Liputan6.com, Moskow - Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, proposal perdamaian yang diajukan China dapat digunakan sebagai dasar untuk mengakhiri perang Ukraina.
"Banyak poin dalam rencana perdamaian China dapat diambil sebagai dasar penyelesaian konflik Ukraina, kapanpun Barat dan Kyiv siap untuk itu," ungkap Putin dalam konferensi pers bersama dengan Xi Jinping di Moskow pada Selasa (22/3/2023), seperti dilansir BBC, Rabu (22/3).
Baca Juga
"Tapi Rusia belum melihat kesiapan itu."
Advertisement
Sementara itu, Xi Jinping mengatakan bahwa pemerintahannya mendukung perdamaian dan dialog serta berada di "sisi kanan sejarah". Xi Jinping menegaskan pula bahwa China tidak memihak dalam perang Ukraina.
Proposal perdamaian yang diajukan China untuk mengakhiri perang Ukraina terdiri dari 12 poin, antara lain:
- Menghormati kedaulatan semua negara.
- Meninggalkan mentalitas Perang Dingin.
- Menghentikan permusuhan.
- Melanjutkan pembicaraan damai.
- Menyelesaikan krisis kemanusiaan.
- Melindungi warga sipil dan tawanan perang (tawanan perang).
- Menjaga keamanan pembangkit listrik tenaga nuklir.
- Mengurangi risiko strategis.
- Memfasilitasi ekspor biji-bijian.
- Menghentikan sanksi sepihak.
- Menjaga industri dan rantai pasokan tetap stabil.
- Mempromosikan rekonstruksi pasca-konflik.
Namun, dari 12 poin di atas tidak satupun secara eksplisit meminta Rusia angkat kaki dari wilayah Ukraina, di mana itu merupakan syarat utama yang ditetapkan Kyiv untuk dialog apapun.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan pada Senin (21/3), menyerukan gencatan senjata sebelum Rusia mundur akan secara efektif mendukung ratifikasi penaklukan Rusia.
NATO: Belum Ada Bukti China Kirim Senjata Mematikan ke Rusia
Di Brussel, Sekjen NATO Jens Stoltenberg mengatakan, aliansinya belum melihat bukti apapun bahwa China mengirimkan senjata mematikan ke Rusia.
Namun, dia menambahkan ada tanda-tanda bahwa Rusia telah meminta senjata dan permintaan itu sedang dipertimbangkan di Beijing.
Pernyataan bersama yang dikeluarkan China dan Rusia pasca pertemuan Putin dan Xi Jinping menyebutkan bahwa kemitraan erat antara kedua negara bukan merupakan aliansi politik-militer.
"Hubungan ini tidak bersifat blok, tidak bersifat konfrontatif, dan tidak ditujukan terhadap negara ketiga," ungkap pernyataan itu.
Kunjungan Xi Jinping ke Rusia disusul oleh lawatan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida ke Ukraina. Presiden Volodymyr Zelensky kemudian mengatakan bahwa dia akan bergabung dengan KTT G7 di Jepang pada Mei.
Dalam konferensi pers pada Selasa sore, Zelensky juga mengatakan bahwa dia telah meminta China untuk terlibat dalam pembicaraan.
"Kami menawarkan China untuk menjadi mitra dalam implementasi formula perdamaian," ujarnya. "Kami mengundang Anda untuk berdialog, kami menunggu jawaban Anda."
Advertisement
Isu Bilateral Rusia-China
Selain isu Ukraina, Putin dan Xi Jinping juga membahas soal pertumbuhan perdagangan, energi, dan hubungan politik Rusia-China dalam pertemuan pada Selasa.
"China adalah mitra dagang luar negeri utama Rusia," kata Putin, yang kemudian berjanji untuk melampaui angka perdagangan tahun lalu.
Sebelumnya, Xi Jinping menyebut China dan Rusia sebagai tetangga berkekuatan besar dan mitra strategis yang komprehensif.
Menurut media pemerintah Rusia, sejumlah hal lainnya yang dicapai dalam pertemuan Putin dan Xi Jinping antara lain:
- Penandatanganan dua dokumen bersama. Satu merinci rencana kerja sama ekonomi dan lainnya rencana untuk memperdalam kemitraan Rusia-China.
- Kesepakatan tentang pipa yang direncanakan di Siberia untuk mengirimkan gas Rusia ke China melalui Mongolia.
- Setuju bahwa perang nuklir tidak boleh dilancarkan.
- Membahas keprihatinan mereka pada pakta AUKUS - perjanjian pertahanan antara Australia, Inggris, dan AS.
- Menyatakan keprihatinan atas kehadiran NATO yang semakin meningkat di Asia, terutama terkait militer dan keamanan.