Liputan6.com, Manchester - Sudah sejak lama dipercaya bahwa bangsa Mesir kuno melakukan mumifikasi untuk mengawetkan tubuh setelah kematian. Namun, sebuah pameran museum di Manchester menunjukkan justru hal itu tak pernah terjadi.
Sebaliknya, teknik penguburan yang sebenarnya adalah cara untuk membimbing almarhum menuju keilahian.
Para peneliti dari Universitas Manchester di Inggris menyoroti kesalahpahaman umum ini sebagai bagian dari persiapan pameran yang disebut "Golden Mummies of Egypt" atau "Mumi Emas Mesir" yang dibuka awal tahun ini, pada 18 Februari 2023.
Advertisement
Pemahaman baru tentang tujuan mumifikasi ini bertolak belakang dengan banyak hal yang diajarkan kepada siswa tentang mumi.
"Ini kebalikannya," kata Campbell Price, kurator museum Mesir dan Sudan, kepada Live Science yang dikutip Kamis (30/3/2023).
Jadi, mengapa kesalahpahaman ini berlanjut untuk waktu yang sangat lama? Price mengatakan ide mumi yang dipimpin Barat dimulai oleh para peneliti Victoria yang salah menentukan bahwa orang Mesir kuno mengawetkan jasad dengan cara yang sama seperti mengawetkan ikan. Kedua proses tersebut mengandung bahan yang serupa, yaitu garam.
Price mengatakan, "Gagasannya adalah Anda mengawetkan ikan untuk dimakan di masa mendatang, jadi mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan pada tubuh manusia sama dengan perlakuan terhadap ikan.”
Bahan Garam yang Digunakan
Namun sebenarnya, zat asin yang digunakan oleh orang Mesir kuno berbeda dengan garam yang digunakan untuk mengawetkan tangkapan ikan hari itu.
Dikenal sebagai natron, mineral alami ini (campuran natrium karbonat, natrium bikarbonat, natrium klorida, dan natrium sulfat) berlimpah di sekitar dasar danau Sungai Nil dan berfungsi sebagai bahan utama dalam mumifikasi.
"Kita juga tahu bahwa natron digunakan dalam ritual kuil dan dioleskan pada patung dewa," kata Price. "Itu digunakan untuk pembersihan."
Bahan lain yang biasa diasosiasikan dengan mumi adalah dupa, yang juga berfungsi sebagai hadiah untuk para dewa.
"Sama saja seperti kemenyan dan mur (resin), mereka muncul dalam kisah Kristen tentang Yesus, dan menjadi hadiah dari three wise men," kata Price. "Dalam sejarah Mesir kuno, kami telah menemukan bahwa itu juga merupakan hadiah yang pantas untuk dewa."
Advertisement
Gagasan yang Mendukung Kesalahpahaman
Dia menambahkan, "Bahkan kata dupa dalam bahasa Mesir kuno adalah 'senetjer' yang secara harfiah berarti 'membuat keilahian.'
Ketika Anda membakar dupa di kuil, itu hal tepat untuk dilakukan karena kuil adalah rumah dewa dan dupa membuat ruangnya menjadi istimewa. Tetapi ketika Anda menggunakan resin dupa pada tubuh, Anda membuat tubuh itu menjadi istimewa dan menjadi makhluk yang seperti dewa, bukan untuk melestarikannya."
Seperti orang Mesir, ahli Mesir Kuno juga percaya bahwa almarhum akan membutuhkan tubuh mereka di akhirat, hal ini mendukung kesalahpahaman tentang mumifikasi.
"Obsesi biomedis yang lahir dari gagasan Victoria tentang membutuhkan tubuh Anda lengkap di akhirat juga mendukung kesalahpahaman mumifikasi," kata Price. "Ini termasuk mengosongkan organ dalam tubuhnya. Menurut saya itu sebenarnya memiliki arti yang lebih dalam... singkatnya sebenarnya tentang mengubah tubuh menjadi patung dewa karena orang matinya telah berubah."
Isi Pameran Golden Mummies of Egypt
Arkeolog sering menemukan mumi ditempatkan dengan sarkofagus yang menunjukkan rupa almarhum.
"Dalam bahasa Inggris, topeng adalah sesuatu yang mengaburkan identitas Anda; sedangkan potret mengungkapkan identitas," kata Price. "Objek, panel, dan topeng itu memberikan gambaran ideal pada bentuk ilahi."
Sebagai bagian dari pameran, museum menampilkan sejumlah topeng penguburan, potret panel, dan sarkofagus yang terkait dengan penguburan Mesir kuno, menunjukkan bukti lebih lanjut tentang tujuan asli mumifikasi.
"Golden Mummies of Egypt" dipajang di Museum Manchester mulai 18 Februari 2023.
Museum ini juga telah menerbitkan buku dengan judul yang sama, ditulis oleh Price untuk mengiringi pameran mendatang.
Advertisement