Liputan6.com, Pyongyang - Kekhawatiran kekurangan pangan di Korea Utara semakin meningkat, dengan berbagai sumber mengatakan kalau kemungkinan besar ada kematian akibat kelaparan pekan ini.
Dilansir Liputan6.com dari CNN, Kamis (9/3/2023), beberapa ahli mengatakan Korea Utara telah mencapai titik terburuk sejak fenomena kelaparan tahun 1990-an yang dikenal sebagai Arduous March atau Maret yang Sulit. Fenomena itu menyebabkan kelaparan massal dan menewaskan ratusan ribu orang, atau diperkirakan 3-5% dari populasi yang saat itu berjumlah 20 juta orang.
"Pasokan makanan kini telah menurun di bawah jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum manusia,” menurut Lucas Rengifo-Keller, seorang analis riset di Peterson Institute for Ekonomi internasional.
Advertisement
Bahkan jika makanan didistribusikan secara merata, Rengifo Keller mengatakan bahwa “Anda akan mengalami kematian terkait kelaparan.”
Pejabat Korea Selatan setuju dengan penilaian itu, dengan Seoul baru-baru ini mengumumkan bahwa kematian akibat kelaparan terjadi di beberapa daerah di negara itu. Meskipun tidak banyak bukti kuat yang dapat mendukung klaim tersebut karena isolasi negara, hanya sedikit ahli yang meragukan penilaiannya.
Bahkan sebelum pandemi COVID-19, hampir setengah dari populasi Korea Utara kekurangan gizi, berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.
Tiga tahun perbatasan tertutup dan isolasi hanya dapat memperburuk keadaan.
Untuk menyikapi isu ini, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, mengadakan pertemuan Partai Buruh selama empat hari untuk membahas pembenahan sektor pertanian negara itu. Menaikkan urgensi "transformasi fundamental" dalam pertanian dan rencana ekonomi negara, dan juga kebutuhan untuk memperkuat kontrol negara terhadap pertanian.
Isolasi Menjadi Akar Masalah Kekurangan Pangan
Tetapi berbagai ahli mengatakan bahwa Pyongyang merupakan penyebab sendiri dari masalah tersebut. Selama pandemi, Pyongyang meningkatkan tingkat isolasinya, membangun barisan pagar kedua sepanjang 300 kilometer di perbatasannya dengan China dan membatasi perdagangan lintas batas di antaranya.
"Ada perintah menembak di depan mata (di perbatasan) yang diberlakukan pada Agustus 2020 … blokade pada perjalanan dan perdagangan, termasuk perdagangan resmi yang sangat terbatas," kata Lina Yoon, seorang peneliti senior di Human Rights Watch.
Dan dalam satu tahun terakhir telah menghabiskan sumber daya yang berharga untuk melakukan sejumlah tes rudal.
Selama tahun 2022, Tiongkok secara resmi mengekspor hampir 56 juta kilogram gandum dan 53.280 kg sereal dalam bentuk biji-bijian ke Korea Utara, berdasarkan data bea cukai Tiongkok.
Kebijakan Pyongyang telah mempersulit perdagangan yang tidak resmi, yang menurut Yoon adalah “salah satu sumber utama pasar Korea Utara yang menjadi tempat orang Korea biasa berbelanja.”
Bahkan kasus penyelundupan produk China ke dalam negara dan penyuapan penjaga perbatasan hampir tidak ada lagi semenjak perbatasan ditutup.
Berbagai ahli mengatakan akar masalahnya adalah pengaturan ekonomi yang kurang benar, dan keadaan akan lebih parah apabila upaya Kim dilanjutkan.
"Perbatasan Korea Utara perlu dibuka dan mereka perlu memulai kembali perdagangan dan mereka perlu membawa produk ini untuk meningkatkan pertanian dan mereka membutuhkan makanan untuk memberi makan orang-orang. Tapi saat ini mereka mengutamakan isolasi, mereka mengutamakan represi," kata Yoon.
Advertisement
Korea Utara Menolak untuk Dibantu
Tetapi seperti apa yang dikatakan Rengifo-Keller sebelumnya, Kim tidak ada ketertarikan untuk membiarkan perdagangan yang tidak resmi berkembang kembali, karena rezim tidak menginginkan kelas wirausaha besar yang dapat mengancam kekuatannya.
Lalu ada tes rudal yang tetap menjadi obsesi Kim, dan juga penolakannya yang terus-menerus atas tawaran bantuan dari tetangganya.
Citra kuat dalam ideologi negara Korea Utara yang komunis, membuat Kim tidak ingin menerima bantuan.
Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Park Jin, mengatakan kepada CNN dalam sebuah wawancara minggu lalu bahwa "satu-satunya cara Korea Utara dapat keluar dari masalah ini adalah kembali ke meja dialog dan menerima tawaran bantuan kami, dan membuat pilihan yang lebih baik untuk masa depan."
Kementerian Unifikasi Seoul memperjelas bahwa Pyongyang akan terus fokus pada program rudal dan nuklirnya, daripada memberi makan rakyatnya sendiri.
Biaya Rudal yang Dihabiskan Dapat Mengatasi Masalah Pangan
Bulan lalu, wakil juru bicara Kementerian Unifikasi Lee Hyo-jung mengatakan, "Menurut lembaga penelitian lokal dan internasional, jika Korea Utara menggunakan biaya rudal yang diluncurkannya tahun lalu untuk persediaan makanan, itu akan cukup untuk membeli lebih dari satu juta ton makanan, diyakini lebih dari cukup untuk menutupi kekurangan pangan tahunan Korea Utara.”
Menurut Badan Pembangunan Pedesaan Seoul, produksi pangan Korea Utara tahun lalu itu 4% lebih rendah dari tahun sebelumnya, akibat banjir dan cuaca buruk.
Rengifo-Keller khawatir puncak dari efek ini ditambah dengan "pendekatan rezim yang salah terhadap kebijakan ekonomi" dapat berdampak buruk pada populasi yang saat ini sudah menderita.
"Ini adalah populasi yang kekurangan gizi kronis selama beberapa dekade, tingkat stunting yang tinggi menunjukkan situasi yang terus memburuk, jadi tidak sulit untuk mendorong negara menuju isu kelaparan."
Advertisement