Liputan6.com, Palestina - Tepat 29 tahun yang lalu, tanggal 25 Februari 1994, telah terjadi tragedi bersejarah. Seorang pemukim Yahudi membunuh hingga 30 warga Palestina di sebuah masjid di Hebron.
Ia membunuh dengan melepaskan tembakan ketika orang-orang berkumpul untuk salat Jumat pagi (25/2).
Baca Juga
Dokter kelahiran AS, Baruch Goldstein, yang berusia 38, menerobos masuk ke masjid di Gua Machpela dan menembakkan hingga 100 peluru ke arah jamaah, menurut laporan TV pemerintah.
Advertisement
Saksi mata mengatakan, Goldstein menghujani orang-orang dengan senapan jenis galil otomatisnya dan AK47 Soviet buatan Israel. Penembakan itu berlangsung setidaknya 10 menit, menurut para saksi.
Masjid itu dipenuhi oleh 800 jamaah untuk salat di bulan Ramadan. Goldstein, yang mengenakan seragam tentara, ditemukan tewas di masjid setelah penembakan berhenti.
Awalnya, polisi percaya bahwa Goldstein telah menembak dirinya sendiri tetapi dalam pernyataan selanjutnya mereka mengatakan dia dipukuli sampai mati dengan jeruji besi.
Pemimpin PLO Yasser Arafat mengatakan dalam sebuah wawancara di TV, "Apa yang telah terjadi hari ini di masjid adalah tragedi yang nyata dan akan menjadi bumerang yang sangat negatif pada seluruh proses perdamaian".
Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin menelepon Arafat, dan menggambarkan serangan itu sebagai tindakan kriminal pembunuhan yang menjijikkan, dan ia juga berjanji untuk mengambil setiap tindakan yang mungkin untuk mewujudkan ketenangan.
Rabin mengatakan, Israel akan meluncurkan penyelidikan atas pembunuhan tersebut.Â
Penjaga masjid Mohammad Suleiman Abu Saleh mengatakan, dia mengira Goldstein berusaha membunuh orang sebanyak mungkin dan menggambarkan bagaimana ada mayat dan darah di mana-mana. "Lantai masjid penuh dengan jenazah dan darah", ucap Mohammad Sulaiman Abu Saleh
Ada laporan yang belum dikonfirmasi bahwa Goldstein memiliki kaki tangan di dalam masjid.
Mereka yang terluka dibawa ke Rumah Sakit Aghli di Hebron barat, di mana ribuan orang berkumpul untuk mendengar kabar dari kerabat dan teman yang berada di masjid pada saat serangan itu.
Â
Granat Tangan di Gunakan untuk Serangan
Pelaku dilaporkan telah membunuh 12 warga Palestina saat kerusuhan pecah di luar rumah sakit saat perasaan memuncak setelah penembakan.
Dr Daoud Obeidi, direktur Rumah Sakit Aghli, mengatakan dari luka pecahan peluru yang diderita beberapa jemaah, tampaknya granat tangan digunakan dalam serangan itu.
Tiga jam setelah serangan yang terjadi sekitar subuh itu, petugas rumah sakit masih belum bisa memastikan berapa banyak korban tewas dan luka-luka.
Organisasi Pembebasan Palestina telah menuntut agar Israel melucuti semua 120.000 pemukim Yahudi di wilayah pendudukan dan agar PBB bertindak untuk melindungi warga Palestina.Â
Siapakah Goldstein ?
Antara 30 dan 54 warga Palestina diyakini tewas dalam serangan senjata oleh Baruch Goldstein di Hebron. Penyelidikan resmi kemudian memutuskan bahwa Goldstein bekerja sendiri dan tidak memiliki kaki tangan.
Goldstein telah tinggal di Israel selama 11 tahun dan menjadi dokter di pemukiman Yahudi Kiryat Arba, tepat di luar Hebron. Sebagai dokter darurat utama pemukiman, dia terlibat dalam merawat korban kekerasan Arab Israel.
Dilaporkan bahwa kebenciannya menjadi begitu kuat sehingga akhirnya dia menolak untuk merawat orang Palestina. Goldstein pernah menjadi anggota Liga Pertahanan Yahudi, sebuah organisasi kekerasan yang didirikan oleh Rabbi Meir Kahane.
Beberapa pemukim memperlakukan Goldstein sebagai orang suci, mendirikan tempat suci untuknya yang dipindahkan secara paksa oleh Pemerintah Israel pada tahun 1999.
Goldstein bukanlah orang Amerika pertama di balik serangan terhadap warga Palestina di wilayah yang dikuasai Israel. Pada tahun 1982, Alan Goodman melakukan penembakan di luar masjid suci Al Aqsa di Yerusalem, menewaskan dua orang.
Advertisement
Sejarah Lain di Tanggal 25 Februari
Di tanggal yang sama pada 25 Februari, juga telah terjadi sebuah tragedi ledakan di berazil pada tahun 1984. Ledakan ini diakibatkan oleh ledakan pipa gas yang menewaskan 508 orang.
Investigasi terhadap insiden tersebut kemudian mengungkapkan bahwa penghitungan kematian yang sebenarnya tidak mungkin diketahui, mengingat begitu banyak mayat telah dikremasi dalam kobaran api yang hebat.
pipa gas yang dikendalikan Petrobas beroperasi di sebelah permukiman kumuh. Ketika para pekerja membuka pipa yang salah pada hari sebelumnya, gas oktan yang sangat mudah terbakar mengalir ke parit Vila Soco.
