Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim kini menjadi isu kolektif internasional karena dampaknya yang berkepanjangan. Selain berdampak pada suhu bumi, hal ini juga berdampak pada meningkatnya permukaan laut.
Dilansir oleh Liputan6.com dari CNN, Rabu (8/3/2023), permukaan laut telah naik karena meningkatnya suhu lautan dan banyaknya pencairan es di kutub yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan iklim.
Menurut sebuah studi baru yang menggabungkan dampak perubahan iklim dengan fluktuasi alami lautan, sejumlah bagian dari kota-kota terbesar di Asia dapat tenggelam pada tahun 2100 bila hal ini tetap berkelanjutan.
Advertisement
Studi baru itu berasal dari jurnal Nature Climate Change yang menerbitkan sebuah laporan, menyediakan pembelajaran baru dan peringatan keras tentang seberapa buruk dampaknya perubahan iklim bagi jutaan orang.
Sejumlah kota besar di garis pantai Asia sudah menghadapi risiko banjir, dan studi tersebut menunjukkan bahwa analisis sebelumnya meremehkan tingkat kenaikan permukaan laut dan banjir berikutnya yang akan disebabkan oleh fluktuasi alami laut.
Fluktuasi alami memiliki tingkat variabilitas yang tinggi, sehingga dampaknya sulit untuk diperkirakan. Tetapi studi tersebut menunjukkan bahwa dengan kemungkinan dampak maksimum dari fluktuasi alam dikombinasikan dengan konsekuensi yang diperkirakan dari perubahan iklim, beberapa kota besar di Asia Tenggara akan menjadi titik terparah dari kenaikan permukaan laut yang tinggi.
Salah satunya di ibu kota Filipina, Manila, penelitian memprediksi bahwa peristiwa banjir pesisir di abad mendatang akan terjadi 18 kali lebih sering daripada sebelumnya, semata-mata karena perubahan iklim. Apabila fluktuasi permukaan laut yang terjadi secara alami masuk dalam faktor prediksi, frekuensi banjir pesisir akan meningkat hingga 96 kali lebih sering daripada sebelumnya.
Urgensi Mengatasi Banjir
Lourdes Tibig, penasihat ilmu iklim dari Institute for Climate and Sustainable Cities di Filipina, mengatakan bahwa temuan studi tersebut menggarisbawahi urgensi mengatasi perubahan iklim.
“Dunia perlu bertindak menghadapi perubahan iklim dengan urgensi dan ambisi yang jauh lebih besar untuk melindungi jutaan orang yang tinggal di kota-kota besar pesisir kita,” kata Tibig.
Manila, tempat tinggal bagi lebih dari 13 juta orang, tidak hanya mengalami masalah banjir ini sendirian. Studi yang dilakukan oleh para ilmuwan di scientists at the French National Center for Scientific Research (CNRS), University of La Rochelle di Prancis, dan National Center for Atmospheric Research di Amerika Serikat (NCAR), menemukan bahwa ibu kota Thailand, Kota Ho Chi Minh City dan Yangon di Vietnam, dan Myanmar juga sangat berisiko. Bersama dengan Chennai dan Kolkata di India, beberapa pulau Pasifik tropis barat, dan Samudra Hindia bagian barat.
Jika tidak diatasi dengan cepat, ini akan berpengaruh kepada banyak sekali orang. Dari seluruh kota besar Asia saja terdapat lebih dari 50 juta orang yang akan terpengaruh. Sementara hampir 30 juta orang di antaranya dari India.
Bangkok (ibu kota Thailand) adalah rumah bagi setidaknya 11 juta orang, Kota Ho Chi Minh (ibu kota Vietnam) lebih dari 9 juta, dan Yangon (ibu kota Myanmar) sekitar 5,6 juta.
Selain itu kenaikan permukaan laut di sepanjang pantai barat Amerika Serikat dan Australia juga akan meningkat, lapor studi tersebut.
Advertisement
Peningkatan Suhu Air Laut
Menurut rilis berita NCAR, studi tersebut menemukan bahwa peristiwa yang terjadi secara alami seperti El Niño, sebuah fenomena cuaca yang diketahui mempengaruhi sebagian besar Pasifik Barat, Australia, dan Asia menjadi lebih hangat dari biasanya, dapat meningkatkan antisipasi kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim sebanyak 20-30%. Hal ini juga meningkatkan risiko banjir ekstrem.
Dalam setahun terakhir, perubahan iklim telah memicu banjir ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya di kawasan Asia-Pasifik.
Sebuah analisis oleh Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa menggambarkan tahun 2022 sebagai “tahun iklim ekstrem” dengan adanya banjir yang memakan korban jiwa di Pakistan dan banjir yang meluas di Australia.
Saat ini, suhu lautan mencapai suhu tertinggi sepanjang masa dan diperkirakan akan terus meningkat. Menurut sebuah laporan bulan Januari dari National Oceanic and Atmospheric Administration, mencatat bahwa suhu lautan tersebut melampaui rekor sebelumnya yang ditetapkan pada tahun 2021.
Empat tahun terakhir telah menjadi empat tahun terhangat yang pernah tercatat untuk lautan di planet ini.
“Dan sayangnya, kami memperkirakan bahwa tahun 2023 akan lebih hangat daripada tahun 2022,” kata Gavin Schmidt, seorang ilmuwan iklim di NASA, pada bulan Januari.
Pentingnya Kebijakan Umum
Perubahan permukaan laut yang dirinci dalam laporan tersebut kemungkinan tidak akan berlaku hingga akhir abad ke-21. Namun, jika laju emisi gas rumah kaca meningkat, ancaman akan semakin dekat, penulis memperingatkan.
Ilmuwan NCAR Aixue Hu, salah satu penulis studi tersebut, mengatakan bahwa pembuat kebijakan dan masyarakat umum harus peduli dengan potensi ancaman ini.
“Dari perspektif kebijakan, kita harus bersiap menghadapi yang terburuk,” kata Hu.
Untuk pemerintah Indonesia sendiri, mereka berkomitmen untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN Nusantara). Salah satu alasan utamanya, karena adanya kenaikan permukaan air laut dan permukaan tanah yang terus menurun, menyebabkan Jakarta semakin berisiko terkena bencana banjir dan berpotensi tenggelam.
Kendati begitu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono memastikan pemerintah pusat tidak akan begitu saja menelantarkan Jakarta, ketika ibu kota negara berpindah ke Ibu Kota Nusantara.
Untuk membaca mengenai ibu kota Jakarta, klik di sini.
Advertisement