Liputan6.com, Jakarta - Hanya ada 13 negara dan wilayah di dunia yang memilliki udara dengan kualitas baik di tahun 2022.
Menurut laporan, di tahun 2022 tingkat polusi udara melonjak ke tingkat yang mengkhawatirkan.
Mengutip dari CNN, Rabu (15/3/2023), laporan oleh IQAir, sebuah perusahaan yang melacak kualitas udara di seluruh dunia, menemukan bahwa rata-rata polusi udara tahunan di sekitar 90% negara dan wilayah yang dianalisis melebihi pedoman kualitas udara yang ditetapkan WHO.
Advertisement
Pedoman oleh WHO tersebut dirancang untuk membantu pemerintah menyusun peraturan untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Baca Juga
Selain itu, IQAir juga menemukan bahwa dari 131 negara dan wilayah yang dianalisis kualitas udaranya, hanya ada enam negara yaitu Australia, Estonia, Finland, Grenada, Iceland, dan New Zealand, dan tujuh wilayah di Pasifik dan Karibia termasuk di antaranya Guam dan Puerto Rico yang memiliki udara bersih.
Hanya ke-13 negara dan wilayah tersebut yang diketahui memenuhi pedoman kualitas udara WHO, yang berarti rata-rata polusi udaranya hanya 5 mikrogram per meter kubik atau kurang.
Tujuh negara yaitu Chad, Irak, Pakistan, Bahrain, Bangladesh, Burkina Faso, Kuwait dan India memiliki kualitas udara buruk yang jauh melebihi pedoman WHO dengan rata-rata polusi udara lebih dari 50 mikrogram per meter kubik.
Chad, negara dengan kualitas udara terburuk, memiliki tingkat polusi udara 18 kali lipat lebih tinggi dari batas keamanan pedoman WHO.
Polusi Udara Tingkatkan Resiko Gangguan Pernapasan
Studi oleh IQAir tersebut dilakukan dengan mengamati secara khusus partikel halus, atau PM2.5, yang merupakan polutan terkecil, tetapi juga paling berbahaya.
Saat dihirup, PM2.5 bergerak jauh ke dalam jaringan paru-paru di mana ia dapat memasuki aliran darah. Polutan ini berasal dari sumber-sumber seperti pembakaran bahan bakar fosil, badai debu dan kebakaran hutan.
Partikel halus PM2.5 telah dikaitkan dengan sejumlah masalah kesehatan termasuk asma, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan lainnya.
WHO memperketat pedoman polusi udara tahunannya pada September 2021, memotong jumlah partikel halus yang dapat diterima dari 10 menjadi 5 mikrogram per meter kubik.
Jutaan orang meninggal setiap tahun karena masalah kesehatan akibat polusi udara. Menurut WHO, pada tahun 2016, didapati sekitar 4,2 juta kematian dini yang disebabkan oleh partikel halus.
Jika pedoman terbaru telah diterapkan saat itu, WHO menemukan kemungkinan berkurangnya jumlah kematian akibat polusi hingga 3,3 juta.
Advertisement
Ketidaksetaraan Pemantauan Kualitas Udara
Laporan IQAir ini juga menyoroti ketidaksetaraan yang mengkhawatirkan: kurangnya stasiun pemantauan di negara-negara berkembang seperti di Afrika, Amerika Selatan, dan Timur Tengah, yang menyebabkan kelangkaan data kualitas udara di wilayah tersebut.
Meskipun Afrika memperlihatkan peningkatan dibandingkan dengan tahun 2021, sebagian besar wilayah dari benua tersebut masih kurang terwakili. Menurut IQAir, hanya 19 dari 54 negara Afrika yang memiliki cukup data dari stasiun pemantauan mereka.
Glory Dolphin Hammes, CEO IQAir Amerika Utara, mengakui bahwa setiap kali mereka memasukkan negara kurang diperhatikan ke dalam daftar penelitian, negara tersebut dipastikan menduduki peringkat teratas dalam daftar negara paling tercemar.
“Afrika seharusnya menjadi benua paling tercemar di planet ini, tetapi kami tidak memiliki cukup data,” kata Hammes kepada CNN.
Ia mengatakan bahwa diperlukan data yang lebih banyak untuk benar-benar menentukan negara dan kota paling tercemar di dunia.
Salah satu hambatan terbesar menurutnya saat ini adalah cara pemerintah memantau kualitas udara. Hammes mengatakan, sebagian besar pemerintah cenderung berinvestasi pada instrumen yang gagal mengukur secara akurat partikel halus di udara.
Bahan Bakar Fosil dan Kebakaran Hutan Sebabkan Peningkatan Polusi Udara
Peneliti seluruh dunia mengatakan bahwa sumber utama polusi udara tahun 2022 adalah kebakaran hutan dan pembakaran bahan bakar fosil untuk transportasi dan produksi energi.
“Ini tentang hubungan tidak sehat dengan bahan bakar fosil,” kata Hammes. “Kita masih bergantung pada bahan bakar fosil dan bahan bakar fosil bertanggung jawab atas sebagian besar polusi udara yang kita temui di planet ini.”
China, negara yang selama beberapa tahun ini menduduki daftar negara paling tercemar, menunjukkan peningkatan kualitas udara sejak 2022.
Namun, IQAir mencatat bahwa meskipun ada peningkatan, tidak ada kota di China yang benar-benar memenuhi pedoman tahunan WHO.
Menurut Hammes, kebakaran hutan yang dipicu oleh perubahan iklim juga berperan penting dalam memperburuk kualitas udara, terutama di AS.
Laporan tersebut mencatat bahwa kebakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir telah dengan cepat menghapus perbaikan kualitas udara yang telah dilakukan AS selama dekade terakhir.
Hammes mengatakan bahwa negara-negara dengan kualitas udara buruk harus mempelajari bagaimana cara negara dengan situasi sebaliknya mengatasi permasalahan polusi udara.
Ia menambahkan, penting juga untuk memperluas jaringan pemantauan kualitas udara, terutama di daerah yang kurang pinggiran.
Advertisement