Sukses

AUKUS Resmi Dukung Kapal Selam Nuklir Australia, Bisa ke Perairan Kontroversial Laut China Selatan?

AUKUS dukung kapal selam nuklir Australia. Mungkinkah bisa ke Laut China Selatan?

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengumumkan update terbaru mengenai pakta AUKUS (Australia, Inggris, Amerika Serikat). Terkini, Presiden Biden resmi mendukung kapasitas kapal selam nuklir Australia. 

Kapal selam itu ditegaskan bukan bersenjata nuklir, melainkan bertenaga nuklir. 

"Kapal selam-kapal selam ini bertenaga, bukan bersenjatakan nuklir. Mereka bertenaga nuklir, bukan bersenjata nuklir," ujar Presiden Biden dalam keterangannya dikutip situs resmi White House, Selasa (14/3/2023).

Pengumuman itu dibuat di Point Loma Naval Base, California, ketika Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese berkunjung ke AS. 

"Australia adalah negara yang bangga tanpa senjata nuklir dan telah berkomitmen untuk tetap demikian. Kapal-kapal ini tidak akan memiliki senjata nuklir apa pun," tegas Joe Biden.

Ke Laut China Selatan?

Asisten Menlu Amerika Serikat Urusan Asia Timur dan Pasifik, Daniel Kritenbrink, menjelaskan bahwa komitmen AUKUS adalah untuk menjaga stabilitas di kawasan. 

Ketika ditanya apakah kapal selam bertenaga nuklir itu bisa pergi ke perairan kontroversial, seperti Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Selat Taiwan, Kritenbrink tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi. Ia berkata itu adalah keputusan Australia. 

"Saya pikir saya tidak ingin berspekulasi tepatnya ke mana kapal selam itu bisa atau tidak bisa beroperasi. Biar jelas, ketika Australia memiliki kapal selamnya sendiri, Australia akan membuat keputusan berdualat ke mana kapal selamnya akan pergi," ujar Daniel Kritenbrink dalam konferensi pers virtual, Selasa pagi (14/3/2023) waktu Jakarta.

Ia mengakui ada "pergeseran dinamika global" yang terjadi, serta ada tantangan dari China, Korea Utara, dan Rusia. Namun, ia kembali menegaskan bahwa fokus AUKUS adalah stabilitas, termasuk dengan China. 

"Kami fokus pada melanjutkan kontribusi kepada perdamaian dan stabilitas yang telah menguntungkan semua negara di seantero kawasan ini selama puluhan tahun, dan termasuk RRC (China) juga. Itu akan menjadi fokus kami ketimbang terlalu fokus pada detail seperti di mana kapal selamnya dapat atau tidak dapat beroperasi," ujarnya.

2 dari 4 halaman

Xi Jinping Jadi Presiden 3 Periode di China

Beralih ke China, Presiden Xi Jinping menekankan perlunya menentang pengaruh pro-kemerdekaan di Taiwan. Hal tersebut diungkapkannya saat menutup Kongres Rakyat Nasional (NPC), yang memilihnya kembali sebagai presiden China untuk masa jabatan ketiga.

Dalam pidatonya pada Senin (13/3), yang menguraikan prioritasnya untuk China, Xi Jinping menggambarkan perlunya reunifikasi nasional.

"Kita harus secara aktif menentang kekuatan eksternal dan aktivitas separatis kemerdekaan Taiwan. Kita harus dengan teguh memajukan penyebab peremajaan dan reunifikasi nasional," kata Xi Jinping yang kemudian disambut tepuk tangan meriah, seperti dilansir The Guardian.

Xi Jinping, yang sebelumnya tidak menyampingkan penggunaan kekuatan terhadap Taiwan, menggarisbawahi perlunya mempromosikan pembangunan damai hubungan lintas-selat.

Partai Komunis China tidak pernah memerintah Taiwan, tetapi menganggapnya sebagai provinsi pemberontak yang harus "bersatu kembali" dengan daratan, sekalipun dengan kekerasan.

Xi Jinping disebut semakin memprioritaskan klaim China atas Taiwan, menjadikannya sebagai keharusan sejarah di tengah meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat (AS).

3 dari 4 halaman

Militer dan Ekonomi

Pada pidato pertamanya pasca terpilih kembali untuk masa jabatan ketiga, Xi Jinping turut menggarisbawahi perlunya memperkuat militer, menjadikannya "tembok baja besar" untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan nasional China. Dia juga menyerukan kemandirian ekonomi yang lebih besar dan kebutuhan untuk mengoordinasikan pembangunan dan keamanan.

"Keamanan adalah fondasi untuk pembangunan. Stabilitas adalah fondasi untuk kemakmuran," ujarnya.

Kongres Rakyat Nasional pada Sabtu (11/3), memilih Li Qiang, sekutu lama Xi Jinping sebagai perdana menteri. Itu merupakan posisi terkuat kedua di Partai Komunis China.

Li Qiang, yang merupakan mantan pemimpin Partai Komunis di Shanghai, menggantikan Li Keqiang yang mengundurkan diri setelah menjalani dua masa jabatan.

Dengan posisi barunya, Li Qiang ditugasi untuk membangun kembali ekonomi China pasca hantaman pandemi COVID-19.

"Pengusaha dan bisnis di China akan diberi ruang dan banyak peluang untuk berkembang dalam lingkungan berbasis aturan dan budaya yang saling menghormati," tutur Li Qiang dalam konferensi pers pertamanya sebagai PM China.

Li Qiang juga mengkritik AS, menggemakan pidato Xi Jinping minggu lalu, di mana dia mengutuk "penindasan terhadap China" yang dipimpin AS.

"China dan AS harus bekerja sama. Ketika China dan AS bekerja sama, ada banyak hal yang dapat kita capai," kata Li, menambahkan, "Blokade dan penindasan tidak menguntungkan siapa pun."

4 dari 4 halaman

Wajah Baru Pemerintah China

Hanya sedikit perubahan dibanding yang diperkirakan selama Kongres Rakyat Nasional berlangsung, di mana sebagian besar menteri masih mempertahankan jabatan mereka.

Xi Jinping disebut melanggar konvensi dengan mempertahankan Yi Gang sebagai Gubernur Bank Sentral China dan Liu Kun sebagai menteri keuangan. Keduanya telah mencapai atau melewati usia pensiun resmi, yakni 65 tahun.

"Ini mungkin merupakan pengakuan diam-diam atas sejumlah tantangan yang dihadapi Beijing saat ini," terang Direktur China di Economist Intelligence Corporate Network Mattie Bekink. "Tantangan nyata bagi masa jabatan ketiga Xi Jinping adalah apakah mampu mengatasi ketidakseimbangan struktural dalam ekonomi China dan melakukan reformasi yang diperlukan untuk memastikan daya saing jangka panjang China."

China telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 2023 sekitar 5 persen, naik dari 3 persen dari tahun lalu, yang merupakan salah satu kinerja terlemahnya dalam beberapa dekade.