Liputan6.com, Jakarta - Utusan Khusus Presiden AS untuk Urusan Iklim, John Kerry, membahas isu laut dan hutan yang merupakan bagian dari fokus program lingkungan pemerintahan Joe Biden.
AS bertekad melindungi setidaknya 30 persen bagian laut pada 2030. Kerry juga membahas peran AS dalam Our Ocean Conference di Palau pada 2022. Kerry berkata acara di Palau menghasilkan lebih dari 400 komitmen hingga senilai US$16 miliar.
Advertisement
Baca Juga
Konferensi selanjutnya akan digelar di Yunani dan Korea Selatan.
Terkait isu lautan, Assistant Secretary of State for Oceans and International Environmental and Scientific Affairs Monica Medina menjelaskan masalah perubahan iklim kepada ikan-ikan di laut.
Medina berkata dampak perubahan iklim ini sangat besar ke laut.
"Saya pikir kita memahami bahwa dampak besar yang diberikan iklim, yang perubahan iklim yang berikan ke lautan kita. Dampak negatifnya kita melihat distribusi perikanan berubah, dan kami memperhatikan ancaman-ancaman yang lebih besar lagi ke lautan, seperti sampah plastik," ujar Medina dalam telekonferensi pada Jumat (3/4/2023).
Ia pun berkata masih perlu banyak eksplorasi kepada laut.
"Saya pikir ada begitu banyak eksplorasi dan sains yang harus dilakukan. Kita lebih mengenal Bulan ketimbang samudra dalam di Bumi," ucapnya.
Selain itu, ia menyorot komitmen AS untuk melawan deforestasi di berbagai belahan dunia. AS pun menyiapkan Amazon Funds untuk membantu pemulihan hutan Amazon, tetapi John Kerry berkata AS ingin melawan deforestasi di berbagai negara.
"Kami ingin mengakhiri deforetasi tak hanya di Brazil, tetapi juga di bagian-bagian lain di dunia, di Cekungan Kongo, hutan Indonesia, di hutan Amerika Tengah. Kita semua punya tanggung jawab, termasuk di rumah di Amerika Serikat," ujar John Kerry.
Â
Jokowi: Hal Paling Ditakuti Dunia saat Ini Adalah Perubahan Iklim
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, hal paling membuat dunia takut bukan lagi soal perang dan pandemi Covid-19. Melainkan perubahan iklim yang menyebabkan frekuensi bencana alam meningkat.
"Perubahan iklim menyebabkan frekuensi bencana alam naik drastis dan Indonesia menempati tiga teratas paling rawan bencana," kata Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Jokowi merinci, frekuensi kebencanaan di Indonesia meningkat dalam rentang tahun 2010 ke 2022 tercatat peningkatan sebesar 81 persen. Diketahui pada 2010 terjadi 1.945 bencana dan pada tahun 2022 terjadi sebanyak 3.544 bencana.
"Kita ini tidak hanya urusan banjir, tidak hanya gunung berapi yang meletus, tanah longsor tapi yang lebih sering gempa bumi dan bencana alam dan non alam yang kita hadapi," wanti Jokowi.
Jokowi meminta, kesiapsiagaan badan penanggulangan bencana baik di tingkat nasional dan daerah bisa lebih siap lagi. Khususnya pada tahap pra bencana yang juga harus dikelola dengan baik.
"Saya lihat kita ini masih sering sibuk di tahap tanggap darurat pas terjadi bencana, padahal tahap pra bencana itu jauh lebih penting, bagaimana memberi edukasi dan pelatihan memberi langkah antisipasi untuk meminimalisir korban maupun kerugian," jelas presiden.
Jokowi memastikan, baik BNPB dan BPBD ke depan harus tanggap dengan bisa memberi peringatan dini yang belakangan masih sering terlambat. Kemudian, lakukan latihan bersama masyarakat bagaimana mitigasi bencana saat hal itu terjadi.
