Liputan6.com, Hatfield - Dalam upaya untuk mengatasi perubahan iklim, para petani Inggris mencoba mengembangbiakkan domba penghasil metana rendah.
Domba melepaskan metana saat bersendawa dan buang gas atau kentut. Dalam kurun waktu 20 tahun lebih, zat ini 80 kali lipat lebih kuat daripada karbon dioksida dalam hal memerangkap panas di atmosfer.
Terperangkapnya panas di dalam atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global.
Advertisement
Mengutip situs Euronews, Sabtu (4/3/2023), demi menurunkan emisi dan menghentikan pemanasan global, petani Inggris akhirnya beralih ke rekayasa genetika.
Berdasarkan keberhasilan uji coba di Selandia Baru, para petani Hertfordshire, Inggris, akan secara selektif membiakkan domba untuk menciptakan kawanan dengan metana rendah.
Menurut Rob Hodgkins, peternak domba Inggris, proyek ini akan membantu membangun masa depan di bidang pertanian.
“Proyek ini bagus karena menunjukkan bagaimana produsen ternak dapat menjadi bagian dari solusi untuk memproduksi makanan secara berkelanjutan daripada menjadi masalah,” ucap Hodgkins.
“Jelas, itu bukan jawaban keseluruhan,” menurut Hodgkins, meski perubahan yang dibawa tidak besar, tetapi di masa depan ia yakin ini akan menjadi salah satu solusi besar untuk menurunkan emisi.
Seperti apa dampak domba atau hewan ternak bagi lingkungan?
Untuk diketahui, hewan ternak ini umumnya mengeluarkan gas metana.
Seperempat pemanasan global disebabkan oleh zat tersebut, artinya domba secara langsung menjadi salah satu penyebab pemanasan global.
Di Uni Eropa, sektor agrikultur bertanggung jawab atas 53 persen emisi metana. Penyumbang besar emisi lainnya adalah industri bahan bakar fosil.
Tingginya gas metana yang dihasilkan membuat domba dan hewan ternak lainnya menjadi salah satu sumber makanan sekaligus sumber pemicu meningkatnya pemanasan global.
Domba Penghasil Metana Rendah Bisa Menjadi Solusi Berkelanjutan
Pada COP26, konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting tercatat oleh PBB, lebih dari 100 negara menandatangani perjanjian global untuk mengurangi emisi metana sebesar 30 persen pada tahun 2030.
Domba yang dimodifikasi secara genetik bisa menjadi salah satu solusi untuk permasalahan lingkungan ini.
Diperkirakan bahwa jumlah metana yang dihasilkan domba bisa menjadi sifat yang diwariskan, seperti warna bulu, ukuran, dan lainnya.
Hal ini berarti domba dengan metana rendah berpotensi untuk dikembangbiakkan.
Otoritas pertanian di Selandia Baru telah membiakkan domba beremisi rendah dan tinggi sejak 2008.
Mereka memperkirakan bahwa kawanan beremisi rendah mengeluarkan metana 16 persen lebih sedikit.
“Tidak ada bukti bahwa ciri-ciri produksi penting, seperti tingkat pertumbuhan, produksi wol, dan ketahanan terhadap penyakit, tidak ada perbedaan signifikan pada domba beremisi rendah,” klaim badan pertanian negara tersebut.
Pada tahun 2019, informasi pembiakan tersedia untuk beberapa peternak domba jantan di negara tersebut.
Kawanan domba dalam uji coba Inggris secara genetik rupanya berhubungan dengan beberapa pasokan domba dari Selandia Baru yang dibiakkan untuk emisi rendah tahun ini, menunjukkan bahwa cara ini bisa sukses.
Advertisement
Cara Lain Untuk Mengatasi Perubahan Iklim Selain Domba Beremisi Rendah
Pada pelaksanaan proyek ini, nantinya pakar pertanian yang akan mengukur kadar metana domba dalam ruang akumulasi portabel (PAC).
Pakar akan mengumpulkan gas yang dipancarkan selama satu jam, memecah gas berdasarkan jenis dan menganalisisnya.
Pembiakan kawanan domba "pembawa misi lingkungan" ini memang lebih sulit dan rumit, tetapi melihat bagaimana kondisi iklim dan Bumi saat ini, diperlukan cara yang mampu dan terbukti dapat menjadi solusi atas perubahan iklim dan pemanasan global.
Tentunya, pembiakan domba emisi rendah bukan satu-satunya cara negara mengatasi emisi pertanian.
Selandia Baru, yang memiliki sapi dua kali lebih banyak dan domba lima kali lebih banyak daripada manusia, telah mengusulkan untuk mengenakan pajak atas gas rumah kaca yang dihasilkan hewan ternak, mengharuskan petani membayar retribusi atas hewan masing-masing.
Cara yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat awam adalah mengonsumsi pola makan nabati untuk mengurangi metana, karena sapi dan domba merupakan hewan penghasil gas emisi terbesar.
Mengonsumsi sumber protein alternatif seperti daging imitasi atau vegetarian juga dapat membantu mengurangi masalah ini.
Berdasarkan perjanjian COP26, diharapkan tiap negara nantinya akan mengembangkan solusinya masing-masing untuk bersama mengatasi perubahan iklim.
AS, Uni Eropa hingga Indonesia Teken Perjanjian Pangkas Emisi Gas Metana di KTT COP26
Selain Inggris, negara lainnya pun ikut memutar otak untuk melaksanakan perjanjian sesuai COP26, yang memiliki tujuan utama mengatasi permasalahan lingkungan.
Ajang KTT iklim COP26 telah digelar. Indonesia termasuk salah satu peserta gelaran tersebut.
Lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia, menyetujui kerangka kerja yang dibuat dalam KTT iklim COP26 di Glasgow pada 2 November 2021, yang bertujuan untuk mengurangi emisi metana global sebesar 30% sebelum akhir dekade ini.
Kerangka kerja yang disebut Global Methane Pledge atau "Ikrar Metana Global", dipelopori oleh pemerintahan Presiden AS Joe Biden dan Uni Eropa.
"Salah satu hal terpenting yang dapat kita lakukan dalam dekade yang menentukan ini - untuk menjaga tujuan 1,5 derajat - mengurangi emisi metana kita secepat mungkin," kata Biden dalam pidatonya. "Ini adalah salah satu gas rumah kaca paling kuat yang pernah ada."
Ketua Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen mengatakan perjanjian itu akan "segera memperlambat perubahan iklim."
Lebih lanjut, Von der Leyen mengatakan bahwa sekitar 30% pemanasan global sejak revolusi industri disebabkan oleh metana, demikian dikutip dari DW Indonesia, Kamis (4/11/2021).
"Saat ini emisi metana global tumbuh lebih cepat daripada kapan pun di masa lalu," ujarnya seraya menambahkan bahwa mengurangi metana adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi pemanasan jangka pendek dan menjaga tujuan pemanasan 1,5 derajat Celsius Perjanjian Iklim Paris tetap hidup.
Brasil, penghasil metana utama, adalah salah satu penandatangan perjanjian tersebut. Namun, tiga negara lain seperti China, Rusia, dan India, yang juga merupakan penghasil metana utama, tidak menandatangani ikrar tersebut.
Advertisement