan gempa.
Berdasarkan laporan Phys.org, aturan itu diloloskan pada 2004 atas respons gempa besar tahun 1999. Akan tetapi, pakar menilai pelaksanaan aturan itu tidak berjalan lancar, terutama di daerah selatan yang notabene kawasan gempa yang terjadi bulan ini.
"Infrastruktur yang resisten sayangnya agak jarang-jarang di Turki Selatan, dan terutama di Suriah," ujar vulkanolog Carmen Solana dari Universitas Portsmouth.
Sementara, Al Jazeera melaporkan pihak oposisi Turki pun menyalahkan pemerintah Recep Tayyip Erdogan karena dianggap tidak menjalankan amanah dari aturan infrastruktur tersebut.
Presiden Suriah Bashar al-Assad Setuju Buka 2 Penyeberangan Baru untuk Pengiriman Bantuan Gempa
Presiden Bashar al-Assad setuju membuka dua titik penyeberangan baru dari Turki ke Suriah barat laut, yang dikuasai pemberontak, untuk mengirimkan bantuan dan peralatan yang dibutuhkan bagi korban gempa dahsyat 6 Februari 2023. Hal tersebut diumumkan PBB pada Senin (13/2/2023).
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyambut baik keputusan Presiden Assad membuka titik penyeberangan di Bab Al-Salam dan Al Raee untuk periode awal tiga bulan. Sebelumnya, PBB hanya diizinkan mengirimkan bantuan ke wilayah barat laut Idlib melalui satu penyeberangan di Bab Al-Hawa.
Pengumuman tersebut datang pasca pertemuan antara Assad dan Kepala Bantuan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths di Damaskus pada Senin pagi. Griffiths sendiri telah menghabiskan akhir pekan untuk melihat dampak gempa magnitudo 7,8, yang menghancurkan Turki selatan dan Suriah barat laut.
Duta Besar Suriah untuk PBB Bassam Sabbagh menjelaskan bahwa pertemuan Assad dan Griffiths berlangsung secara positif dan konstruktif. Dia menegaskan, pertemuan tersebut mengonfirmasi perlunya bantuan mendesak untuk memasuki semua wilayah di Suriah, termasuk yang berada di bawah kendali kelompok teroris bersenjata.
"Berdasarkan itu, Suriah mendukung masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut melalui semua titik lintas yang memungkinkan –dari dalam Suriah, atau melintasi perbatasan– untuk jangka waktu tiga bulan demi memastikan pengiriman bantuan kemanusiaan kepada warga kami di... Suriah barat laut," kata Sabbagh seperti dikutip dari AP, Selasa (14/2).
PBB telah berada di bawah tekanan kuat untuk mengirimkan lebih banyak bantuan dan alat berat ke Suriah barat laut, yang dikuasai pemberontak sejak gempa dahsyat terjadi seminggu lalu, di mana jumlah korban tewas meningkat dan peralatan untuk upaya pencarian dan penyelamatan tidak memadai.
The Washington yang mengutip kantor berita Suriah, SANA, melaporkan bahwa pada Senin, korban tewas di wilayah Suriah yang dikuasai pemerintah 1.414 orang. Sementara itu, di wilayah Suriah yang dikuasai pemberontak, angka kematian mencapai 3.160 orang.
Di Turki sendiri, terdapat 31.643 korban tewas. Dengan demikian, total korban tewas gempa Turki dan Suriah adalah 36.217 orang.
Advertisement
Komentar PBB
Juru bicara PBB Stephane Dujarric menggarisbawahi kesulitan operasi di Suriah, mengingat negara itu telah dilanda perang saudara selama 12 tahun.
Menjawab kritik bahwa PBB tidak merespons bencana gempa dengan cukup cepat di Suriah, dia mengatakan bahwa beberapa bantuan sudah menuju Suriah barat laut. Pernyataan Dujjaric merujuk ke 58 truk bantuan yang tiba melalui penyeberangan Bab Al-Hawa.
Namun, Dujjaric menekankan bahwa PBB tidak memiliki alat berat atau tim SAR.
"Jadi, masyarakat internasional secara keseluruhan perlu melangkah untuk memberikan bantuan itu ke tempat yang membutuhkan," ujarnya.
Sekjen Guterres dalam pernyataannya menyebutkan bahwa dengan meningkatnya angka kematian maka memberikan makanan, kesehatan, nutrisi, perlindungan, tempat berlindung, persediaan musim dingin dan persediaan penyelamat hidup lainnya kepada jutaan orang yang terdampak gempa dahsyat adalah hal yang sangat mendesak.
"Membuka titik-titik persimpangan ini –bersama dengan memfasilitasi akses kemanusiaan, mempercepat persetujuan visa, dan memudahkan perjalanan antar hub– akan memungkinkan lebih banyak bantuan masuk lebih cepat," tegas sekjen PBB.
Pada tahun 2014, Dewan Keamanan PBB mengesahkan empat penyeberangan perbatasan untuk mengirimkan bantuan ke Suriah barat laut, di antaranya dua dari Turki, satu dari Yordania, dan satu dari Irak.
Namun, pada Januari 2020, sekutu dekat Suriah, Rusia, menggunakan ancaman vetonya untuk mengurangi jumlah penyeberangan menjadi dua. Lalu pada Juli berikutnya, China dan Rusia menggunakan hak veto mereka untuk mengurangi jumlahnya menjadi hanya satu penyeberangan.
Tidak Boleh Dipolitisasi
Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas De Riviere menegaskan bahwa gempa adalah tragedi kemanusiaan yang tidak boleh dipolitisasi.
Dia mengatakan terdapat dua opsi, apakah pemerintah Suriah memberikan akses tambahan ke barat laut atau Dewan Keamanan akan mencoba mengadopsi resolusi yang mengizinkan titik penyeberangan tambahan ke wilayah tersebut.
Terkait pernyataan Dubes Riviere, Dubes Sabbagh menekankan bahwa resolusi Dewan Keamanan PBB tidak diperlukan menyusul persetujuan Presiden Assad.
"Itu adalah keputusan yang dibuat oleh pemimpin kami dan itu adalah kesepakatan antara Suriah dan PBB," tegasnya.
Ketika ditanya mengapa butuh waktu seminggu untuk mendapatkan persetujuan ini, Sabbagh menjawab, "Mengapa Anda bertanya kepada kami? Kami bukan orang yang mengendalikan perbatasan tersebut."
Dia menegaskan kembali bahwa pemerintah Suriah sejak hari pertama gempa terjadi telah mengatakan siap membantu pekerja kemanusiaan untuk menjangkau semua warga Suriah tanpa diskriminasi.
Adapun menurut jubir PBB Dujarric bahwa PBB telah berusaha mengirim konvoi ke barat laut melintasi garis konflik di Suriah, tetapi masih berusaha mendapatkan lampu hijau dari semua pihak. Konvoi tersebut dilaporkan diblokir oleh Hayat Tahrir al-Sham, kelompok pemberontak yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda yang menguasai bagian barat laut.
Advertisement