Liputan6.com, Kuala Lumpur - Mantan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin pada Jumat (10/3/2023) didakwa dengan penyalahgunaan kekuasaan dan pencucian uang (money laundering).
Dakwaan tersebut diumumkan sehari setelah Muhyiddin diinterogasi Komisi Anti Korupsi Malaysia (MACC) atas dugaan penyalahgunaan dana stimulus COVID-19.
Baca Juga
Muhyiddin dituduh menerima 232,5 juta ringgit atau sekitar Rp796 miliar dari partai politiknya, Partai Pribumi Bersatu Malaysia (Bersatu). Dia juga didakwa dengan dua tuduhan pencucian uang sebesar 195 juta ringgit atau sekitar Rp667,8 miliar. Demikian seperti dilansir Channel News Asia.
Advertisement
Pria berusia 76 tahun itu mengaku tidak bersalah.
Tuduhan penyalahgunaan kekuasaan membawa hukuman hingga 20 tahun penjara dan denda tidak kurang dari lima kali nilai gratifikasi yang terlibat atau 10.000 ringgit (sekitar Rp34 juta) tergantung mana yang lebih tinggi. Sementara itu, tuduhan pencucian uang membawa hukuman hingga 15 tahun penjara dan denda tidak kurang dari lima kali nilai hasil transfer ilegal atau 5 juta ringgit (sekitar Rp17 miliar), tergantung mana yang lebih tinggi.
Di bawah empat tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, Muhyiddin dituduh menggunakan posisinya sebagai perdana menteri dan presiden Bersatu saat itu untuk mendapatkan 232,5 juta ringgit dari tiga perusahaan dan seorang individu, antara 1 Maret 2020 hingga 20 Agustus 2021.
Adapun di bawah dua dakwaan money laundering, Muhyiddin dituduh menerima total 195 juta ringgit hasil dari aktivitas ilegal Bukhary Equity Sdn Bhd yang disetorkan ke rekening Bersatu. Pelanggaran tersebut diduga dilakukan antara 25 Februari 2021 dan 8 Juli 2022.
Muhyiddin Bebas Setelah Membayar Jaminan Rp6,8 Miliar
Muhyiddin yang datang ke pengadilan di Kuala Lumpur dengan didampingi oleh keluarga dan pendukungnya bebas setelah membayar jaminan sebesar 2 juta ringgit atau sekitar Rp6,8 miliar serta menyerahkan paspornya ke pengadilan. Dia sempat ditahan oleh Komisi Anti Korupsi Malaysia pada Kamis setelah diinterogasi terkait program Jana Wibawa.
Program tersebut diperkenalkan pada November 2020, saat Muhyiddin menjabat sebagai perdana menteri, sebagai paket stimulus COVID-19 untuk membantu para kontraktor Bumiputera.
MACC telah menyelidiki tuduhan bahwa kontraktor terpilih untuk program bantuan telah menyetor 300 juta ringgit atau sekitar Rp1 triliun lebih ke rekening Partai Bersatu. Dua anggota Bersatu juga terseret proses hukum akibat kasus Jana Wibawa.
Beberapa rekening bank milik Bersatu saat ini telah dibekukan oleh MACC.
Bulan lalu, Menteri Perdagangan dan Industri Internasional Malaysia Tengku Zafrul Tengku Abdul Aziz dipanggil oleh MACC untuk membantu penyelidikan program Jana Wibawa.
Seruan untuk penyelidikan resmi atas pengeluaran stimulus tumbuh karena persepsi bahwa kampanye Perikatan Nasional didanai dengan baik menjelang Pemilu ke-15 pada 19 November 2022.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang berkuasa pada November, telah memerintahkan peninjauan proyek-proyek pemerintah senilai miliaran dolar yang disetujui oleh Muhyiddin, termasuk program bantuan COVID-19, dengan tuduhan tidak mengikuti prosedur yang tepat.
Pada Kamis malam, Muhyiddin menggambarkan tuduhan itu sebagai balas dendam politik. Dia mengatakan dia tidak bersalah dan akan menjawab semua tuduhan di pengadilan.
Muhyiddin adalah perdana menteri kedelapan Malaysia, yang menjabat dari Maret 2020 hingga Agustus 2021. Dia menduduki posisi teratas dalam pemerintahan setelah manuver politik yang dikenal sebagai "Pergerakan Sheraton" pada Februari 2020, yang membuat Bersatu meninggalkan koalisi Pakatan Harapan.
Advertisement