Liputan6.com, Beijing - Salah satu kota terbesar dan terluas yang juga terkenal dengan kepadatan populasinya, Beijing, ibu kota China, akhirnya mengalami krisis demografis.Â
Sejak tahun lalu untuk pertama kalinya dalam 19 tahun, populasi masyarakat di Beijing mengalami penurunan.
Melansir dari CNN, Kamis (23/3/2023), saat ini diketahui ibu kota China tersebut sedang bergulat dengan krisis demografis yang sedang berlangsung selama beberapa dekade ke belakang.
Advertisement
Populasi penduduk tetap Beijing diketahui menurun dari sebesar 21,88 juta pada tahun 2021 menjadi sebesar 21,84 juta pada tahun 2022, ini berarti penurunan populasi mencapai 84.000.
Sebelumnya, Beijing merupakan kota yang ramai oleh migran, masyarakat pedesaan banyak yang datang ke kota untuk bekerja.
Namun, jumlah migran di Beijing yang datang dari pedesaan ternyata juga menurun pada tahun 2022.Â
Terakhir kali Beijing memperlihatkan lebih banyak angka kematian daripada angka kelahiran adalah pada tahun 2003, ketika wabah sindrom pernafasan parah (SARS) yang fatal muncul di Cina selatan dan akhirnya menginfeksi lebih dari 8.000 orang di seluruh dunia.
Data resmi menunjukkan bahwa penurunan populasi tahun lalu justru relatif kecil dengan tingkat pertumbuhan alami populasi turun menjadi minus 0,05 per seribu penduduk.
Namun, ini menunjukkan terdapatnya masalah yang lebih besar pada negara tersebut.
Populasi China secara menyeluruh menurun tahun lalu untuk pertama kalinya sejak masalah kelaparan melanda negara tersebut pada tahun 1961.
Faktor Penyebab Menurunnya Angka Kelahiran
Terdapat kombinasi faktor yang menjadi penyebab penurunan tersebut:
- Konsekuensi luas dari kebijakan satu anak di China yang diperkenalkan pada tahun 1980-an (tetapi sudah ditinggalkan).
- Perubahan sikap terhadap ide pernikahan dan keluarga di kalangan pemuda Tionghoa.
- Ketidaksetaraan gender yang mengakar.
- Tantangan membesarkan anak-anak di kota-kota mahal China.
Ketidaksetaraan gender yang mengakar dan berdampak pada ketidakadilan pembagian pekerjaan rumah tangga membuat perempuan-perempuan berpendidikan dan mandiri di China semakin menyangsikan pilihan menikah dan berkeluarga.
Masalah tersebut jelas memperburuk kondisi krisis demografis di China.
Faktor-faktor yang disebutkan di ataslah yang menjadi penyebab angka kelahiran China yang terus menurun dari tahun ke tahun.
Di saat angka kelahiran menurun, angka kematian justru meningkat karena populasi lansia di negara itu menjadi membengkak.
Selain itu, penyusutan tenaga kerja juga memicu kekhawatiran tentang penurunan ekonomi, yang akan menimbulkan masalah potensial bagi seluruh dunia.
Seperti yang diketahui, China memegang peran kunci sebagai ekonomi global terbesar kedua, sehingga kondisi ekonomi negara tersebut tentu akan mempengaruhi negara lain.
Advertisement
Upaya yang Dilakukan Pemerintah China
Beijing bukan satu-satunya yang mengalami penurunan populasi.Â
Provinsi timur laut Liaoning bahkan mengalami kematian dua kali lipat lebih banyak daripada kelahiran pada tahun lalu, populasinya turun 324.000 menurut otoritas provinsi.
Pemerintah bukannya tidak melakukan upaya apa pun, hanya saja sejauh ini belum ada yang berhasil membalikkan kondisi tersebut.
Pihak berwenang meluncurkan rencana multi-lembaga tahun lalu untuk memperkuat cuti melahirkan dan menawarkan pengurangan pajak dan fasilitas lainnya untuk keluarga.
Selain itu, beberapa kota telah menawarkan cuti paternitas yang lebih lama, meningkatkan layanan penitipan anak, dan bahkan menawarkan bantuan tunai untuk keluarga yang memiliki anak ketiga.
Menurut media pemerintah, Weifang, sebuah kota di provinsi Shandong tengah, menawarkan pendidikan sekolah menengah umum gratis untuk anak ketiga keluarga.
Tak hanya itu, pada bulan Januari, provinsi barat daya Sichuan mengumumkan akan mencabut larangan memiliki anak sebelum menikah dan memberikan orang tua tunggal akses ke tunjangan yang sebelumnya disediakan untuk pasangan yang sudah menikah.
Cukup banyak kebijakan baru yang sengaja dikeluarkan untuk mendorong angka kelahiran di China.
Namun, banyak aktivis, perempuan, dan kritikus lainnya mengatakan bahwa hal itu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah struktural yang mengakar.
Tekanan untuk memiliki anak justru membuat muak banyak anak muda di China, bukannya meyakinkan mereka, belum lagi pandemi membuat mereka semakin frustasi.
Menurut banyak warga China, pemerintah hanya memberi para anak muda sedikit keamanan materi dan emosional untuk membesarkan anak, mereka menilai bahwa itu masih belum cukup.
Populasi di China Dikhawatirkan Bisa Berkurang Hingga Setengahnya dalam 45 Tahun ke Depan
Sebuah studi baru telah memperingatkan bahwa populasi di China menurun mungkin jauh lebih cepat dari yang diharapkan, dengan jumlah orang di negara itu berkurang setengahnya dalam 45 tahun ke depan.
Dilansir dari laman South China Morning Post, Jumat (1/10/2021), proyeksi tersebut didasarkan pada angka kelahiran resmi 1,3 anak per wanita tahun lalu – jauh di bawah angka 2 yang dibutuhkan untuk menjaga angka tersebut tetap stabil – dan memperkirakan penurunan yang jauh lebih dramatis dari perkiraan sebelumnya.Â
Populasi warga China saat ini lebih dari 1,4 miliar dan pada tahun 2019 PBB memproyeksikan bahwa China masih akan memiliki sekitar 1,3 miliar orang pada tahun 2065.
Perkiraan lain diterbitkan di Lancet oleh peneliti dengan University of Washington tahun lalu menyarankan populasi China akan berkurang setengahnya pada tahun 2100.
Tetapi penelitian baru, dari Profesor Jiang Quanbao dan rekan-rekannya dengan institut studi kependudukan dan pembangunan di Universitas Xian Jiaotong, memperingatkan bahwa penurunan populasi negara itu mungkin sangat diremehkan. Proyeksi PBB, misalnya, didasarkan pada asumsi bahwa tingkat kesuburan China akan tetap di atas 1,7 anak per wanita.Â
China memiliki 12 juta bayi baru lahir tahun lalu, 25 persen lebih rendah dari perkiraan PBB.
Advertisement