Liputan6.com, Edinburgh - Partai Nasional Skotlandia (SNP) memilih Humza Yousaf sebagai pemimpin barunya pada Senin (27/3/2023), menjadikannya orang kulit berwarna pertama dan muslim pertama yang memimpin negara berpenduduk 5,5 juta orang itu.
Yousaf mengalahkan Kate Forbes dalam pergulatan selama lima minggu, yang mengungkap keretakan di SNP yang pro-kemerdekaan saat negara itu dihadapkan pada kebuntuan dalam upayanya lepas dari Inggris.
Baca Juga
Putra dari imigran Asia Selatan kelahiran Glasgow yang berusia 37 tahun itu akan dikukuhkan sebagai menteri pertama Skotlandia selama sesi parlemen pada Selasa (28/3).
Advertisement
Tantangan untuk menyatukan SNP dan menghidupkan kembali kampanye kemerdekaan yang terhenti menanti Yousaf. Selain itu, kritikus juga menggarisbawahi sejumlah isu termasuk tunawisma dan tingginya angka kematian akibat narkoba.
"Sama seperti saya akan memimpin SNP untuk kepentingan semua anggota partai, bukan hanya mereka yang memilih saya, maka saya juga akan memimpin Skotlandia untuk kepentingan semua warga negara, apa pun pilihan politik Anda," ujar Yousaf dalam pidato penerimaannya seperti dilansir AP, Selasa.
Dalam pidatonya, Yousaf memberikan penghormatan kepada mendiang kakek neneknya, yang beremigrasi dari Punjab ke Glasgow lebih dari 60 tahun lalu.
"Mereka tidak dapat membayangkan, bahkan dalam mimpi terliar sekalipun... cucu mereka suatu hari akan menjadi menteri pertama Skotlandia," kata Yousaf. "Kita semua harus bangga dengan kenyataan hari ini... bahwa warna kulit Anda, keyakinan Anda, bukanlah penghalang untuk memimpin negara yang kita sebut rumah ini."
Yousaf disebut memiliki pandangan sosial liberal yang serupa dengan pendahulunya, Nicola Sturgeon.
Berjanji Mendorong RUU Pengakuan Gender dan Referendum Baru
Forbes adalah seorang Kristen evangelis yang telah dikritik karena mengatakan bahwa keyakinannya akan mencegahnya memilih untuk mengizinkan pernikahan sesama jenis seandainya dia menjadi anggota parlemen ketika Skotlandia melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2014.
Perempuan berusia 32 tahun itu juga menentang rancangan undang-undang (RUU) yang diperjuangkan Sturgeon untuk memudahkan warga Skotlandia mengubah jenis kelamin mereka secara legal.
RUU pengakuan gender dipuji penting oleh aktivis hak transgender, tetapi mendapat tentangan dari beberapa anggota SNP yang mengatakan, RUU itu mengabaikan kebutuhan untuk melindungi ruang satu jenis kelamin bagi perempuan, seperti tempat penampungan kekerasan dalam rumah tangga dan pusat krisis pemerkosaan.
Yousaf sendiri telah berjanji untuk mendorong RUU tersebut, yang telah disahkan oleh parlemen Skotlandia, tetapi diblokir oleh pemerintah Inggris.
SNP memegang 64 dari 129 kursi di parlemen Skotlandia dan memerintah secara koalisi dengan Partai Hijau yang jauh lebih kecil. Partai Hijau telah memperingatkan bahwa mereka mungkin keluar dari koalisi jika SNP memilih seorang pemimpin yang tidak berbagi pandangan progresifnya, yang berarti kemenangan Forbes dapat memecah belah pemerintah.
Perpecahan tersebut berhasil dihindari, namun kampanye pro-kemerdekaan masih menemukan tantangan. Pemilih Skotlandia mendukung tetap tinggal di Inggris dalam referendum tahun 2014 yang disebut sebagai keputusan sekali dalam satu generasi.
SNP menginginkan pemungutan suara baru, tetapi pemerintah pusat di London telah menolak untuk mengesahkannya dan Mahkamah Agung Inggris telah memutuskan bahwa Skotlandia tidak dapat mengadakan pemungutan suara tanpa persetujuan London.
Yousaf mengatakan, dia akan meminta otorisasi pemerintah Konservatif di London untuk mengadakan referendum baru. Namun, Kantor Perdana Menteri Rishi Sunak mengatakan bahwa jawabannya tetap tidak.
"Kepada mereka di Skotlandia yang belum memiliki hasrat atas kemerdekaan, saya akan berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Anda dengan terus memerintah dengan baik," tutur Yousaf.
Lembaga survei independen Mark Diffley mengatakan bahwa sementara anggota SNP yang memilih Yousaf sangat prihatin tentang isu kemerdekaan, pemimpin baru Skotlandia itu sekarang harus memutar sangat tajam ke arah prioritas publik.
"Lebih tentang mendukung rakyat melalui krisis biaya hidup, pertumbuhan ekonomi, peningkatan layanan publik," kata Diffley.
Advertisement