"Skenario disiapkan saat jadi gunung berapi larinya kemana, gempa terjadi larinya kemana, ini yang secara detail kita abai, lupa bahwa prabencana lebih penting, sehingga masyarakat tahu kemana kan lari dan berlindung," Jokowi memungkasi.
Advertisement
Perubahan Iklim, BMKG Prediksi Salju Abadi Puncak Gunung Jaya Wijaya Akan Hilang
Lapisan salju abadi yang ada di Puncak Jaya Wijaya Gunung Cartenz Papua terancam hilang setelah luasannya mengalami penyusutan yang signifikan.
Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim yang ekstrem akibat pemanasan global yang terjadi di dunia beberapa tahun terakhir. Sehingga, tumpukan salju abadi terus mengalami penyusutan.
Dirangkum dari berbagai sumber, keberadaan salju abadi yang ada di puncak gunung Jaya Wijaya ini diprediksi akan hilang dalam kurun waktu 5-6 tahun mendatang.
Peneliti BMKG memantau kondisi salju abadi di puncak gunung wilayah Papua. Hasil dari penelitian tersebut hasilnya mengejutkan, bahwa usia es tersebut tak akan lama lagi.
Diperkirakan sekitar 5-6 tahun salju abadi akan punah dari gunung Papua, setiap tahunnya luas es yang menyusut diperkirakan 10 kali lipat luas lapangan sepak bola Amerika.
Tidak hanya terpengaruh dari elnino dan lanina di Indonesia, kondisi tersebut diperparah oleh tingginya 0 derajat pada atmosfer sehingga pembentukan hujan salju pembentuk es semakin sulit terjadi.
Fungsi dari lapisan es abadi di Indonesia yaitu sama dengan yang di kutub utara, yakni sebagai penyeimbang dan termometer bumi serta dapat menjadi reflektor matahari.
Sementara itu, lapisan es juga dapat menyimpan dan pelumpuh bakteri, virus penyebab penyakit berbahaya. Penyusutan tersebut terdeteksi mulai tahun 2010, peneliti dari BMKG melakukan pemasangan guna memantau keberadaan salju abadi.
Dari hasil perhitungan yang dilakukan, akibat pemanasan global yang terjadi tumpukan salju abadi berkurang sekitar 23,3 meter. Diprediksi, tahun 2026 mendatang Indonesia akan kehilangan salju abadi yang hanya bisa dijumpai di puncak gunung Jaya Wijaya.
Indonesia Rentan Terdampak Perubahan Iklim, KKP Jalankan Mitigasi
Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terdampak perubahan iklim. Risiko yang dihadapi Indonesia dari perubahan iklim ini sangat nyata dan harus mitigasi dengan serius.Â
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor Gustaaf Manoppo menyampaikan, dampak perubahan iklim sudah terlihat di Indonesia. terjadi tren kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional sekitar 4,3 persen per tahun.Â
Selain itu tren kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat celcius per tahun dan kenaikan permukaan laut 0,8 hingga 1,2 c per tahun. Sementara sekitar 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir.
Dia menjelaskan risiko yang ditimbulkan dari perubahan iklim tersebut antara lain, kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan, kerusakan ekosistem lautan, penurunan kualitas kesehatan dan kelangkaan pangan.
"Jika hal tersebut tidak di mitigasi, maka yang terjadi adalah perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen hingga 3,45 persen dari total produk domestik bruto (PDB) pada 2030," ujar Victor dalam workshop strategi blue carbon Indonesia untuk pencapaian target nationally determined contribution (NDC) dan implementasi nilai ekonomi karbon (NEK), Jakarta Selasa, (24/1/2023).
KKP memegang dua mandat dalam pengendalian perubahan iklim. Pertama sebagai penanggung jawab isu ocean dan climate Indonesia untuk konvensi iklim. Kedua sebagai pelaksana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di sektor keluatan.
"Sebagai target ke depan KKP akan memasukan sektor karbon biru ke sektor kelautan di dalam dokumen NDC kedua di 2023 dan implementasi nilai ekonomi karbon untuk karbon biru khususnya lamun," jelasnya.
Advertisement