Sukses

Warga Negaranya Divonis Hukuman Mati, Jerman Usir 2 Diplomat Iran

Iran mengklaim bahwa Sharmahd adalah pemimpin sayap bersenjata kelompok yang mendukung kembalinya monarki yang digulingkan dalam Revolusi Islam 1979.

Liputan6.com, Berlin - Jerman pada Rabu (22/2/2023), mengumumkan pengusiran dua diplomat Iran. Langkah tersebut merupakan reaksi atas hukuman mati yang dijatuhkan Iran terhadap salah seorang warganya.

Pihak berwenang di Iran pada Selasa (21/2) mengumumkan bahwa Jamshid Sharmahd (67), warga negara Iran-Jerman dan penduduk Amerika Serikat (AS), dijatuhi hukuman mati setelah dinyatakan bersalah atas kegiatan teroris.

Iran mengklaim bahwa Sharmahd adalah pemimpin sayap bersenjata kelompok yang mendukung kembalinya monarki yang digulingkan dalam Revolusi Islam 1979. Di lain sisi, keluarga Sharmahd mengatakan, dia hanyalah juru bicara kelompok oposisi dan menyangkal dia terlibat dalam serangan apapun.

Pihak keluarga menyebut bahwa intelijen Iran menculik Sharmahd dari Dubai pada tahun 2020.

Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock mengatakan, dia memanggil kuasa usaha Iran di Berlin dan memberitahunya, "Kami tidak akan menerima pelanggaran besar-besaran atas hak warga negara Jerman ini."

"Akibatnya, pemerintah Jerman telah menyatakan dua anggota Kedutaan Besar Iran sebagai orang yang tidak diinginkan dan meminta mereka untuk meninggalkan Jerman dalam waktu singkat," katanya seperti dikutip dari AP, Rabu.

"Kami menuntut agar Iran mencabut hukuman mati terhadap Jamshid Sharmahd dan memungkinkan dia untuk mengajukan banding yang adil dan sejalan dengan aturan hukum."

2 dari 2 halaman

Tidak Menjalani Pengadilan yang Adil

Jerman mengatakan bahwa Sharmahd, yang tinggal di Glendora, California, tidak menjalani pengadilan yang adil sejak awal dan tidak mendapat akses konsuler.

Baerbock juga mengatakan Sharmahd ditangkap "dalam keadaan yang sangat dipertanyakan", namun dia tidak menjelaskan lebih lanjut.

Situs resmi peradilan Iran mengatakan Sharmahd dihukum karena merencanakan kegiatan teroris. Dia diadili di Pengadilan Revolusi, di mana persidangan diadakan secara tertutup.

Kelompok pengawas hak asasi manusia mengatakan, para terdakwa yang menjalani proses di pengadilan semacam itu tidak dapat memilih pengacara mereka atau melihat bukti yang memberatkan mereka.