Saat tengah malam, kobaran api menyebar dan meluap di saat bensin dari pipa yang pecah dinyalakan, memicu badai yang begitu hebat hingga melemparkan gubuk-gubuk kayu yang ada di sekitar begitu tinggi ke udara dan menyapu daerah.
Sehari setelah insiden ledakan, hanya sekitar 86 mayat yang ditemukan setelah api menyapu Sao Jose, daerah kumuh yang dibangun dengan kayu di atas rawa pantai.
Menurut laporan dari surat kabar yang ditulis oleh dua jaksa penuntut umum Marco Ribeiro dan Jose Passos, gas beroktan tinggi yang melenyapkan kota kumuh terbakar lebih tinggi dari 982 derajat Celcius, yang cukup panas untuk membakar tulang dan gigi.
Â
Perkiraan Angka Kematian
Penyelidik sampai di angka kematian dengan memperkirakan jumlah gubuk di pusat badai berdasarkan jumlah koneksi listrik yang legal. Perhitungan jumlah anak-anak dan orang dewasa yang tewas didasarkan pada kepadatan populasi, tingkat kelahiran, dan pendaftaran sekolah.
Menurut laporan surat kabar, mengatakan perkiraan konservatif dari jumlah kematian adalah 508, tetapi sangat mungkin bahwa jumlahnya jauh lebih tinggi, mungkin lebih dari 700.
Mereka memperkirakan setidaknya 300 anak di bawah usia tiga tahun tewas dalam insiden itu. "Ada lebih dari 300 anak, berusia 3 hingga 6 tahun, terdaftar di sekolah komunitas setempat, semua termasuk penduduk di daerah kumuh ini," kata pihak berwenang.
Mereka memperkirakan setidaknya 300 anak di bawah usia tiga tahun tewas dalam insiden itu. "Ada lebih dari 300 anak, berusia 3 hingga 6 tahun, terdaftar di sekolah komunitas setempat, semua termasuk penduduk di daerah kumuh ini," kata pihak berwenang.
Petugas medis Affonso Figueiredo melaporkan, "Karena seluruh keluarga tewas, tidak ada yang bisa melaporkan kematian atau hilangnya anak-anak mereka."
Berdasarkan hasil penyelidikan, hanya 60 dari sekian banyak orang yang telah diidentifikasi secara positif masih hidup. Laporan itu mengatakan perkiraan optimis bahwa setengah dari anak-anak yang hilang, kini tinggal bersama kerabatnya yang masih hidup.
Advertisement
25 Februari 1964: Momen Perdana Muhammad Ali Raih Juara Dunia Tinju Kelas Berat
25 Februari 1964, tepat 59 tahun lalu, menjadi hari bersejarah dalam karier Muhammad Ali. Petinju kelahiran Amerika Serikat ini meraih gelar juara dunia kelas berat, setelah berhasil menumbangkan Sonny Liston.
Muhammad Ali --yang ketika itu masih menggunakan nama lahirnya sebagai Cassius Clay-- memukul habis Liston hingga membuat lawannya tersebut nyaris tak berdaya di arena tinju Miami, pada ronde keenam. Liston pada akhirnya menyatakan menyerah di ronde ketujuh.
Sebelum pertandingan dimulai, Clay alias Ali sempat didenda sebesar 900 pound sterling (Rp 16,5 miliar) karena dianggap melakukan perbuatan kurang pantas, yakni dengan meneriakkan ancaman ke Liston. "Saya akan mengacak-ngacak. Anda gelandangan dan saya akan memakanmu. Seseorang akan mati di pinggir ring malam ini," seru Ali. Â
Para jurnalis olahraga sebelumnya mengira bahwa Ali bukanlah lawan sepadan bagi Liston yang selama ini menjadi juara bertahan. Para pengamat juga memprediksi kuat bahwa Liston akan kembali meraih gelar juara ketiganya.
Namun kenyataannya berbeda. Muhammad Ali tampil lebih cemerlang. Liston pada akhirnya tak berkutik di hadapan Ali.
Memang awalnya Liston tampak lebih unggul dengan membuat Ali terpental ke pinggir ring. Tapi di ronde ketiga, Clay alias Ali membalikkan keadaaan. Mata kiri Liston penuh darah setelah ditinju Ali.
Ali mengatakan, kemenangannya atas dirinya sendiri membuktikan bahwa ia pantas dan telah memenuhi syarat untuk menjadi juara dunia. Karena adanya dugaan kecurangan, pertandingan Clay versus Liston diulang setahun kemudian, di Maine, dan Ali kembali menang.
Tak lama setelah pertandingan ulang tersebut, Clay memutuskan untuk pindah kepercayaan. Ia menjadi seorang muslim. Namanya pun berganti, dari yang semula Cassius Clay, menjadi Muhammad Ali.
Kariernya ke depan semakin gemilang, dengan 56 kali kemenangan dan 37 kali membuat lawan KO. Dalam setiap aksinya, menurut para penggemar, saat beraksi Ali bagaikan mengambang seperti kupu-kupu dan menyengat seperti lebah.